SOROT 487

Menjaga Peradaban dari Kepunahan

Rumah Cimanggis, Depok, yang akan dibangun universitas
Sumber :

VIVA – Akhir tahun lalu, warga Kota Depok dibikin geger dengan rencana pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Pasalnya, pembangunan itu akan menghancurkan Rumah Cimanggis, sebuah bangunan tua yang berdiri sejak abad ke 18 Masehi.

Rencana itu membuat para pegiat dan peminat sejarah melakukan protes. Mereka menentang rencana penghancuran bangunan tersebut. Karena, bangunan itu adalah saksi sejarah sejak tiga abad lalu.

Bangunan tua yang megah itu berlokasi di kompleks Radio Republik Indonesia (RRI) Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Bangunannya memang sudah tak lagi berbentuk utuh. Atapnya sudah roboh dan nyaris tak bersisa. Tapi tembok dan jendela-jendela yang sebagian sudah hancur dan penuh lumut masih kokoh berdiri.

Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga Ketua Yayasan UIII, Rumah Cimanggis tak layak untuk disebut sebagai benda bersejarah. "Rumah itu rumah istri kedua dari penjajah yang korup. Jadi, rumah istri kedua gubernur yang korup, masa mau menjadi situs masa lalu. Yang mau kita bikin di situ situs masa depan," ujarnya.

Ketua Heritage Community Ratu Farah Diba membantah argumen Jusuf Kalla. Menurut dia, Rumah Cimanggis sangat perlu dilestarikan karena menjadi bukti dari peninggalan sejarah Depok pada masa kolonial sebagaimana tertuang dalam lampiran Perda nomor 1 tahun 1999 tentang Hari Jadi dan Lambang Kota Depok.

“Di dalam lampiran satu tertuang tentang sejarah singkat Kota Depok yang terbagi dalam tujuh zaman atau fase dan salah satunya Depok pada zaman kolonial yang mengakui keberadaan masa kolonial di Depok. Untuk itu sebagai bukti dari sejarah harus dilindungi dan dilestarikan sebagaimana Undang-Undang nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya yang turut mengaturnya,” kata Farah kepada VIVA di Depok, Rabu 7 Februari 2018.

Farah menjelaskan soal istri kedua van der Parra yang disinggung JK. Ia mengatakan, rumah itu dibangun oleh Gubernur Jenderal VOC  Petrus Albertus van der Parra pada tahun 1775 untuk istri keduanya. Tapi dalam hal ini, istri kedua dalam pernikahan Petrus Albertus bukan poligami.

"Adriana Johanna Bake dinikahi oleh Petrus Albertus van der Parra setelah istri pertamanya Elizabeth dua tahun meninggal dunia,” ujarnya menjelaskan.

Menurut dia, menentukan layak tidaknya sebuah bangunan menjadi cagar budaya atau situs budaya tidak bisa dilihat dari sisi pribadi, tetapi melihatnya dari kekhususan atau kekhasan bangunan tersebut. Seperti keunikan ornamennya, gaya bangunannya serta keindahan bangunannya di masa lalu, yaitu rumah peristirahatan yang memiliki lahan yang luas dipenuhi tanaman yang tertata dan perkebunan di bagian lain.

Benda Cagar Budaya

Edi, seorang warga sekitar yang tinggal tak jauh dari Rumah Cimanggis mengatakan, sejak ia kecil rumah itu sudah ada. Ia pindah ke kompleks RRI pada tahun 1958, dan rumah itu sudah ada. "Saya sering main bola di sekitar situ," ujarnya mengenang.

Pria 59 tahun tersebut mengingat, penghuni terakhir rumah itu adalah pegawai RRI. "Itu sekitar tahun 1980-an. Rumah itu ditinggali dan dirawat. Tapi karena akhirnya dia punya rumah sendiri, rumah itu ditinggalkan. Bangunannya sudah lapuk, banyak balok yang jatuh," ujarnya menambahkan.

Edi tidak setuju rumah itu digusur karena itu adalah rumah peninggalan. "Sedikit apa pun, kalau mau dirawat ya masih bisa. Ada cerita buat anak cucu kita. Bahkan komunitas yang datang ke sini bilang, ternyata di Cimanggis ada yang seperti ini."

