Bola Panas Impor Beras
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA – Indonesia kembali mengimpor beras. Awal 2018, pemerintah membuka keran impor beras khusus sebanyak 500 ribu ton dari Vietnam dan Thailand.
Langkah yang dinilai tidak populis lantaran terjadi di tahun politik ini diharapkan bisa menekan harga beras yang saat ini sedang melonjak tinggi. Menurut Kementerian Perdagangan, keputusan impor setelah melewati rangkaian operasi pasar hingga pembahasan dengan berbagai pihak.
Bicara impor beras, sebenarnya bukan barang baru, khususnya di era pemerintahan Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla. Menurut data Badan Pusat Statistik, sejak 2015 hingga 2017, keran impor salah satu bahan pokok masyarakat Indonesia ini tetap terbuka.
Pada 2015, pemerintah mengimpor 861.601 ton beras. Lalu, 2016 meningkat menjadi 1,28 juta ton, serta 2017, turun menjadi 256.559 ton.
Ironis, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pernah sesumbar kalau Indonesia tidak akan impor beras pada 2018, karena capaian produksi cukup menggembirakan. Hal ini diungkapkannya saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian Nasional 2017 di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, awal Juni 2017.
Namun fakta berkata lain. Di mata Guru Besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa, kenaikan harga beras sebenarnya sudah terjadi sejak Mei 2017.
Meski pada Juli sempat turun, namun itu disebabkan ada kasus PT Indo Beras Unggul (IBU) akibat dugaan kecurangan dalam memproduksi beras.
"Gara-gara kasus inilah, Satgas Pangan mendatangi semua pedagang beras untuk mengecek apakah mereka menimbun atau tidak. Pedagang jadi ketakutan sehingga (harga) beras dilepas, sehingga harganya relatif turun," ungkap Dwi kepada VIVA, Minggu, 14 Januari 2018.
Kemudian, harga beras pada Agustus kembali meningkat hingga melonjak pada akhir Desember 2017.
Ia melanjutkan, pada saat yang bersamaan, Dwi yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), melakukan kajian dengan berkeliling dari Jawa Barat hingga Tabanan, Bali, untuk memantau situasi.
"Memang ada serangan hama wereng coklat ke 400 ribu hektare lahan sawah. Memang sangat besar. AB2TI berkesimpulan bahwa produksi padi tahun 2017 lebih rendah dari tahun 2016. Saya melihat keputusan (impor) murni karena masalah supply and demand," ungkapnya.
Dwi menuturkan apabila pemerintah memutuskan saat ini mengimpor beras, maka paling cepat datang pada akhir Februari 2018. Ia menjelaskan tidak mungkin beras akan masuk dan beredar di pasar-pasar dua minggu setelah keran impor dibuka.
"Kita tidak hanya bicara beras masuk ke pelabuhan, tetapi sudah didistribusikan ke masyarakat. Barangnya masuk akhir bulan Februari. Ini mendekati panen raya," papar dia.
Kendati impor lagi, Dwi mengingatkan kalau pemerintah harus menata kelola pangan lebih benar, bukan berdasarkan klaim.
Alasannya karena jika kebijakan hanya berdasarkan pada klaim, maka dipastikan bisa kacau. Dwi pun menyoroti kinerja Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang mengklaim kalau Indonesia surplus 17,4 juta ton beras.
"Saya sudah mengamati lama. Sejak bulan Juli tahun lalu. Ada masalah produksi. Pemerintah terpesona dengan laporan Pak Amran. Kalau saja pemerintah mudeng seharusnya masuk semester kedua (Juli-Agustus) sudah ancang-ancang," terangnya.
Ia juga mempertanyakan laporan Mentan yang menyebut surplus 17,4 juta ton. Sebab, gudang milik Badan Urusan Logistik (Bulog) hanya mampu menampung maksimal tiga juta ton.
"Gudang Bulog malah banyak yang kosong. Kan, kacau jadinya. Kalau harga sudah meledak baru diputuskan impor," jelas Dwi. Ia juga menegaskan bahwa jangan menempatkan petani sebagai objek karena posisinya sebagai produsen beras.
"Itu yang terpenting. Gagal paham arti kedaulatan pangan itu sendiri," tegas Dwi. Selama ini pemerintah memandang kedaulatan pangan sama dengan swasembada. Padahal tidak.
Selain itu, kunci penting lainnya yang mendorong kesuksesan dari kedaulatan pangan adalah petani. "Petani harus sejahtera dan lebih berdaulat dalam menentukan usaha mereka. Pemerintah harus subsidi kebutuhan petani seperti benih pupuk," kata Dwi.
Nasib Petani Kian Mengenaskan
Bicara profesi petani, kini makin mengenaskan. Petani, di mata para pemuda zaman now, bukanlah profesi yang menjanjikan. Pemerintah harus memutar otak mengembalikan muruah (kehormatan/harga diri) petani agar tidak ditinggalkan.
Selain itu, paradigma budaya pertanian menggunakan lahan (on farm) juga dinilai harus diubah mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia kemudian melakukan riset. Hasilnya mencengangkan. Petani Indonesia tak lama lagi akan 'punah'. Karena, saat ini rata-rata usia petani nasional mayoritas 45 tahun ke atas.
Berdasarkan riset Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, rata-rata usia petani di tiga desa pertanian padi di tiga kabupaten di Jawa Tengah mencapai 52 tahun.
Ketiga wilayah tersebut yaitu Sragen, Klaten, dan Sukoharjo. Masing-masing kabupaten diwakili oleh 50 kepala keluarga, sehingga terdapat 150 kepala keluarga yang diriset oleh LIPI.
Pada kesempatan terpisah, pengamat ekonomi dari Center for Strategic and International Studies, Yose Rizal Damuri, menilai kebijakan perberasan yang saat ini dijalankan pemerintah dipastikan gagal.
Sebab, menurut Yose, pemerintah selama ini melakukan kontrol harga melalui harga eceran tertinggi (HET) dan volume beras yang tersedia.
BACA JUGA: Kebijakan impor beras dinilai aneh
"Kedua kebijakan tersebut (kontrol harga dan volume beras) sama-sama membutuhkan impor. Ini tidak akan berjalan," kata dia kepada VIVA.
Sebaliknya, Yose melanjutkan, apabila impor dilarang, maka harga dipastikan naik. Dengan demikian, HET yang dikumandangkan pemerintah 5 bulan lalu tidak akan bisa terlaksana.
Ia juga menegaskan, persoalan impor beras ini bukan masalah Nawacita ataupun kampanye. Tapi masalah kebijakan yang mustahil untuk dilaksanakan. Kalau mau harga rendah maka pasokan harus tersedia, yang tidak hanya didapat dari domestik saja.
"Kalau memang pilihannya tidak melakukan impor, maka harga harus naik dan masyarakat yang dikorbankan, terutama penduduk miskin," kata Yose.
Ia berpendapat kebijakan yang lebih tepat saat ini adalah mencabut HET namun tetap menjaga pasokan. Hal ini tentu saja harus di-backup dengan data perberasan yang baik.
"Ada kecurigaan yang besar bahwa data saat ini dimanipulasi besar-besaran. Jadi, dengan data yang baik kita bisa tahu apakah pasokan tersedia dengan cukup atau tidak. Kalau kurang memang kita perlu impor. Nggak perlu alergi terhadap impor. Apalagi pada tahun politik seperti ini," tegasnya.
Ia pun mengakui langkah impor saat ini sudah cukup tepat, tetapi mungkin telat untuk dilaksanakan. Untuk jangka panjang, tentunya produktivitas pertanian harus ditingkatkan.
"Ini adalah kewajiban Menteri Pertanian (Amran Sulaiman). Urusannya adalah meningkatkan kinerja pertanian, bukan mengatur impor dan harga beras. Itu serahkan saja ke Menteri Perdagangan (Enggartiasto Lukita)," kata Yose. (one)