- VIVA/Tri Saputro
VIVA – Tangan yang sudah penuh keriput itu memeluk erat sebuah bingkai foto. Matanya nanar menatap foto seorang anak muda dalam bingkai tersebut. Perempuan yang nyaris seluruh rambutnya sudah memutih itu memejamkan mata sejenak, menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Mungkin ia sedang berusaha menguasai hatinya.
Perempuan itu, Maria Katarina Sumarsih adalah ibu dari Bernardus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya. Wawan tewas diterjang peluru pada 13 November 1998 dalam aksi demonstrasi mahasiswa besar-besaran. Aksi itu adalah lanjutan demonstrasi mahasiswa menuntut Reformasi. Tuntutan aksi yang terkonsentrasi di sekitar Semanggi itu adalah menolak Sidang Istimewa MPR yang dianggap inkonstitusional, menolak Dwi Fungsi ABRI, dan menuntut Presiden BJ Habibie segera mengatasi krisis ekonomi.
"Hari Kamis, Wawan pulang ke rumah. Ia bertanya mengapa saya tak memasak. Saya jawab, karena kemarin ia tak pulang maka saya tak masak. Saya memintanya beli makanan di warung. Besoknya, hari Jumat, saya memasak makanan kesukaan Wawan. Saya buatkan empal dan sayur asem. Tapi hari itu pula saya mendapat kabar, Wawan tewas tertembak," bibir Sumarsih terlihat tergetar.
Ia menghela nafas. "Sejak itu hidup saya berubah. Wawan meninggal, dan sampai sekarang kasusnya tak pernah terungkap," ujarnya kepada VIVA, Rabu, 28 Februari 2018.
Ibu yang hangat ini mengaku tahu persis aktivitas politik Wawan. Ia, juga suaminya dan Irna, adik perempuan Wawan, bahkan hapal Enam Agenda Reformasi yang diperjuangkan Wawan dan teman-temannya.
"Kami sekeluarga punya tradisi berkomunikasi di meja makan pada saat makan malam. Kami saling bercerita bersama, saling terbuka. Misalnya, bapaknya bercerita di kantornya itu apa saja yang terjadi seharian ini, dan lain sebagainya. Di kantor saya di DPR itu terjadi apa, kemudian Wawan di kampusnya itu ada apa, terus kemudian Irna, yang waktu itu masih SMA itu juga bercerita apa saja yang terjadi di sekolahnya seharian.
Kebetulan ketika itu tahun 97-98 situasi politik di Indonesia sudah memanas, artinya perbincangan di meja makan waktu itu pun mengarah pada masalah politik, dan selalu ditutup dengan besok minta dimasakin apa?" ujarnya mengenang.
Maria Katarina Sumarsih, ibu Bernardus Realino Norma Irmawan alias Wawan,
Aksi Kamisan
Kematian Wawan menjadi titik balik dalam kehidupan Sumarsih. Ia sadar, kematian anaknya yang saat tertembak tengah bertugas sebagai Tim Relawan Kemanusiaan, membuat hidupnya berubah dan akhirnya menyeret Sumarsih pada pusaran kekerasan politik.
Sumarsih memilih bergabung bersama mereka yang juga kehilangan anggota keluarganya dalam proses politik Indonesia. Ia menyatukan diri dengan kelompok-kelompok masyarakat yang terus menyuarakan penegakan HAM.
Tahun 2005 Sumarsih pensiun dari pekerjaannya. Ia semakin intens dengan aktifitasnya di Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan atau JSKK. Tanggal 18 Januari 2007 kelompok ini memutuskan untuk melakukan Aksi Kamisan, sebuah aksi damai yang dilakukan secara rutin, setiap hari Kamis.
Aksi itu tak mengenal libur atau tanggal merah. Berapa pun jumlah yang datang, Aksi Kamisan akan terus berjalan. Semua yang hadir memakai baju berwarna hitam. Untuk melindungi diri dari sengatan panas atau guyuran hujan, mereka memakai payung, juga berwarna hitam.
"Saya seperti merawat, merawat konsistensi. Saya selalu ingatkan teman-teman untuk mengurus izin, memberi kabar via media sosial, mengingatkan audiensi dengan siapa lagi, mengirimkan surat ke presiden, dan lain sebagainya. Dan itu terus saya lakukan setiap pekan," ujarnya.
Polisi, orang-orang yang ada di sekitar di jalan Medan Merdeka Utara, jalan Majapahit dan Harmoni menyebut aksi Sumarsih dan JSKK dengan sebutan 'Aksi Payung Hitam.' Sudah 528 kali aksi itu mereka lakukan, dan tak ada perubahan seperti yang mereka harapkan. Empat presiden sudah mereka lewati. Mulai dari BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, dua periode SBY, dan kini Jokowi. Hanya janji yang mereka terima.
Selama 11 tahun mereka tak berhenti menyambangi pejabat dan lembaga-lembaga negara. Tujuannya sama, menuntut penuntasan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, termasuk Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Tapi, sampai saat ini hasilnya nihil.
