- REUTERS/Darren Whiteside
VIVA – Perempuan berjilbab itu tertawa. Sambil membetulkan letak kacamatanya, ia mengingat kembali bagaimana kepanikan melanda seisi kantornya ketika gempa yang cukup kuat mengguncang Jakarta pada 23 Januari 2018 lalu.
Ferli, demikian ia biasa disapa, mengaku saat itu sangat panik. "Satu kantor berhamburan. Untung lantainya hanya tiga. Nggak kebayang kalau harus turun dari lantai 20-an seperti orang lain," ujarnya.
Kantor Ferli berlokasi di Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Meski kantornya hanya tiga lantai, namun di sekitar kantornya banyak gedung-gedung pencakar langit. Jadi ia tahu persis, seperti apa kepanikan yang terjadi saat itu.
Sesuai petunjuk evakuasi, jika terjadi gempa, maka seluruh orang yang berada di dalam gedung harus turun menggunakan tangga. Itulah yang dilakukan Ferli dan sejawatnya yang lain. Kantor mereka memang tak tinggi, tapi buat Ferli dan kawan-kawan, guncangan itu sudah cukup membuat mereka berlarian ke luar gedung.
Tak lama, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG memberikan penjelasan. Gempa tersebut berpusat di Lebak, Banten. Magnitudonya mencapai 6,1 Skala Richter. Itu sebabnya guncangan kuat sangat terasa hingga ke Jakarta.
Di Serang, yang menjadi pusat gempa, guncangan itu membawa dampak. Dilaporkan satu orang tewas, satu mengalami patah tulang, satu orang kesetrum, dan lebih dari seribu bangunan, termasuk rumah dan sekolah, rusak.
Gempa 23 Januari berlanjut. Dalam pekan tersebut, Banten tiga kali dilanda gempa. Sebab pada esoknya, 24 Januari 2018, gempa kembali terjadi. Tapi kekuatannya sudah berkurang. Magnitude 5,2 SR. Lalu pada 26 Januari 2018, gempa kembali mengguncang. Kekuatannya juga berada di kisaran 5,2 SR.
Sejumlah orang berkumpul di luar bangunan The City Tower saat gempa bumi melanda Jakarta, 23 Januari 2018. (REUTERS/Beawiharta)
Ketakutan dan trauma membuat warga kembali berhamburan menyelamatkan diri. Namun teror gempa ternyata belum selesai. Senin, 19 Maret 2018, Banten dan sekitarnya kembali diguncang gempa dengan kekuatan 5,2 SR. Meski memiliki kekuatan cukup besar, tapi tiga gempa terakhir memang tak terlalu kuat dirasakan di Jakarta.
Meski gempa berpusat di Banten, bukan berarti warga Jakarta bisa anteng dan duduk manis. Sebab, pada awal Maret 2018, sebuah informasi menyebar ke publik Jakarta. Kota besar ini terancam hancur akibat guncangan gempa besar yang diprediksi bisa mencapai magnitudo hingga 8,7. Kekuatan besar, karena guncangan dengan magnitudo 6,1 saja warga Jakarta sudah panik berhamburan. Bayangkan jika kekuatannya jauh di atas itu.
Dan, Jakarta hanya mendapat dampak, karena pusat gempa bukan di Jakarta. Sebab potensi guncangan besar itu datang dari zona megathrust, yang justru tak terdapat di Jakarta.
Ancaman Megathrust
Soal ancaman gempa hingga magnitudo 8,7 itu mencuat setelah BMKG bersama Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (IKAMEGA) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggelar diskusi bertema, "Gempa Bumi Megathrust 8,7, Siapkah Jakarta?"
Menurut Kepala Tim Informasi BMKG, Daryono, apa yang disampaikan dalam diskusi tersebut adalah kajian dari tim ahli, yaitu Tim Pemutakhiran Peta Gempa Nasional. Pada tahun 2012 tim ini sebenarnya sudah mengemukakan bahwa zona megathrust di selatan Pulau Jawa mampu membangkitkan gempa bumi berkekuatan Magnitudo 8,1.