Rumah Cimanggis akhirnya memunculkan kontroversi. Benarkah bangunan itu tak layak masuk Cagar Budaya? Menurut Ratu Farah Diba, Rumah Cimanggis sudah layak masuk Cagar Budaya. Farah merujuk pada Kriteria Cagar Budaya yang tercantum pada Pasal 5 Bab III UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

"Usianya lebih dari 50 tahun. Rumah Cimanggis juga memiliki arti khusus untuk pendidikan, khususnya desain dan arsitektur. Arsitekturnya memperlihatkan perpaduan antara gaya lokal (pribumi) dengan gaya Indische atau Belanda,” katanya.

Ketua Ikatan Ahli Arkeolog Indonesia (IAAI) Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan mengatakan, Rumah Cimanggis adalah warisan budaya kebendaan yang memiliki nilai-nilai kesejarahan dan pengetahuan dalam bidang arsitektur. Senada dengan Farah Diba, Wiwin juga tak sependapat dengan JK.

“Warisan budaya yang juga pernah digunakan untuk hal-hal yang menyakitkan bangsa kita harus diakui sebagai sejarah kita. Kita tidak boleh malu. Bagaimana mungkin cerita sejarah kelam yang dapat dijadikan pembelajaran ke depan dapat ditunjukkan kepada generasi muda dan mendatang kalau bukti-bukti fisiknya dihilangkan,” kata Arkeolog asal Universitas Indonesia (UI) ini kepada VIVA, Rabu, 7 Februari 2018.

Menentukan apakah sebuah jejak atau objek masa lalu bisa digolongkan sebagai Cagar Budaya memang tak mudah. Merujuk pada Pasal 5 Bab III UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, ada klasifikasinya, yaitu Benda, Struktur, Bangunan, Situs, dan Kawasan. Juga ada kriteria yang harus dipenuhi, yaitu berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, memiliki arti khusus bagi Sejarah, Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, Agama, dan/atau Kebudayaan dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian.

Jejak dan objek masa lalu itu juga harus didaftarkan dulu ke pemerintah daerah. Setelah itu ada tim khusus dari Tim Ahli Cagar Budaya yang akan meninjau dan menilai apakah jejak masa lalu itu memang layak untuk menjadi cagar budaya. Jika layak, maka pemerintah daerah akan mensahkannya.

Persoalan Bangunan Tugu Hotel Tua Jakarta Disorot, Ini Alasannya

Kendalanya, menurut Tim Ahli Cagar Budaya Nasional yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr Anna Erliyana S.H. M.H, banyak daerah yang belum memiliki tim yang menerima pendaftaran Cagar Budaya dan belum memiliki Tim Ahli Cagar Budaya. Sehingga pendaftaran dilakukan ke pemerintah pusat, atau pemerintah provinsi.

Koodinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA) Jhohannes Marbun mengatakan, yang harus dilihat apakah jejak atau objek masa lalu itu memiliki nilai-nilai tertinggi yang bisa dijadikan acuan untuk bidang ilmu pengetahuan Sejarah, Antropologi dan Sosiologi. Penilaian itu tak bisa ditentukan oleh orang yang bukan ahlinya, sehingga harus dikaji oleh Tim Ahli Budaya menurut aturan mainnya sehingga relevan.

Hilmar Farid: PR Kita Masih Banyak Terutama Soal Perlindungan Cagar Budaya

"UU memberi kewenangan tim ahli cagar budaya untuk melakukan kajian bukan orang-orang yang tidak punya keahlian," ujarnya kepada VIVA, Kamis, 8 Februari 2018.

Pria yang akrab disapa Joe Marbun ini menggugah kesadaran publik untuk ikut peduli dengan mendaftarkan objek yang dianggap bersejarah agar tak dihancurkan. "Kesadaran masyarakat mendaftarkan obyek itu sebagai cagar budaya, pendataan cagar budaya oleh pemerintah, sehingga ketika sudah dinyatakan sebagai cagar budaya tidak akan dirobohkan dengan dalih pembangunan."

Tiket Museum Terlalu Murah, Pengunjung Bakal Dapat Pengalaman Murahan? Penggiat Angkat Bicara!