Sumarsih menuntut agar pemerintah menyelesaikan kasus tersebut menggunakan mekanisme dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. "Sebenarnya, kalau menurut saya langkah yang harus ditangani oleh pemerintah itu kan hanya menjalani atau menindaklanjuti berkas penyelidikan yang sudah dilakukan oleh Komnas HAM saja. Tapi itu kan sampai saat ini masih belum ditindaklanjuti atau menggantung di Kejaksaan Agung. Dan memang ada upaya penyelesaian-penyelesaian melalui jalur non-judicial, dan itu selalu diarahkan ke sana. Akan tetapi saya pribadi, dan kami yang tergabung di dalam JSKK, kami tetap menuntut agar diselesaikan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," ujarnya menegaskan.
Ia menjelaskan, jika menggunakan UU Nomor 26 tentang Pengadilan HAM, maka mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan, kemudian Kejaksaan Agung yang menindaklanjuti sampai tingkat penyidikan. Jika terbukti melakukan pelanggaran HAM berat, maka DPR membuat surat rekomendasi kepada presiden, agar presiden menerbitkan Kepres tentang Pembentukan Pengadilan HAM Adhoc. "Nah selama ini kan perjuangan kami ini baru sampai pada proses penyelidikan Komnas HAM."
Masih Sebatas Janji
Sumarsih ingat, saat masa kampanye Pilpres di bulan Mei tahun 2014, dalam visi misi atau program pemerintahan Jokowi yang tercatat hitam di atas putih, salah satu bunyinya adalah, “Kami berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kasus Trisaksi, Semanggi I, dan II." Dan dibutir yang lain juga ditulis, “kami berkomitmen menghapus impunitas.” Tapi, Sumarsih melanjutkan, hingga menjelang akhir masa jabatan Jokowi tidak ada perkembangan apa-apa.
Ia dan JSKK pernah bertemu dengan Luhut ketika masih menjabat sebagai Menkopolhukam. "Saat itu beliau juga menyatakan langsung, bahwa secara moral negara bertanggungjawab untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Akan tetapi pada kenyataannya kan sampai sekarang kan tidak juga," ujarnya menambahkan.
Setelah Luhut berganti posisi jabatan, Wiranto yang menggantikan Luhut juga sempat membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). "Dalam beberapa pernyataannya ke media, Pak Wiranto itu sempat menyatakan bahwa DKN ini akan digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kemudian kami kritisi, dan sempat ada pernyataan juga bahwa DKN itu akan digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial. Tapi akhirnya hilang lagi," ujarnya kecewa.
Sebelum Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah selama 10 tahun juga sempat membuat Tim Penyelesaian Kasus-Kasus Pelanggawan HAM Berat masa lalu. Saat bertemu langsung dengan SBY, ia juga mengatakan, hukum harus ditegakkan. Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II harus diselesaikan di pengadilan HAM Ad-hoc.
"Tetapi kenyataannya pada saat membuat 'Tim Penyelesaian Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu' itu juga ada rencana, entripointnya negara minta maaf juga. Tetapi ketika kita kritisi terus akhirnya tidak ada juga hasil apa-apa," ujarnya sambal mengela nafas.
Sumarsih tak khawatir jika perjuangannya dan kasus pelanggaran HAM berat akan dilupakan. Ia yakin, konsistensinya untuk terus bersuara akan menjaga api tetap menyala. Bahkan kepada generasi milenial yang sudah mulai terputus pada sejarah politik tahun 1990-an, ia terus berusaha berjuang untuk mengingatkan.
"Saya akan terus mengingatkan kepada anak-anak muda atau generasi mendatang tentang permasalahan-permasalahan yang terjadi di Indonesia, yakni terkait dengan penegakan supremasi hukum. Selain dengan melakukan Aksi Kamisan, kami juga melakukan aksi atau sosialisasi di media sosial juga. Harapan kami anak-anak muda generasi mendatang juga mengetahui apa yang terjadi pada bangsa kita ini," ujarnya.
Menurut pengakuannya, saat ini sudah banyak anak-anak muda yang antusias bergabung atau ingin mengetahui tentang Aksi Kamisan. Dan Aksi Kamisan itu sekarang tidak hanya dilakukan di Jakarta saja, tapi sudah dilakukan di beberapa kota di Indonesia. "Jadi Aksi Kamisan ini juga akan menjadi pembelajaran bagi anak-anak muda kita, bahwa inilah wajah penegakan hukum di Indonesia hari ini," ujarnya menambahkan.
Ia bercerita, JSKK juga pernah bekerja sama dengan Asosiasi Guru Sejarah Seluruh Indonesia, dengan meminta anak-anak SMA untuk melakukan penelitian tentang masa Orde Baru, masa reformasi, dan penelitian mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya, seperti kasus ‘65, Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti. Sudah ada beberapa mahasiwa yang tertarik membuat skripsi tentang kasus Tanjung Priok, juga tentang Aksi Kamisan.