Data tersebut juga diperkuat oleh sebuah disertasi doktor dari Rahma Hanifa (2014) di Nagoya University yang berjudul “Interplate Earthquake Potential off Western Java, Indonesia, Based on GPS Data.” Disertasi itu menyebutkan, zona megathrust selatan Jawa Barat dan Banten berpotensi memicu gempa dengan magnitudo 8,7.
"Terakhir, hasil kajian Pusat Studi Gempa Nasional-PUSGEN (2017) dalam buku “Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017” juga mengungkap bahwa zona Megathrust selatan Jawa Barat dan Banten memiliki potensi gempa dengan magnitudo maksimum 8,8," ujar Daryono kepada VIVA yang menghubunginya, Rabu, 21 Maret 2018.
Menurut Subardjo dari Ikatan Alumni Akademi Metereologi dan Geofisika (IKAMEGA), ancaman gempa besar itu potensinya sudah lama muncul. Ia bersama dengan tim dari Jepang sudah melakukan penelitian soal ancaman Megathrust sejak tahun 1986. "Tahun 1986, kami melakukan penelitian geofisika selama 40 hari di selatan Jawa, menyusuri Lautan Hindia dari Jawa sampai Bali, dan memasang alat seismograf juga," tuturnya.
Subardjo mengatakan, ada dua ancaman Megathrust yang perlu diwaspadai, yaitu Megathrust Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan Megathrust Selat Sunda. "Keduanya memiliki potensi magnitude 8,7. Dan selama 30 tahun ahli dari Jepang meneliti itu," ujarnya.
Menurutnya, hal tersebut dilakukan bukan untuk menakut-nakuti, tapi agar pemerintah dan warga menyiapkan diri jika ancaman itu benar terjadi.
Subardjo juga menyampaikan kekhawatirannya soal potensi gempa di Selat Sunda, karena di wilayah tersebut sudah lama tak terjadi gempa besar. Khawatirnya, jika sewaktu-waktu terjadi gempa, maka energi yang terlepas juga besar.
Jakarta, ujar Subardjo, sebetulnya cukup jauh jaraknya dengan Selat Sunda, sekitar 200 hingga 250 kilometer. Jika terjadi gempa di Selat Sunda, ia tidak mengkhawatirkan tsunami di Jakarta, karena jarak yang sangat jauh. Tapi guncangan yang timbul dari gempa itu yang menurutnya patut dikhawatirkan. Karena susunan batuan di Jakarta adalah batuan sedimen, batuan alluvial, dan batuan ini punya sifat memperbesar guncangan.
"Jadi walau jaraknya jauh, itu akan mengakibatkan guncangan yang lebih besar kalau bangunannya tidak menyesuaikan dengan struktur yang ada dari gempa itu," katanya.
Hal senada disampaikan Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudi Suhendar. Ia mengatakan, belum ada sesar langsung yang melewati Jakarta, namun kondisi geologi Jakarta menjadi ancaman.
Batuan di Jakarta belum terkonsolidasi dengan baik, sehingga guncangan yang disebabkan gempa tersebut menjadi ancaman. "Kalau sampai sekarang, patahan yang ada agak jauh di selatan Jakarta. Namanya perpanjangan dari sesar Baribis. Agak jauh, enggak langsung ke Jakarta. Berkisar 20-30 kilometer, memanjang. Itu pun tidak menyambung dengan lempeng Megathrust. Sesar itu adalah jalan tolnya, untuk rambatan gempa," ujar Rudi kepada VIVA.
Deretan gedung perkantoran dan apartemen terlihat di kawasan Senayan, Jakarta. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Ancaman ambruknya Jakarta akibat guncangan, semakin mengkhawatirkan karena kondisi tanah di Jakarta yang lunak. Penggunaan air tanah yang sembarangan membuat permukaan tanah di Jakarta melunak dan akhirnya mengalami penurunan. Rudi mengatakan, seperti kota besar lain, Jakarta juga terancam terjadinya land subsident atau penurunan permukaan tanah.
Penurunan permukaan tanah itu, ujar Rudi, disebabkan oleh tiga hal. "Pertama adalah secara geologi dia agak terjadi natural konsolidasi di tanah. Kedua adalah adanya ekstraksi air tanah berlebihan. Dan yang ketiga adalah beban bangunan. Semua ancaman itu harus sama-sama diantisipasi," ujar Rudi.