Diabaikan dan Dihancurkan

Bangunan Rumah Cimanggis hanya satu dari puluhan ribu bangunan tua atau situs bersejarah yang ada di Indonesia. Negara kepulauan terluas di dunia ini memiliki berbagai situs sejarah yang tersebar di berbagai daerah, bahkan sejak zaman Megalitikum. Sayangnya, tak semua bangunan atau peninggalan sejarah itu terjaga, atau dijaga dengan baik dan diposisikan sebagaimana layaknya peninggalan bersejarah.

Cara berpikir Wapres JK mengenai keberadaan bangunan Rumah Cimanggis mungkin bisa menjadi gambaran, betapa melestarikan sebuah bangunan bersejarah belum dianggap sebagai hal yang penting oleh pemerintah.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Tahun 2013 yang dikutip dari situs kemdikbud.go.id, jumlah Cagar Budaya di Indonesia mencapai 66.513, yang terdiri atas 54.398 Cagar Budaya Bergerak dan 12.115 Cagar Budaya Tidak Bergerak, yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.

Sayangnya, dari jumlah tersebut, cagar budaya yang dipelihara masih sangat sedikit. Menurut data tersebut, situs cagar budaya yang dipelihara hanya 1.895 cagar budaya, dengan 2.988 juru pelihara. Sedangkan yang telah dipugar berjumlah 643 cagar budaya, sekitar 146 telah dikonservasi, dan 983 telah ditetapkan oleh menteri.

Indonesia bahkan baru memiliki UU yang khusus mengatur tentang Cagar Budaya pada tahun 2010, atau 65 tahun setelah negeri ini berdiri. Meski terlambat, tapi melalui UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, perlindungan terhadap benda atau bangunan tua di Indonesia jadi lebih terjaga.

Rumah Cimanggis juga bukan satu-satunya cagar budaya yang dihancurkan dengan dalih pembangunan. Tak hanya di Jakarta dan sekitarnya, bangunan kuno yang berusia puluhan hingga ratusan tahun di beberapa daerah juga banyak yang baik secara diam-diam maupun terang-terangan dihancurkan. Padahal, benda-benda itu seharusnya menjadi bukti atau dokumen sejarah yang mengandung pesan dan merefleksikan hubungannya dengan lingkungan alam sekitarnya, juga mencerminkan relasi sosial.

Di Jakarta ada Rumah Cantik di kawasan Menteng yang kini sudah berganti bangunan baru yang lebih modern. Di Bandung ada Rumah Singer, dan pemandian umum Aquarius Tjihampelas, pemandian umum pertama yang dibangun pada tahun 1910. Di Madiun ada Rumah Kapiten China yang dibangun pada abad ke 19 dan di Palembang ada Pasar Cinde, dan di Surabaya ada rumah Bung Tomo. Semua bangunan itu sudah dihancurkan dan wujud aslinya sudah tiada.

Melindungi Cagar Budaya

Prof. Dr Anna Erliyana S.H. M.H. mengatakan, masih banyak yang belum paham soal UU tentang Cagar Budaya. Menurut dia, itu adalah tantangan terbesar dalam upaya menjaga kelestarian cagar budaya. "Pelestarian sering kali dianggap seolah-olah urusan pemerintah, bahkan hanya dianggap urusan orang-orang kebudayaan," ujarnya kepada VIVA, Rabu, 7 Februari 2018.

Tantangan lainnya adalah masalah ekonomi, atau hitung-hitungan ekonomis. "Misalnya bangunan yang memiliki nilai sejarah dengan mudah diruntuhkan karena dianggap ‘makan dana’ terus tanpa menghasilkan. Sementara itu bangunan baru dinilai lebih menguntungkan," ujarnya menambahkan.

Joe Marbun menilai, pemerintah yang memiliki peran besar dalam upaya pelestarian Cagar Budaya tak terasa kekuatannya. "Sejak UU No 11 Tahun 2010 disahkan, sampai sekarang tak ada peraturan pemerintah yang dibuat untuk melaksanakan UU tersebut," ujar pengamat budaya asal Yogyakarta ini.

Menurut dia, pemerintah saat ini justru mempersulit diri sendiri karena aturan sudah jelas namun tidak mengetahui tugas dan fungsi serta kewenangannya. Ia mengatakan, kalau memahami dan jika ada keterbatasan anggaran untuk pelestarian, maka bisa dimulai dengan pendataan cagar budaya. Dan dari data tersebut pemerintah bisa membuat anggaran untuk pelestarian.

