- VIVA/Fajar Sodiq
VIVA – "Ada banyak cara melanjutkan (bisnis)," tutur Tommy, beberapa jam setelah ayahnya, Presiden Soeharto, menandatangani Keppres Nomor 20 Tahun 1998 yang mengakhiri nasib pembuatan mobil nasional yang dikelola oleh PT Timur Putra Nasional yang dikelolanya.
Dengan tenang, lelaki berusia 35 tahun itu pun melenggang bersama sebuah mobil Rolls Royce miliknya. "Jangan khawatir," tambahnya lagi ketika diwawancarai New York Times, pada 16 Januari 1998.
Hari itu, bisnis mobnas yang dipayungi Inpres Nomor 2 Tahun 1996, yang mengatur ketentuan bebas pajak impor barang mewah bagi Tommy, dan telah menimbulkan kecemasan para 'pemain' mobil lain, akhirnya dipancung sendiri oleh Soeharto.
Mantan Presiden RI, Soeharto (tengah). (REUTERS)
Tak lama setelah itu, atau sekitar empat bulan berikutnya Soeharto pun mengundurkan diri sebagai Presiden. Tanggal 21 Mei 1998 pun menjadi tonggak sejarah penting, lahirnya gerakan reformasi di Indonesia.
Tahun itu juga, menjadi awal mulanya runtuhnya kerajaan keluarga Cendana. Satu per satu, mereka yang pernah menjadi raja selama 32 tahun di Indonesia menghilang.
Banyak yang menyebut klan yang dilaporkan memiliki harta kekayaan mencapai US$73 miliar ini sengaja tiarap. Lalu ada juga yang menyebut jika mereka sedang menikmati gelimang harta dari punci-pundi yang dikumpulkan, dan lainnya menyebut mereka kadung malu dan memilih menjauh.
Tutut yang Menyepi
Empat tahun usai lengsernya rezim orde baru oleh gelombang massa. Tanpa diduga, putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau yang populer dikenal sebagai Mbak Tutut muncul kembali di hadapan publik.
Tahun itu, Tutut muncul dengan sebuah nama Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang dipimpin mantan Kepala Staf TNI AD R Hartono yang pernah didapuk Soeharto sebagai Menteri Dalam Negeri.
Partai yang dibesut untuk Pemilu 2004 itu pun langsung mendaulat Tutut sebagai calon presiden. Namun kemudian kandas lantaran amunisinya tak cukup.
PKPB pun muncul lagi di tahun 2009, namun berubah nama menjadi Partai Karya Pembangunan Bangsa. Dan sial, putri Soeharto kelahiran 23 Januari 1949 ini lagi-lagi kandas.
Sejak itu, pemilik PT Citra Lamtoro Gung, perusahaan digdaya di era Soeharto, yang juga konon memiliki banyak pesawat mewah itu pun menghilang. Tak ada pemberitaan sedikit pun tentangnya.
Ia cuma terlihat muncul saat melayat Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew pada tahun 2015. Dan kemudian terdengar lagi ketika adiknya Siti Hediati Hariyadi, menyuarakan akan maju sebagai calon ketua umum Partai Golkar pada Desember 2017.
Lambang dari Partai Garuda, di Jakarta. (VIVA/VIVA/Fikri Halim)
Meski begitu, belakangan untuk Pemilu 2019. Muncul nama Partai Garuda. Parpol yang diketuai oleh Ahmad Ridha Sabana, mantan Presiden Direktur Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), ini diyakini kuat menjadi representasi Tutut di kancah politik.
Meski kemudian dibantah Partai Garuda. Namun, sulit menyangkal jika partai baru ini memiliki aroma bukan dari keluarga Cendana.
Titiek Sang Penerus
Medio Juli 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), resmi menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka dalam dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP).
Sebulan kemudian, Titiek Soeharto atau Siti Hediati Hariyadi, yang menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, langsung mengeluarkan pernyataan agar Novanto mundur.
"Rasanya untuk kebaikan Golkar ke depan dan untuk menjaga marwah DPR saya mengharapkan agar ketua DPR bisa berbesar hati untuk mengundurkan diri," ujar Titiek.
Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Titiek Soeharto (tengah) memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan di Gedung Granadi, Jakarta. (ANTARA FOTO/ Reno Esnir)
Perempuan yang menjadi komisaris PT Abhimata Mediatama, yang menaungi Surya Citra Televisi (SCTV) ini diakui memang menjadi satu-satunya figur dari klan Soeharto yang bercokol di Senayan.
Sejak keputusannya masuk di Partai Golkar pada 2012, Titiek terbukti sukses di karir politik ketimbang Tutut. Mantan istri Prabowo Subianto ini pun meraup suara untuk duduk di DPR pada pemilu 2014.
Sejak itulah, Titiek bak menjadi perpanjangan tangan keluarga Soeharto di dunia politik. Di DPR ia didapuk menjadi Wakil Ketua Komisi IV, dan pernah juga menjadi wakil ketua umum Partai Golkar.
Kehadiran Titiek di kancah politik tidak bisa dianggap sepele. Ini ditunjukkan dengan sikap kerasnya meminta Novanto mundur dari kursi ketua umum usai dicokok KPK.
Jelas ini bukan kebiasaan normal di tubuh partai berlambang Beringin sejak puluhan tahun lalu berkuasa. Titiek seperti menegaskan, bahwa Golkar yang besar di zaman Soeharto memang harus dihidupkan kembali ruhnya. "Kita cukup prihatin dengan apa yang terjadi di Golkar," ujar Titiek kala itu.
Titiek memang memiliki potensi menjadi penerus klan Soeharto di jagat politik. Secara usia ia masih mumpuni ketimbang Tutut yang usianya jauh lebih tua.
Selain itu, sebagai putri Soeharto, darah Golkar memang kental di tubuh Titiek. Sangat maklum jika ia berambisi kembali merebut partai yang dibesarkan ayahnya. "Golkar adalah partai besar dan aset bangsa," kata Titiek.
Atas itu juga, sampai hari ini Titiek masih bergumul untuk mewujudkan harapan klan Soeharto agar bisa kembali dianggap ada. Pemilu 2019 dan Golkar pun menjadi sebuah niscaya yang bisa mendorong Titiek.
Tommy "Penjaga Harta"
Sejak lengser, kiprah politik keluarga Cendana, memang terkesan diam. Meski begitu, pergerakan keluarga mantan penguasa 32 tahun ini tetap beriak dan sesekali muncul.
Tutut yang mencoba peruntungan lewat partai pada 2002, lalu Titiek yang kini bercokol di DPR, menjadi pertanda bahwa klan Soeharto masih ada.
Tak luput dilakukan Tommy Soeharto. Putra keenam Soeharto yang memiliki nama asli Hutomo Mandala Putra ini, bergerak pelan menautkan kakinya di politik.
Tahun 2009, atau tiga tahun berselang usai ia bebas bersyarat dari kasus pembunuhan Hakim Agung Syarifuddin, nama Tommy muncul dalam bursa calon Ketua Umum Partai Golkar dalam Musyawarah Nasional di Riau.
Namun sayang, Tommy tak mendapat satu pun suara. Perahu Golkar pun dipegang Aburizal Bakrie. Ia pun menjaga peruntungan lain dengan mendirikan Partai Nasional Republik pada tahun 2012, dengan cara mengakuisisi Partai Sarikat Indonesia.
Dan lagi-lagi, partai besutan Tommy ini gagal di jalan saat Pemilu 2014. Akhirnya partai ini pun melebur bersama Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Presiden Komisaris PT Humpuss Group Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto (kanan) menghadiri acara penandatanganan nota kesepahaman antara Humpuss Group dengan Muslimat NU disela-sela acara Penutupan Rapimnas PP Muslimat NU di Jakarta. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
Sampai di tahun 2016, Tommy kembali menggagas pendirian Partai Beringin Karya. Partai ini juga tak lain dari Nasional Republik yang gagal di tahun 2012 lalu. Ia pun didapuk menjadi ketua Majelis Tinggi sekaligus ketua Dewan Pembina.
"Partai ini didirikan oleh para militan Soeharto. Semua dengan semangat bekerja untuk Pak Tommy Soeharto, untuk membangun partai ini," ujar Ketua Umum Partai Berkarya Neneng A Tuty.