Tak Lekang Diretas Zaman
Perjuangan Sumarsih yang sudah mencapai 20 tahun melintasi berbagai generasi. Koordinator Kontras, Yati Handayani mengaku salut dengan perjuangan Sumarsih. Yati sudah mengenal Sumarsih sejak ia masih berstatus mahasiswa. Menurutnya, Sumarsih sudah melampaui dirinya sebagai korban.
"Dia sudah menjadi survival, penyintas, juga sudah menjadi seorang pembela HAM, dan yang paling kuat dari Ibu Sumarsih adalah konsistensi dan persistensinya," ujar Yati kepada VIVA, Jumat, 2 Maret 2018.
Yati menuturkan, Sumarsih sangat konsisten dan persisten. Ia tidak pernah tergoyahkan oleh situasi apapun dan kondisi apa pun. Ia tak pernah berhenti menyuarakan kasusnya dan juga kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya.
Yati mengaku belajar banyak hal dari Sumarsih. "Dari beliau juga aku belajar banyak bagaimana kegigihan, kesabaran, ketelatenan dalam melakukan upaya-upaya dia melawan lupa, khususnya upaya dia melakukan lobi-lobi ke berbagai lembaga atau institusi negara. Jadi buat aku, dia juga adalah orang yang menginspirasi dan juga sebagai orang yang memberikan semangat juga pada generasiku yang bergabung ke Kontras setelah peristiwa-peristiwa yang terjadi," ujarnya menjelaskan.
Bahkan menurut Yati, Sumarsih adalah salah satu kunci dari ketangguhan para korban. Sumarsih juga sudah menjadi simbol tidak hanya untuk kasus Semanggi I saja, tapi juga kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa Orde Baru dan menjelang reformasi.
"Dan yang penting sekali dari Ibu Sumarsih juga menurutku adalah kemampuan dia melintas waktu, melintasi generasi dalam melakukan upaya-upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dengan usia yang relatif cukup lanjut, dia masih bisa melakukan komunikasi dengan anak-anak muda, lintas isu, lintas generasi, lintas sektor dan itu menurut saya sangat strategis sekali. Dan kemampuan itu sudah melampui dari seorang survival, tapi dia sudah menjadi seorang pembela HAM," ujar Yati.
Yati mengakui, sangat banyak yang telah dilakukan oleh Sumarsih. Tak hanya aktif melakukan lobi ke berbagai institusi, rutin melakukan aksi dan audiensi, namun Sumarsih juga sangat cermat dalam melakukan dokumentasi dan membuat arsip. Sumarsih juga berusaha menyambungkan dan menyinergikan gerakan HAM dengan berbagai latar belakang isu.
"Ia juga mampu beradaptasi dengan kelompok anak muda dari berbagai latar belakang, bahkan tetap aktif dengan kelompok gereja dan meditasi. Ia juga mampu menjaga hubungan baik dengan tokoh-tokoh. Dia bukan lagi korban yang 'butuh pendampingan,' tapi dia sudah menjadi penyintas yang banyak memberikan inspirasi-inspirasi buat aktivis pembela ham lainnya untuk bisa konsisten," tutur Yati.
Hal yang paling menyentuh buat Yati adalah pengarsipan yang dilakukan Sumarsih bukan lagi hanya berupa dokumen, foto atau pemberitaan tentang Wawan dan aksi yang mereka lakukan. Namun Sumarsih tetap menjaga meja makan keluarga mereka tetap seperti saat Wawan masih ada, di mana keluarga tersebut selalu duduk berempat untuk makan bersama dan bercerita setiap malam.
"Di meja makan selalu diletakkan satu piring khusus untuk Wawan, dan juga ada satu bangku di sana. Ia juga selalu ke makam wawan membawa bunga secara rutin dan tidak berhenti dilakukan setiap Sabtu-Minggu. Bagi saya, itu bukan hanya sekedar ritual tapi itu adalah bentuk konsistensi dan persistensi dia untuk melawan lupa baik untuk dirinya maupun untuk bangsa ini."
Sudah 20 tahun Sumarsih berjuang mencari keadilan. Selama itu pula Sumarsih hanya mendapat janji-janji. Tapi ia tak surut. Sumarsih konsisten. Setiap hari Kamis, ia dan sejawatnya di JSKK akan berada di sekitar istana. Mereka mengenakan payung dan pakaian serba hitam. Berdiri dan diam di depan istana untuk selalu mengingatkan orang-orang, bahwa ada sejarah yang tak selesai di negeri ini.
Bagi Sumarsih, kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II menjadi barometer penegakan hukum di Indonesia bagi siapa pun presiden negeri ini. Dalam pandangan Sumarsih, martabat Indonesia saat ini sangat rendah, karena hukumnya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.
Sumarsih sudah memutuskan untuk terus melanjutkan perjuangannya. "Semua saya lakukan karena cinta. Cinta itu mengandung semangat dan harapan," ujarnya.
Ia mencintai Wawan, tapi cintanya sudah bertransformasi pada keteguhan untuk mencintai sesama manusia dalam penegakan hukum dan HAM, seperti yang telah diperjuangkan oleh Wawan dan teman-temannya. Dan atas nama Cinta, Sumarsih akan tetap bertahan. (mus)