Dan ia menegaskan, Jakarta tidak bebas dari itu semua.
Cerita Lama Berulang Kembali
Pakar Geologi Surono mengatakan, ancaman dampak dari gempa besar pada Jakarta sebenarnya adalah hal lama. Ia menyebutnya sebagai CLBK alias Cerita Lama Berulang Kali. Pria yang akrab disapa Mbah Rono ini menyesalkan, ancaman soal gempa besar terus diulang, namun tak ada langkah konkret untuk mengantisipasinya.
Ia menuturkan, cerita tentang gempa besar landa Jakarta (dulu bernama Batavia) sudah dimulai pada 1699. Gempa berkekuatan M (magnitudo) 8 hingga 9 itu dipaparkan Phil R Cummins dari Research School of Earth Sciences dari Australian National University and Geoscience Australia dalam simposium internasional bertema 'Bencana Kebumian dan Mitigasi Bencana' yang diadakan di Institut Teknologi Bandung, Bandung, pada Senin 19 Oktober 2015. Saat itu Mbah Rono menjadi salah satu pembicara.
Sekitar 88 makalah dipaparkan peneliti dari dalam dan luar negeri dalam simposium dua hari ini. Mbah Rono bercerita, kata Phil, guncang gempa Batavia (Jakarta) tahun 1699 dan 1778, itu lebih dari 7 MMI -Modified Mercalli Intensity. Kerusakan parah terjadi di Batavia dan sekitarnya. Skala MMI dipakai untuk mengukur kekuatan gempa. Skala MMI 7 termasuk kuat dan merusak bangunan yang tak didesain tahan gempa.
Mbah Rono juga mengatakan, data gempa besar di Jakarta itu dilacak dari dokumen Belanda, salah satunya dari katalog gempa Arthur Wichman. Katalog itu disusun Wichman untuk disertasinya di Royal Academy of Sciences in Amsterdam pada 1918.
"Dalam katalog itu mencatat, gempa amat kuat dirasakan di Jakarta pada 5 Januari 1699 sekitar pukul 01.30, saat hujan lebat. Merobohkan banyak bangunan, menyebabkan longsor besar di Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak. Banjir bandang berisi lumpur dan kayu di Sungai Ciliwung di Batavia, mengalir ke laut," ujarnya menjelaskan.
Selain itu, gempa kuat juga terjadi di Jakarta pada 1780. Kekuatan gempa diperkirakan lebih dari 8 MMI. Gempa tersebut kemungkinan bersumber Sesar Baribis atau bisa juga dari interslab. Kemungkinan lebih besar dari Sesar Baribis, membujur di Majalengka, Kuningan dan seterusnya ke Barat-Timur. "Jakarta itu, ada jarum satu saja ributnya minta ampun," ujarnya.
Ia menegaskan, cerita gempa Megathrust ini menjadi CLBK yang cengeng karena berulang-ulang tanpa tindakan nyata.
Sejumlah siswa berlindung di bawah bangku saat simulasi gempa bumi dan tsunami. (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
Sampai sekarang, ia tak mendapati ada kurikulum sekolah yang mengajarkan evakuasi diri jika terjadi gempa, evakuasi tanpa kepanikan. "Jadi ceritanya akan gitu-gitu saja. Hanya menakut-nakuti masyarakat tanpa suatu tindakan yang riil," ujarnya. Padahal, persiapan untuk antisipasi itu adalah hal yang riil.
Menurut Mbah Rono, patahan tektonik di Indonesia adalah yang paling unik di dunia, karena ada tiga lempeng utama di dunia yang saling bertemu. Lalu bagaimana dengan ancaman gempa megathrust?
Menurut Mbah Rono, itu karena terjadi unsur utamanya ialah tumpukan lempeng Australia yang bergerak ke arah Selatan ke Utara, di selatan jawa. Tumpukan lempeng Australia itu lalu bertemu dengan lempeng eurasia yang relatif stabil, di mana Pulau Jawa, pulau-pulau utama Indonesia itu berada di lempeng eurasia. "Di situ lah Megathrust," ujarnya menegaskan.
