- VIVA/Irwandi Arsyad
VIVA – Pria paruh baya itu duduk di sebuah becak. Rambut putih menyembul dari sela-sela topi cokelat di kepalanya. Sebagian tangannya yang keriput tampak dibalut kemeja lengan panjang.
Darsono, nama lelaki 57 tahun itu. Saban hari, penarik becak tersebut mangkal di kawasan Teluk Gong, Jakarta Utara. Sudah hampir 20 tahun, pria asal Brebes, Jawa Tengah ini melakoni pekerjaan itu.
Dia mengaku mendapatkan hasil lumayan dari menarik becak. Dalam sehari, dia bisa memperoleh uang dari Rp20 ribu hingga Rp40 ribu. “Kalau penghasilan sehari tidak tentu sih. Ya yang penting cukup buat makan lah,” kata Darsono saat ditemui VIVA, di kawasan Teluk Gong, Jakarta Utara, Kamis, 15 Maret 2018.
Senada dengan Darsono. Penarik becak lainnya, Kasroji (55) mengatakan, penghasilannya dari menarik becak tak pasti. “Sekarang ini enggak tentu, kadang kalau sepi sama sekali ya enggak dapat,” ujarnya.
Meski penghasilannya tak menentu, keduanya tetap menjalani pekerjaan menarik becak. Mereka bahagia ketika mendengar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan kembali melegalkan becak mengaspal di Jakarta. “Walaupun penghasilan sedikit yang penting tidak diutak-utik lagi,” katanya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang melontarkan wacana akan kembali mengizinkan becak beroperasi di Ibu Kota. Rencana tersebut disampaikan saat meresmikan persiapan program community action planning atau CAP di 16 kampung, di kawasan Waduk Pluit, Jakarta Utara, Minggu, 14 Januari 2018. CAP merupakan bagian dari kontrak politik Anies dan pasangannya Sandiaga Uno sewaktu berkampanye, dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Salah satu bagian kontrak itu terdapat janji untuk mengakomodasi becak agar beroperasi di rute tertentu di Jakarta. "Bagian community action plan ini mengatur agar abang becak bisa beroperasi di rute yang ditentukan untuk angkutan lingkungan. Buat becak bisa ikutan sejahtera di kota ini," ujar Anies kala itu.
Sejumlah becak mangkal di kawasan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. (VIVA/Irwandi Arsyad)
Perjanjian politik tersebut dibenarkan Koordinator Advokasi Tukang Becak Urban Poor Consortium (UPC), Gugun Muhammad. Dalam kontrak politik dengan Anies tersebut, memuat agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melegalkan dan mengatur becak yang sudah ada di Jakarta selama ini.
Kontrak sejenis ini bukan yang pertama. Sebelumnya, pada Pilkada 2012, UPC juga memakai momentum pilkada agar gubernur terpilih dapat melegalkan becak. Namun, janji tersebut tidak diwujudkan oleh gubernur dan wakil gubernur terpilih saat itu, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama.
Kini, Anies ingin memenuhi janji politiknya. “Jadi kesepakatan sama Anies waktu itu adalah tidak menambah wilayah baru dan tidak menambah anggota baru (tukang becak),” ujar Gugun yang juga Pendamping Serikat Becak Jakarta (Sebaja), kepada VIVA, Kamis, 15 Maret 2018.
Gugun memperkirakan, jumlah becak yang ada saat ini di Jakarta, sekitar 2.500 becak. Mereka tersebar di beberapa wilayah di Jakarta. Di antaranya, di Cilincing dan Muara Angke, Jakarta Utara; Jelambar, Jakarta Barat; Senen, Jakarta Pusat; Kramat Jati, Pulogadung, Pasar Gembrong, Jakarta Timur.
Pada masing-masing wilayah itu dibuat peta rute operasi. Rute dari usulan para tukang becak, berdasarkan jalur yang selama ini mereka lewati. Nantinya, rute itu akan diserahkan ke Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Jika peta itu disetujui, akan menjadi lampiran dalam perubahan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Saat ini, berdasarkan perda tersebut, becak dilarang beroperasi di DKI Jakarta. Menilik sejarahnya, becak sudah dilarang sejak Gubernur DKI Ali Sadikin pada era 1970-an. Kebijakan itu diteruskan oleh gubernur-gubernur berikutnya. Bahkan era 1980-an, pada zaman Gubernur Wiyogo Atmodarminto, becak dirazia besar-besaran. Bangkai becak dibuang ke laut untuk dijadikan rumpon atau tempat berkembang biak ikan.
Pada 1998, becak sempat dibolehkan beroperasi kembali oleh Gubernur DKI saat itu Sutiyoso. Pertimbangannya ketika itu lantaran bangsa Indonesia tengah dihantam krisis ekonomi. Namun, pada 2001, becak kembali dilarang. Larangan tersebut diteruskan gubernur selanjutnya, hingga kini akan diubah Anies.