Tommy pun mendapat tiket di Pemilu 2019. Partai Berkarya miliknya dinyatakan lolos oleh KPU dan siap bersaing dengan 13 parpol lain.
Meski memang sulit menempatkan Tommy sebagai calon presiden karena terganjal Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang melarang calonnya pernah menjadi terpidana. Namun, setidaknya dengan kemunculan Partai Berkarya yang dibidani Tommy, maka akan memberi ruang gerak bagi trah Soeharto untuk bisa melesak maju selangkah.
Sementara, Tommy secara prinsip akan berada di belakang. Mengingat ia sejak dahulu memang sudah digadang sebagai "penjaga harta". Seperti pernah dilaporkan New York Times (1998), putra bontot Soeharto ini berserakan di beragam saham bisnis besar di luar negeri dan tanah air.
Tommy layaknya Tutut, sebagai pengawal pundi harta klan Soeharto yang tersisa dan berhamburan dimana-mana. Entah itu dalam sektor properti, telekomunikasi, makanan, infrastruktur, perdagangan dan lain sebagainya.
Atas itu, masuk di dunia politik tak lebih seperti sebuah mainan bocah kecil, dan tak perlu hiruk pikuk. Cukup Titiek yang menjadi andalan.
Mantera Piye Kabare
Terlepas itu, bukti bahwa hasrat keluarga Cendana ingin tampil ke permukaan lagi sudah terlihat. Meski banyak pihak masih menyangsikan. Namun, tetap tak bisa disepelekan begitu saja.
Tutut telah muncul meski samar lewat Partai Garuda, lalu Titiek lewat Partai Golkar-nya, kemudian Tommy lewat Partai Berkarya. Belum lagi Bambang Trihatmodjo, yang terkenal tajir dan kini telah didaulat menjadi komisaris NET TV.
Lalu berikutnya si putri bungsu Siti Hutami Endang Adiningsih, atau Mamiek, pemilik Taman Buah Mekarsari Bogor, atau mungkin juga putra kedua Soeharto, Sigit Harjojudanto, yang juga mewarisi ragam kekayaan, meski memilih jauh dari dunia politik.
Menurut pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio, meski peluang trah Soeharto cukup sempit. Namun bagaimana pun peluang itu tetap ada. Salah satunya dengan menjadikan romantisme Orde Baru sebagai bahan simpatik.
"Bila kondisi ekonomi tidak membaik maka kampanye keberhasilan zaman Orba lebih enak bisa ditelan. Jualan Orde Baru berhasil, 'enakan zaman Soeharto' dibanding reformasi," ujar Hendri.
Karena itu, jangan terkejut jika di masyarakat kini sudah sejak 2013, beredar massal sejumlah foto, kaos, stiker atau poster yang menampilkan sosok Soeharto sebagai figurnya.
"Piye kabare, iseh penak jamanku tho" (Bagaimana kabarnya, masih enak zaman ku kan). Demikian salah satu slogan yang masif muncul dimana pun, dan begitu mudah ditemui.
Baliho dengan figur Soeharto. (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)
Pesan itu begitu jelas dan kuat. Ia menyihir agar orang ingat kembali pada masa di era Soeharto. "Mereka mencoba untuk membalik lembaran sejarah bahwa Soeharto atau keluarganya dan rezim Soeharto tidak ditulis dalam catatan noda yang kelam dalam sejarah Indonesia, paling tidak itu yang mereka inginkan," ujar Sosiolog UGM Muhammad Najib Azca seperti dikutip dalam BBC.
Ya, ada mantra yang sedang diembuskan untuk menghidupkan kembali era keemasan Soeharto. Mimpi Gemah Ripah Loh Jinawi yang dulu menjadi slogan menjadi sebuah modal kuat untuk mengulik simpati publik.
Bisa jadi, mantra itu berpengaruh. Namun bisa juga ia menjadi basi di era kekinian, yang banyak melibatkan para pemilih muda yang tak mengenal mewah atau tidaknya rezim Orde Baru.
"Pasar mereka tidak terlalu besar. Yang bisa mereka mainkan adalah memori orang yang mengalami langsung Orde Baru, bukan pemilih muda," pengajar ilmu politik di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Mada Sukmajati. (umi)