Keunikan itu yang membuat Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa seperti migas, tambang, mineral, logam dan non logam. Tapi di sisi lain, ada ancaman gempa bumi dan Indonesia punya gunung api terbanyak di dunia, yaitu 127 gunung api. Dengan kondisi itu, jika gempa bumi di Jakarta dianggap suatu hal yang aneh, Mbah Rono menganggap itu adalah pola pikir yang aneh. Karena Jakarta memang dikepung oleh beberapa sesar aktif. "Hal paling aneh adalah bagaimana kita tidak bersikap."
Sudahkah Jakarta Bersiap?
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengaku sudah langsung mempersiapkan diri setelah mendapat informasi soal gempa Megathrust. "Kita sudah sepakat untuk melakukan follow up dengan membuat Nota Kesepahaman dan kerja sama antara BMKG dan beberapa unit SKPD. Dan saya sudah menunjuk pak Budi Utomo, stafsus di kantor Wagub untuk menindaklanjuti," ujar Sandiaga kepada VIVA.
Sandiaga menambahkan, Pemprov akan memberikan perhatian lebih pada BMKG. "Gempa ini menjadi isu utama bagi DKI. Dan DKI ada kelebihan dari segi budget," ujarnya.
Sandiaga memastikan sudah menyiapkan langkah-langkah yang akan dilakukan. Hal yang utama adalah mempersiapkan apa yang harus dilakukan dalam 72 jam pertama jika gempa terjadi.
"Saya belajar dari Jepang, bahwa 72 jam setelah terjadi gempa adalah golden periode. Apa yang mereka lakukan adalah memastikan keamanan air, makanan, dan melakukan pengamanan-pengamanan. Seperti apa bentuknya, itu akan digagas oleh teman-teman dari BPBD. Saya harapkan ke depannya akan ada latihan-latihan," tuturnya.
Sandiaga mengatakan, kesiapan itu selain melibatkan BMKG juga melibatkan Dinas Damkar, BPBD, juga Satpol PP. Pria yang pernah mengenyam pendidikan di Amerika itu juga mengungkapkan, wilayah DKI yang menjadi perhatiannya adalah Jatinegara dan wilayah di sekitar Berlan, Jakarta Timur. Sebab di wilayah tersebut diprediksi ada patahan yang selama ini tidak aktif. "Jadi mereka sedang mempelajari lagi data-data dari tahun 1916 tentang pergerakan di patahan tersebut," ujarnya.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho memperlihatkan foto kerusakan bangunan akibat gempa bumi. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengakui kerja BPBD DKI. Menurut dia, saat ini BPBD mulai bergerak. "Kemarin BPBD Jakarta melakukan rapat koordinasi dengan mengundang BPPT, mengundang beberapa ahli lain untuk melakukan persiapan gladi untuk di gedung bertingkat," ujarnya kepada VIVA.
Ancaman gempa besar di Jakarta juga dibayangi kekhawatiran karena banyaknya gedung pencakar langit di ibu kota ini. Mengutip katadata, Jakarta berada di peringkat ketujuh dunia dalam jumlah gedung pencakar langit terbanyak. Kota yang memiliki luas 661,5 kilometer persegi ini memiliki 362 gedung tinggi, dan 28 gedung di antaranya memiliki ketinggian hingga di atas 200 meter.
Menteri PUPR Basuki Hadimulyono percaya, gedung-gedung tinggi di Jakarta sudah didesain untuk siap menghadapi gempa besar. Ia yakin, jika Izin Mendirikan Bangunan atau IMB diberikan, artinya potensi menghadapi gempa sudah dipertimbangkan. "Jakarta ini memiliki Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG). Untuk mendapatkan IMB harus ada approval dari TABG. Pasti beliau-beliau sudah mempertimbangkan besaran gempa. Kalau 7, menurut saya pasti siap," ujarnya.