"Jika tidak bisa pemerintah bisa minta pihak swasta untuk mengelola. Apalagi banyak cagar budaya itu yang dimiliki masyarakat seperti bangunan rumah. Pemerintah cukup meniadakan pajak-pajak yang memberatkan pemilik bangunan kuno tersebut sehingga pemilik akan terus menjaganya tanpa campur tangan pemerintah."

Kepala Sub Direktorat Pelestarian Cagar Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R. Widiati justru mengkritik lemahnya perhatian Kepala Daerah terkait pelestarian Cagar Budaya.

"Bahasanya klise, masalah anggaran. Tidak ada dana untuk melaksanakan pelestarian Cagar Budaya. Padahal, kan itu tanggung jawab mereka. Karena kan memang yang memiliki daerah, dan Cagar Budaya itu ada di sana. Jadi mereka harus melakukan pelestarian. Tidak hanya membangun mal, tidak hanya bangun ini itu, yang berkaitan ekonomi secara langsung. Mereka punya kewajiban untuk melakukan pelestarian Cagar Budaya," ujarnya kepada VIVA, Kamis, 8 Februari 2018. 

Pengesahan suatu objek menjadi Cagar Budaya memang akan memiliki dampak lain. Pemerintah Daerah wajib menjaga dan melestarikannya. Itu artinya ada dana yang harus dikeluarkan. Widiati menjelaskan, dalam kata 'pelestarian' itu di dalamnya ada perlindungan, ada pengembangan, dan ada pemanfaatan. Dengan adanya Cagar Budaya itu seharusnya bisa memberikan manfaat. Karena mukadimah dalam Undang-undang Cagar Budaya sendiri untuk masyarakat.

"Jadi keberadaan cagar budaya itu harus memberikan manfaat bagi masyarakat. Dan harus dikemas dulu, dilindungi dulu jangan sampai hancur," ujarnya menambahkan.

Ia merujuk Rumah Cimanggis yang tak dirawat sehingga hancur. "Kalau misalnya tidak dibiarkan, tidak hancur, itu kan bisa dimanfaatkan. Terserah dimanfaatkan seperti apa, bisa untuk museum, kantor juga bisa, RRI juga bisa. Pemiliknya kan kalau tidak salah RRI. Pemanfaatan bisa. Kalau mundur sejarah, mau tidak mau melekat pada kita. Di mana pun juga, siapa pun juga."

Widiati membantah, bahwa pemerintah abai terhadap pelestarian cagar budaya. Menurut dia, melalui Rencana Strategis Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman 2015-2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai mengatur langkah untuk melestarikan Cagar Budaya dan Museum yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kerja keras Ratu Farah Diba dan teman-temannya dari Heritage Community Kota Depok membuahkan hasil. Meski belum mendapat pengesahan, setidaknya upaya mereka sudah mendapat perhatian. Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat Ida Hernida mengatakan, pihaknya sudah menerima surat untuk meneliti Rumah Cimanggis. Ia juga sudah mengirim Tim Ahli Cagar Budaya Jawa Barat untuk meninjau bangunan tersebut.

Widiati juga memastikan, Rumah Cimanggis tidak akan dihancurkan. Kesepakatan juga sudah dicapai antara Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dengan Ketua Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Komarudin Hidayat. 

"IAAI menaruh kepercayaan pada janji Prof Komarudiin Hidayat Rumah Cimanggis tak akan dihancurkan," ujar Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan.

Menjaga peninggalan sejarah masa lalu memang butuh kerja keras dan kemauan baik. Pemerintah adalah penyangga utamanya, tapi publik juga bisa ambil bagian untuk mengawasi dan mendata, juga mendaftarkan.

Cagar Budaya adalah  jejak sejarah untuk mengingat bagaimana hubungan sosial dan budaya sebuah wilayah bermula, mengakar hingga mengikat seluruh penduduknya. Dan dari sanalah peradaban terbentuk. (mus)

Baca juga

Cara Negara Lain Menjaga Warisan

Cagar Budaya, Warisan yang Diabaikan

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya