Kekerasan Perempuan Itu Ada di Kepalamu
- pixabay.com
VIVA – Letty Sultri, perempuan berusia 46 tahun ini meregang nyawa di ruang kerjanya. Dua peluru bersarang di dada dan satu lagi di paha. Darah menyimbah di lantai.
Istri dari Ryan Helmi yang sudah sejak empat bulan lalu meminta cerai itu tak sempat mendengar putusan hakim. Kalap suaminya yang sudah menjadi penderitaan Letty sejak beberapa waktu mencapai puncaknya di pekan pertama November 2017.
Dokter Letty pun tewas mengenaskan, sementara suaminya menceracau di polisi jika istrinya akan bereinkarnasi setelah kematiannya. Tak jelas apakah itu sandiwara atau bukan.
Namun yang jelas, dr Ryan Helmi mau dengan dalih apa pun tetaplah seorang pembunuh. Lima tahun janji pernikahan keduanya berakhir di selongsong peluru.
FOTO: dr Ryan Helmi, suami dari dr Letty Sultri saat menjalani proses rekonstruksi perkara
Di lain waktu, sepekan setelah kematian Letty. Seorang perempuan bernama Dewi Sinta menemui nasib serupa. Wanita berusia 39 tahun ini tewas usai diinjak-injak lehernya oleh suaminya sendiri, Agus.
Dewi yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang pijat di wilayah Kemayoran Jakarta Pusat itu, dalam kondisi lemah usai dianiaya, dibekap dan diseret. Rambutnya ditarik.
Nyawa Dewi pun tak tertolong meski sempat dilarikan ke rumah sakit. Apa daya, Tuhan berkehendak lain. Dewi meregang nyawa di tangan suaminya sendiri.
Apa yang dialami dr Letty dan Dewi, hanya secuil kasus betapa mengerikannya aksi penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh orang dekat. Tak cukup untuk memerikan satu per satu kisah tragis itu.
Bagaimana tidak, ini belum soal kisah Ni Putu yang dipotong kakinya oleh suami karena perkara cemburu, lalu belum soal nasib tragis Dewi Supartini di Garut Jawa Barat yang dilindas truk oleh suaminya, dan lain sebagainya.
Jelas tak sedikit ruang yang dibutuhkan untuk mencatat ini. Yang jelas apa yang dialami oleh para perempuan ini menakutkan. Nyawa mereka dihabisi oleh orang yang semestinya mendampingi mereka.
Setiap Hari Ada Kekerasan
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise pernah menyebut jika sepanjang tahun 2016 ada 24 juta perempuan di Indonesia alami kekerasan.
Dari jumlah itu, artinya ada 2 juta perempuan di Indonesia setiap bulannya atau setara lebih dari 66 ribu orang mengalami kekerasan setiap harinya.
"Sampai sekarang mereka mengalami kekerasan traumanya," kata Yohanna.
Mengenai bentuk kekerasan, mengutip dari laporan Badan Pusat Statistik Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016, setidaknya empat bentuk kekerasan yang dialami perempuan yakni, fisik, seksual, emosional dan ekonomi.
FOTO:Â Infografis kekerasan yang dialmi oleh perempuan di Indonesia sepanjang tahun 2016 oleh BPS.
Namun demikian dari ragam kekerasan itu, ada juga yang bersifat akumulatif yakni kekerasan fisik, seksual sekaligus emosional. Dan ada juga yang mengakumulatif secara keseluruhan yakni fisik, seksual, emosional hingga ke ekonomi.
Dari survei itu mengungkap, kekerasan fisik dan atau seksual pernah dialami oleh satu dari tiga perempuan Indonesia di usia 15-64 tahun atau ada 33,4 persen yang dilakukan oleh pasangan sendiri atau bukan.
Secara rinci, dilakukan oleh pasangan sendiri ada 18,3 persen dan sisanya 23,7 persen dilakukan oleh selain pasangan.
"Kekerasan fisik dan atau seksual cenderung lebih tinggi dialami perempuan yang tinggal di daerah perkotaan (36,3 persen) dibandingkan yang tinggal di daerah pedesaan (29,8 persen)" tulis laporan BPS yang dilansir bulan Maret 2017.
Catatan lain yang juga serupa namun berbeda institusi disampaikan oleh Komnas Perempuan Indonesia. Data lembaga ini sepanjang 2016, ada 259.150 jumlah kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 245.548 kasus diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan Komnas Perempuan yang tersebar di 34 Provinsi. Ini berarti setiap hari ada sekitar 700 kasus kekerasan yang dialami perempuan.
Dari kasus yang ditangani lembaga mitra, Pulau Jawa masuk dalam tiga besar banyaknya kekerasan yang dialami perempuan.
Dengan DKI Jakarta sebagai posisi pertama dengan 2.552 kasus kekerasan. Lalu Jawa Timur 1.635 kasus, Jawa Barat 1.377 kasus, dan Jawa Tengah 1.123 kasus.
"Dari 13.602 kasus kekerasan yang terjadi, 75 persen atau 10.205 kasus kekerasan terjadi di ranah personal, yakin kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)," kata Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan Indraswari awal Maret lalu.
Paparan data menakutkan ini sekali lagi masih segelintir. Ini belum mencakup apa yang dialami oleh para anak-anak perempuan. Tentu bisa dipastikan, begitu rumit membeberkannya dalam sebuah tulisan.
Yang jelas, untuk kasus kekerasan pada anak perempuan, khususnya yang berkaitan dengan seksualitas. Setidaknya sepanjang September 2016 hingga September 2017 ditemukan ada 508 anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual dan komersial anak.
Pelik bukan? Ingat, ini belum data tahun-tahun lalu atau data secara global, dan tentu saja itu belum melingkupi kasus yang tak terlapor, disembunyikan atau didiamkan.
93 persen penyintas tak laporkan pemerkosaan yang dialami: Survey https://t.co/odOKhJywCq #MulaiBicara #16daysofactivism pic.twitter.com/V8wp0lcziZ
— Magdalene (@the_magdalene) 29 November 2016
Tak terbayang bagaimana menderitanya kaum perempuan dan anak yang ada. Sebab, sekali kekerasan itu didapat maka ia akan membekas selamanya di ingatan. Ini artinya selama hidup, kekerasan yang pernah dirasakan selalu mendera, menyiksa dan terngiang terus.
Dalam Pikiran
Charles Fourier, seorang filsuf dan intelektual Prancis yang hidup pada 1772 hingga 1837 pernah menuliskan bahwa, "Perubahan jaman selalu dapat diukur dari kemajuan yang telah dicapai perempuan."
Kutipan ini menjadi sebuah contoh betapa perempuan penting diperhatikan. Namun demikian di perjalanannya, apa yang dihadapi perempuan ternyata lebih sulit.
Di Indonesia misalnya, dengan konsep agamais dan budaya patriarki yang menghegemoni di seluruh sektor tetap menjadi faktor utama awal mula kekerasan perempuan.
Paradigma bahwa perempuan lemah, penurut, seksi, pengasuh anak, dan lainnya telah menjadi budaya pikir yang meruntuhkan perjuangan perempuan.
Ya, seperti konsep Feminisme radikal yang ditulis Kate Millet dalam Rollin (1996), bahwa konsep patriarki memastikan bahwa laki-laki mempunyai peran maskulin dan dominan. Sementara perempuan ada di posisi subordinat atau feminin.
Ideologi itulah yang mendarahdaging di kepala laki-laki dan perempuan hingga kini. Sehingga, maklum kemudian kekerasan, penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan dan lain sebagainya ikut menjamur.
Apa pun itu, kekerasan terhadap perempuan dan anak, apa pun bentuknya harus dilawan. Di Indonesia, masalah ini sudah cukup pelik.
Jangan karena budaya patriarki yang mengejawantah dalam budaya, lalu masalah ini berakhir seadanya. "Jangan sederhanakan kasus kekerasan perempuan menjadi sebatas KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga)" kata Ketua Komnas Perempuan Azriana Rambe Manalu.
Dan pastinya, perlawanan kekerasan terhadap perempuan ini juga perlu upaya dari laki-laki si kaum patriarki. Awal mula kekerasan itu ada di dalam pikiran.
Selama konsep patriarki itu masih mengelabut di kepala, maka jadilah kekerasan itu. Ibarat kasus perkosaan, mau ditutup serapat apa pun tubuh perempuan, jika pikirannya memang hendak memperkosa ya terjadilah.