Prahara Hanura
- ANTARA FOTO/Galih Pradipta
VIVA – Nama Oesman Sapta Odang kembali menjadi sorotan. Kali ini, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu berpolemik dengan elite Hanura. Pemicunya, politikus yang akrab disapa Oso itu dipecat dari posisi ketua umum lantaran mosi tidak percaya.
Pemecatan Oso ini memang seperti kabar bak petir di siang bolong. Karir Oso di Hanura karena ditawari menjadi Ketua Umum menggantikan Wiranto yang dipilih Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Oso menjadi calon tunggal pengganti Wiranto dan dikukuhkan melalui Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Hanura pada Desember 2016. Terpilih menjadi ketua umum, Oso membuat kebijakan kontroversial. Saat itu, sejumlah anggota DPD 'dibajak' Oso dan diplot sebagai pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Hanura. Namun, Oso tak peduli dan tetap jalan memimpin Hanura.
Setahun lebih berselang atau tepatnya 15 Januari 2018, elite Hanura berkumpul lewat rapat pleno. Perwakilan dewan pembina dan dewan kehormatan Hanura turut hadir dalam pleno yang digelar Senin pagi, kemarin.
Hasil pleno tersebut menyetujui pemecetan Oso sebagai ketum yang sudah ditandatangani sejak sehari sebelumnya Minggu, 14 Januari 2018. Alasan utamanya, mosi tak percaya dari 27 DPD dan 400 lebih DPC yang meminta pergantian Oso.
Adanya mosi tak percaya ini lantaran kader daerah tak cocok dengan gaya kepemimpinan Oso yang sering menebar ancaman. Selain itu, faktor elektabilitas partai juga cenderung menurun sejak dipimpin Wakil Ketua MPR tersebut.
"Suara mayoritas DPD, DPC harus disikapi. Kalau enggak, partai bisa karam kapal, wassalam. Harus sadar elektabilitas partai terus turun," kata Wakil Sekretaris Jenderal DPP Hanura Dadang Rusdiana saat dihubungi VIVA, Senin, 15 Januari 2018.
Elite Hanura yang ‘menggusur’ Oesman Sapta Odang. ANTARA FOTO
Pemecatan Oso memunculkan dualisme kubu kepengurusan. Oso dipecat kemudian ditunjuk Wakil Ketua Umum Marsekal Madya (Purn) Daryatmo sebagai pelaksana tugas ketua umum. Daryatmo Kubu pertama ingin menggusur Oso. Sementara, barisan lainnya tak setuju pemecatan Oso. Perang opini pun disuarakan masing-masing kubu.
Merujuk anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) Hanura, pemecatan Oso diklaim sudah sesuai aturan. Pemberhentian cukup dengan rapat pleno yang nanti ditindaklanjuti keputusan dewan pembina. Hal ini tanpa perlu perhelatan Munaslub. Alasannya Munaslub diperlukan hanya untuk mengesahkan ketua umum definitif pengganti Oso.
"Enggak perlu munaslub. Pasal 16 ayat 1 AD/ART partai mengakomodir pemberhentian Oso. Pleno kita ini sah dan legal. Kalau Munaslub itu perlu untuk pengukuhan ketua umum pengganti definitif," jelas Dadang.
Sikap politik Oso yang memecat Sekretaris Jenderal Sariduddin Sudding pun dipertanyakan. Oso dinilai sudah tak punya legalitas melakukan revitalisasi kepengurusan DPP. Rapat tandingan yang dihelat Oso bersama kepengurusan versinya juga diragukan legalitasnya.
"Beda kalau yang di Manhattan Hotel enggak ada itu dewan pembina, dewan kehormatan. Kalau rapat di kami kan ada unsur semuanya, kami legal," kata Ketua DPP Hanura Dossy Iskandar.
Petikan SK surat pemecatan Oesman Sapta. VIVA.co.id
Pembelaan disuarakan loyalis Oso yang juga Wakil Ketua Umum DPP Hanura I Gede Pasek. Bagi Pasek, pemecatan Oso yang dilakukan Sudding Cs justru tak sah. Mestinya, pemberhentian Oso harus forum Munaslub.
Dukungan juga disuarakan Ketua DPP Hanura, Benny Rhamdani. Ia menekankan pleno tanpa kehadiran ketua umum adalah forum ilegal. Senator DPD asal Sulawesi Utara itu juga heran dengan pemecatan Oso. Pasalnya, Oso terpilih menjadi ketum karena calon tunggal dan secara aklamasi.
"Itu enggak bisa. Kan jelas itu dalam AD/ART. Pak Oso ini terpilih secara aklamasi. Kok lucu sekarang dipecat, katanya mahar politik. Aduh, jangan bikin bingung lah," tutur Benny kepada VIVA, Senin, 15 Januari 2018.
Selanjutnya, ‘Mahar Politik’ Versi Oso
Isu mahar politik di pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018 juga menjadi alasan kader Hanura mengkudeta Oso dari takhta Ketua Umum DPP Hanura. Wakil Sekretaris Jenderal DPP Hanura Dadang Rusdiana menyebut mahar politik ini terkait persetujuan pasangan calon dengan munculnya surat keterangan ganda di sejumlah daerah.
"Saya sebut di antaranya saja nih. Kabupaten Tarakan, Garut, dan Purwakarta. Tiga itu dulu saja deh," jelas Dadang.
Kader daerah mengeluhkan adanya SK ganda. Menurut dia, protes Sarifuddin Sudding sebagai sekretaris jenderal tak dipedulikan Oso. Suding yang tak mau menandatangani SK, akhirnya Oso meminta wakil sekretaris jenderal untuk meneken SK.
"Pak Sekjen Suding disuruh tanda tangan SK dua kali, tidak mau lah nolak. Akhirnya Oso pakai tanda tangan wasekjen. Ini aib, memalukan. Kader daerah mengeluh," tuturnya.
Baca: Oso: Kalau Wiranto Setuju, Saya Pecat Balik Dia
Dipecat dari posisi ketua umum, Oso tak tinggal diam. Ia sudah menyiapkan rapat pleno tandingan dengan para loyalisnya di hotel Manhattan, Jakarta, Senin, 15 Januari 2018. Oso menegaskan akan melawan kelompok yang mengkudetanya dari kursi ketua umum.
"Saya tidak peduli apa yang dilakukan sekelompok orang-orang kecil yang ingin merusak partai pasti akan kita klawan dan tertibkan," ujar Oso.
Oso membantah soal mahar politik dan SK ganda di sejumlah daerah. Ia menilai tak usah munafik dalam cost politik Pilkada. Menurutnya, selama itu untuk kepentingan pribadi dan bukan pribadi maka tak ada masalah.
"Semua juga tahu ada cost politik dalam partai. Itu sah-sah saja. Sumbangan yang tulus ikhlas, tidak mengikat dan tidak memaksa," kata Oso.
Api dalam sekam
Konflik Hanura di tahun politik diibaratkan seperti api dalam sekam. Pengamat politik asal Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai, awal terpilihnya Oso menggantikan Wiranto sebagai ketua umum sudah memunculkan keraguan. Namun, ini seperti dibiarkan oleh internal Hanura sampai melenggangnya Oso sebagai calon tunggal.
"Ini saya pernah katakan seperti api dalam sekam suatub waktu bisa menebarkan. Kan proses pemilihan Oso sebagai ketua umum juga banyak yang protes tidak sesuai, melanggar partai," kata Hendri dalam pesan singkatnya kepada VIVA, Senin, 15 Januari 2018.
Secara politik, nasib Hanura saat ini ditentukan kader yang terpecah dua kubu. Bila sadar untuk kepentingan partai, maka sebaiknya bisa islah. Tapi, jika memang harus bertarung terus akan ada konsekuensi terhadap elektabilitas partai mengingat saat ini adalah tahun politik.
"Hanura ini partai medioker. Bagaimana ke depannya, ya dari kader sendiri. Terserah saja. Nyatanya Hanura kopong, tidak solid," tutur Hendri.
Baca: Makin Panas, Oso Pecat Sarifuddin Sudding dari Sekjen Hanura
Analisis serupa disampaikan pakar politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti 'Wiwiek' Zuhro. Bagi dia konflik Hanura bisa berpotensi seperti dualisme yang terjadi di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Polemik Hanura diprediksi bisa makin rumit bila tak ada solusi.
"Saling tidak percaya antar elite makin runcing ketika mosi tidak percaya kepada pimpinan menguat. Internal Hanura bisa jadi makin membara," kata Wiwiek saat dihubungi VIVA, Senin, 15 Januari 2018.
Konflik Hanura dinilai beresiko karena terjadi di tahun politik dan saat rangkaian Pilkada. Publik menyoroti persoalan ini. Pertaruhan elektabilitas partai jadi risikonya.