Revisi Perda
Pemprov DKI akan merevisi perda lebih dulu, agar becak bisa dilegalkan di Kota Metropolitan ini. Revisi perda masih dalam analisis data dan pembahasan internal. "Belum kami proses, karena banyak masukan dari beberapa pihak dan kami ingin ada kesamaan perspektif terhadap isu ini," kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno di Balai Kota, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis, 15 Maret 2018.
Revisi akan mencakup segala aspek seperti sosial, ekonomi hingga teknologi. Revisi bakal dilakukan dengan menelaah regulasi lainnya lebih dulu agar tak ada aturan yang dilanggar.
Saat ini, revisi perda itu belum dibicarakan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. Sebab, menurut Sandi, banyak perda lain yang mendesak dan perlu dibahas secara mendalam. Pemprov DKI memilih untuk mematangkan rencana revisi perda itu lebih dulu sebelum dibawa ke DPRD DKI.
Bestari Barus, anggota DPRD DKI dari Fraksi NasDem mengatakan, Pemprov DKI Jakarta belum membicarakan soal tersebut kepada anggota dewan. Dia malah berharap, gubernur berubah pikiran soal becak ini. Sebab, becak dinilai tak representatif untuk DKI Jakarta sebagai Kota Metropolitan. “Di saat yang lain sudah memakai teknologi maju, kenapa kita masih bicara soal becak,” ujarnya.
Bestari tak setuju becak ada di Ibu Kota. Dia meminta Pemprov DKI Jakarta untuk mengkaji kembali rencana itu lebih dalam. Jika ingin membahagiakan rakyat Jakarta, Anies-Sandi diminta mencari cara lain, bukan dengan memberikan pekerjaan warga sebagai tukang becak.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno. (VIVA/Anwar Sadat)
Setali tiga uang. Pengamat Tata Kota Nirwono Joga mengemukakan, jika Pemprov DKI peduli terhadap tukang becak, seharusnya bukan memberikan becak, melainkan dilibatkan dalam program Ok Oce, alih profesi sesuai ketrampilannya atau diberi modal. “Itu akan lebih manusiawi dan itu win-win solution,” ujarnya.
Dia menyarankan, gubernur untuk membatalkan kebijakan soal becak. Dengan pembatalan itu, memberikan ketegasan kepada warga bahwa gubernur juga patuh terhadap aturan, bukan patuh atas desakan masyarakat.
Setiap kebutuhan moda transportasi, menurut pengamat Tata Kota Yayat Supriatna, harus dilakukan berdasarkan kajian yang komprehensif dan ada pasarnya. Dalam sistem hirearki pun, kedudukannya harus jelas. Setiap usulan moda baru itu harus masuk kepada struktur sistem layanan kota.
Artinya, di Jakarta ini ada angkutan permukiman, dalam kota, angkutan antar kota. Itu semua berbasis pada sistem layanannya. Dengan kondisi sekarang yang sudah berubah cepat, kepadatan makin tinggi, mesti dikaji lebih dulu tingkat kebutuhan becak. “Kaji yang benar baru buat peraturannya,” ujarnya.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Halim Paggara juga mengingatkan, rencana untuk mengizinkan kembali becak di Jakarta harus ada kajian hukum, sosial dan ekonomi. "Sudah saya sampaikan bahwa perlu dipikirkan kembali, perlu dikaji ulang. Sudah diatur bahwa becak dilarang. Kan ada Perda Nomor 8 Tahun 2007. Pasti ada urbanisasi dari daerah luar Jakarta," ujarnya.
Dari sisi sosiologis, menurut Halim, apabila dibuka kesempatan untuk becak masuk ke Jakarta jangan sampai menimbulkan urbanisasi masyarakat dari luar Jakarta. "Kajian sosial ekonomi tentunya akan ada urbanisasi, masyarakat luar Jakarta akan datang ke Jakarta berbondong-bondong cari pekerjaan, yang dulu diusir sekarang diizinkan akan kembali," ujarnya.
Sementara pengamat transportasi Danang Parikesit melihat, ada dua dalam masalah becak, yaitu realita dan pengaturan di lapangan. Tak bisa dipungkiri, saat ini becak masih ada di Jakarta. Sementara masyarakat membutuhkan angkutan perantara, misalnya dari rumah menuju halte terdekat.
Dia merekomendasikan, becak hanya menjadi angkutan lingkungan. Becak tidak membutuhkan jalur khusus karena tidak masuk jalan utama. Hal yang dibutuhkan becak adalah infrastruktur, seperti shelter tempat menunggu, serta lokasi pemberhentian becak.
Pemerintah melakukan pengaturan, wilayah operasi maupun standar keselamatannya. Sistemnya pun ditata, misalnya dengan ada urutan tunggu sehingga mereka tidak berebut. “Saya tidak mau becak beroperasi dengan cara yang konvensional, tradisional karena itu tidak mencerminkan budaya modern.”