Hitung-hitungan tinggi gedung dari infrastruktur yang berlokasi di Jakarta juga sudah memiliki persyaratan terhadap tahan gempa. Ketua Umum Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) Budi Harto memastikan, sejak tahun 2014, ada peraturan gedung untuk gempa yang lebih besar lagi. Namun ia mengakui variabel waktu gempa juga berpengaruh.
Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Adhi Karya tersebut memastikan, kondisi gedung di Jakarta sudah melalui proses perizinan yang ketat dan banyak tahapannya. Ada Amdal lalu lintas, Amdal lingkungan, juga ada IMB yang mencakup kajian fondasi dan kajian struktur. Jika terjadi gempa mencapai 7 SR, bangunan akan aman, ujarnya. "Asal gempanya tidak lama ya, hehehe," ujarnya sambil terkekeh.
Budi Harto juga memastikan seluruh infrastruktur yang saat ini sedang gencar dibangun di Jakarta sudah aman. Termasuk, untuk keadaan dan struktur tanah di Jakarta.
Audit Bangunan
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono tidak meragukan kondisi gedung bertingkat di Jakarta. Namun demikian, menurutnya perlu ada audit bangunan. "Audit ini difokuskan pada penilaian kekuatan struktur bangunan dalam kondisi guncangan gempa kuat. Audit bangunan juga memastikan ketersediaan fasilitas dalam kondisi emergency, seperti tempat perlindungan sementara, jalur evakuasi yang sesuai standar keselamatan, titik kumpul yang mudah diakses, ketersediaan pemadam kebakaran, lampu darurat, cadangan logistik, dan P3K," ujarnya.
Meski demikian Sutopo dengan yakin mengatakan, Jakarta masih belum siap jika bencana itu terjadi. "Tidak," ujarnya tegas. "Jakarta tidak siap menghadapi gempa besar. Baik infrastrukturnya, baik personelnya, baik peralatan-peralatannya, baik koordinasinya, Jakarta belum siap untuk menghadapi gempa besar," ujarnya.
Suasana lalu lintas di Jalan Layang Non Tol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang di kawasan Casablanca, Jakarta. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Menurutnya, warga Jakarta perlu sering-sering mendapat pelatihan menghadapi gempa agar bisa mengatasi diri ketika kejadian. Ia melihat, warga sebenarnya sangat berharap bisa mendapatkan simulasi seperti yang dilakukan Jepang. "Misalnya dilakukan oleh mal-mal, dunia usaha, jika itu ada pasti banyak yang ikut," ujarnya dengan yakin.
Undang-Undang Nomer 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebenarnya telah mengamanatkan, bahwa pengurangan risiko bencana harus menjadi lebih utama atau lebih dominan. Artinya harus ada upaya yang berbeda. Jika selama ini bersifat responsif, maka sudah waktunya bergerak menjadi preventif.
Namun, pada prakteknya selama ini, pelaksanaannya masih banyak responsif. Menurut Sutopo, itu terjadi karena banyak yang belum memahami masalah-masalah itu tadi, harusnya pengurangan risiko bencana itu harus menjadi keutamaan dalam pembangunan nasional, baik proyek nasional, maupun di daerah. BNPB selama beberapa tahun terakhir mulai rutin melakukan simulasi nasional penanggulangan bencana. Itu dilakukan sebagai bagian persiapan menghadapi bencana.
Jakarta memang rawan. Dampak gempa dari wilayah lain berpotensi mengguncang Jakarta. Struktur tanah dan eksploitasi berlebihan terhadap penggunaan air tanah membuat kondisi tanah Jakarta semakin tak stabil. Guncangan 6,1 Skala Richter di Lebak sudah cukup menjawab bagaimana paniknya publik Jakarta ketika guncangan agak keras itu terasa. Permintaan BNPB dan Mbah Rono agar ada antisipasi maksimal, termasuk pelatihan evakuasi layak dipertimbangkan.
Jika itu dilakukan, meski panik, mungkin Ferli dan warga Jakarta sejawatnya yang berkantor di gedung-gedung tinggi di Jakarta akan lebih tenang. Bencana bisa datang kapan saja, tak ada yang bisa memprediksinya. Tapi kesiapan menghadapinya pasti bisa menekan dampak buruknya. (ren)
Baca juga: