Hanya Ada Satu Kata: Lawan
- www.pixabay.com/geralt
VIVA.co.id – Tepat 31 tahun silam, sebuah puisi berjudul Peringatan dituliskan Wiji Thukul. Sajak singkat itu pun bersemayam hingga kini.
Lewat kata-katanya kala itu, Wiji Thukul pun telah mengingatkan bahwa bersuara di Indonesia khususnya mengkritik pemerintah, memang menakutkan.
Bila omongan penguasa tak ada yang membantah
Kebenaran pasti terancam
Bila usul ditolak
Kritik dilarang
Dengan dalih mengganggu keamanan
Berarti penguasa sedang ketakutan
FOTO: Wiji Thukul alias Widji Widodo, aktivis dan penyair
"Kekerasan pasti digunakan. Maka berhati-hatilah," demikian tambahan kata dalam gubahan puisi ini, ketika kembali dibacakan pada tahun 1987.
Ya, suka tidak suka, Wiji Thukul bak pintu untuk mencari sejarah kebebasan berbicara dan berpendapat di Indonesia. Lelaki ceking ini juga yang merekam jelas bahwa tak mudah bersuara di Indonesia. Ada darah dan korban yang telah menjadi tumbalnya.
Membungkam kritis
Masuk 21 tahun, misteri hilangnya Wiji Thukul, apa yang dulu pernah disuarakannya sepertinya masih relevan hingga saat ini.
Meski memang tak sekentara dulu, namun sepertinya kekhawatiran mengkritik pemerintah akan berbuah buruk memang tak bisa dibantah.Â
Jadi, ketika dulu Wiji Thukul berlawanan dengan negara, kini siapa yang bersuara 'tajam' berlawanan tidak cuma dengan negara, namun siapa pun yang merasa tak suka, khususnya di jejaring sosial, atau mereka yang menyampaikan ekspresinya di internet.
Lewat undang-undang yang dibuat negara, akhirnya kini antara pendapat, opini, kritik, atau pun ekspresi lain menjadi kabur. Singkatnya, kalau tak suka dengan apa yang disuarakan di mana pun, bisa dilaporkan, dibui, atau pun lebih tragisnya lagi dipersekusi.
FOTO: Daftar aktivis yang terjerat UU ITE dari tahun 2008-2017/safenet
Menurut lembaga Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), muasal masalah ini ditengarai oleh 'karetnya' Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Data Safenet, UU inilah yang kini menjerat lebih dari dua ratus orang atas sikap, atau pendapatnya di media sosial. Dan, lewat kebijakan itu juga yang membuat puluhan aktivis mendapat masalah.
"Total ada 35 aktivis. Sebanyak 28 aduan pada tahun 2014. Ini menjadikan kebebasan ekspresi pada periode pemerintahan Joko Widodo menjadi sorotan," tulis Jaringan Relawan Kebebasan Berekspresi di Asia Tenggara itu dalam siaran persnya dikutip Jumat, 8 September 2017.
Salah satu yang terbaru adalah pelaporan terhadap Dhandy Dwilaksono. Pria yang berprofesi sebagai jurnalis ini diadukan ke polisi, cuma karena opininya soal Megawati dan Aung San Suu Kyi.
Padahal, dari pemeriksaan Safenet, justru tidak ada yang bermasalah di opini tersebut. Tidak ada kebencian, kebohongan, atau pun pencemaran yang dilakukan.
Apa yang ditulis Dandhy, justru berupa fakta yang bisa ditemukan di lapangan. "(Ada) Upaya pemelintiran hukum yang digunakan para pelapornya untuk tujuan membungkam fakta dan data yang disampaikan mereka lewat media sosial," kata Koordinator Regional Safe-Net Damar Juniarto.
Atas itu, Safenet mengingatkan bahwa 'karet' yang kini bersembunyi dalam tafsir UU ITE akan bisa membahayakan masa depan demokrasi di Indonesia.
"Perlindungan kebebasan berekpresi menjadi vital kalau Indonesia tetap ingin demokratis."
Satu kata, lawan
Disadari atau tidak, UU ITE memang telah menjadi ancaman bagi mereka yang kritis. Multitafsirnya sejumlah pasal dalam undang-undang ini membuatnya bisa 'membelit' siapa pun.
Maklum, lewat UU itu juga, siapa pun yang berpendapat entah itu di blog, facebook, twitter, short message service (SMS), aplikasi chatting seperti WhatsApp, Line, BBM, dan lain sebagainya, bisa menjadi bencana.
Cukup bermodal potongan gambar, atau screenshot saja kini orang bisa melapor dan mempolisikan seseorang. Ditambah lagi, definisi soal pencemaran nama baik, penghinaan, kabar bohong, atau pun menakut-nakuti masih begitu abu-abu.
Karena itu, mahfum kemudian jika Safenet memetakan bahwa rata-rata motif pelaporan yang mengandalkan UU ITE, tak lebih dari unsur balas dendam, shock therapy, membungkam kritik, dan untuk barter kasus hukum lainnya.
Lalu, bagaimana menyikapi ini selain mendorong perbaikan menyeluruh ke UU ITE?
"Jangan menyebut nama orang, apalagi melakukan tuduhan-tuduhan," kata pendiri ICT Watch Donny Budi Utoyo, lembaga yang memfokuskan diri dalam kampanye pengguna internet sehat.
FOTO: Ilustrasi/Media Sosial
Donny tak menampik, jika mengungkapkan ekspresi di media sosial adalah hak setiap orang dan merupakan kewajaran. Namun, jika ingin melakukan itu haruslah disertai bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.
Atas itu, setuju atau tidak, di Indonesia kebebasan itu tetap ada batasnya. Ia mengikat dan tidak sedikit yang akhirnya membunuh kebebasan itu sendiri.
"Kebebasan di negara kita tidak benar-benar bebas. Kita akan berhadapan dengan kepentingan orang lain, nama baik orang lain," ujar anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM, Siane Indriani mengaku ada dilematis yang muncul dari UU ITE. Di satu sisi, ia membantu mengingatkan mereka yang kerap menebar kabar palsu, atau hoaks dan kebencian, namun di sisi lain ia bisa menggigit mereka yang bersuara kritis.
Dengan kata lain, ia bisa menjadi senjata pamungkas untuk mengkriminalisasi sesorang. "Jadi, memang harus ada payung hukum yang jelas, bagaimana implementasi undang-undang itu agar tidak main pukul rata penggunaannya," katanya.
Ya, singkatnya siapa pun memang harus bijak berpendapat di media sosial. Namun, jangan pula sampai membunuh kritik dan peringatan kepada negara tentang Kesewenangan.
Bak potongan sajak Wiji Thukul pada 31 tahun silam,
Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!