Becak Listrik
Di tengah isu akan dilegalkannya becak di Jakarta, muncul becak listrik yang digaungkan Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional Hanafi Rais.
Becak berkelir biru dan putih itu dikenalkan di kawasan Hari Bebas Kendaraan, Jakarta Pusat, Minggu, 11 Maret 2018. Hanafi turun langsung memperkenalkan prototipe becak listrik, hasil besutannya dengan Winawan alias Wiwin, masyarakat Yogyakarta lulusan STM Nasional.
Becak dilengkapi dengan lampu penerangan jalan, klakson, rem cakram belakang, serta indikator baterai untuk melihat daya baterai saat digunakan. Becak listrik itu diberikan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, untuk mendukung rencana mengizinkan becak beroperasi lagi di Ibu Kota.
Warga melintas di dekat satu unit prototipe becak listrik di kawasan Monas, Jakarta. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Hanafi menjelaskan, becak listrik ini bukan yang pertama. Empat tahun lalu, dia pernah melansirnya di Yogyakarta. Dia lantas menyampaikan soal becak listrik itu kepada Pemprov DKI. “Jadi itu sekadar tawaran gagasan saja, saya itu bukan dalam konteks jualan atau ingin dagang,” ujarnya saat ditemui VIVA, Jumat, 16 Maret 2018.
Saat ini, becak listrik tersebut belum ada regulasinya di Yogyakarta. Produksinya pun belum massal. Baru ada sekitar dua becak listrik yang dihibahkan kepada penarik becak. Untuk membuat satu prototipe becak listrik memakan dana Rp15-18 juta.
Dia memperkenalkan becak listrik ini lantaran memiliki sejumlah kelebihan. Di antaranya, mengurangi beban tenaga manusia karena bisa digenjot atau digas, jarak tempuh becak bisa lebih jauh, serta ramah lingkungan. “Ada simbol kota yang unik. Becak itu tradisional, tapi ketika ada listrik kan jadi keren,” kata Hanafi.
Hanafi mengklaim becak besutannya aman. Mekanika elektroniknya itu sudah beberapa kali dites. Namun, becak listrik memiliki kelemahan ketika hujan atau banjir datang. “Kalau banjir jangankan becak listrik, kereta listrik saja kalau banjir bisa tidak bisa jalan kan,” ujarnya seraya tertawa.
Hanafi Rais (kanan) memperkenalkan becak listrik di ibukota. (VIVA/Arrijal Rachman)
Soal becak listrik, Pengamat Transportasi Danang Parikesit menilai, mungkin lebih environment friendly. Namun, standar keselamatan becak listrik tersebut mesti diuji oleh pemerintah, dinas perhubungan dan perindustrian. “Saya kira mereka punya standar apakah itu layak atau tidak,” ujarnya.
Pengamat Tata Kota Nirwono Joga sependapat. Adanya wacana becak listrik seiring dengan isu ramah lingkungan, untuk mengurangi polusi pencemaran udara. Namun, menurut dia, hal yang menjadi persoalan bukan hanya penggeraknya tapi barangnya tetap bernama becak.
Menurut dia, rencana mengganti nama becak menjadi angkutan dalam lingkungan agar tidak melanggar aturan perda, merupakan hal yang aneh. Sesuai aturan, menurut dia, penggantian nama tidak boleh selama perda masih ada.
Jika salah satu aturan dibolehkan atau dilegalkan maka semua isi Perda Nomor 8 Tahun 2007 dibolehkan. “Ini kan yang menurut saya mengkhawatirkannya di situ. Jadi jangan gubernurnya melihat per pasal sesuai kebutuhan. Itu berbahaya,” ujarnya.
Makin Macet
Rencana becak bakal dilegalkan lagi di Jakarta direspons beragam oleh warga Ibu Kota. Satrio, mahasiswa, misalnya. Dia setuju jika becak beroperasi di tempat wisata. Namun jika untuk transportasi umum, becak tidak efektif. “Ya kalau di jalan raya jelas membuat kemacetan, tapi kalau untuk kepentingan wisata mungkin menarik di spot-spot tertentu di Jakarta,” ujarnya.
Lina, warga Cililitan, Jakarta Timur, sependapat. Menurut dia, becak tidak boleh ke jalan protokol Jakarta. Dia setuju jika becak hanya beroperasi di dalam kompleks perumahan. Dia lebih mendukung jika becak beroperasi di kawasan wisata. “Soalnya kalau jalan utama pasti macet,” ujarnya.
Senada dengan Lina. Gloria, karyawan swasta, mengatakan becak lebih baik tidak beroperasi di jalan utama. Jika di jalan raya, becak dikhawatirkan akan menambah kemacetan.
Bukan hanya itu. Jika becak ke jalan protokol, dapat membahayakan keselamatan. “Jangankan becak, bajaj aja cuma Tuhan dan sopirnya yang tahu kapan dia mau belok dan berhenti. Belum lagi orang kalau bawa kendaraan itu enggak sabar.” (mus)
Baca Juga: