Hoax, Tsunami Baru di Era Post-Truth
- ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
VIVA.co.id – Informasi palsu atau hoax bak tsunami yang menggulung di jejaring sosial. Tak peduli siapa pun, semua terkena, terjangkiti, tertipu, terprovokasi dan tidak sedikit yang kemudian berakhir pada kekerasan.
Hoax kini sudah bak wabah. Ia menggerogoti kebenaran. Fakta pun sudah tak lagi menjadi hal penting. Lewat media sosial, kebohongan itu menggema dan meluas dengan cepatnya.
Akhir tahun lalu, tepatnya pada 4 Desember 2016, ketika muncul aksi kebhinekaan yang sebelumnya disebut-sebut sebagai aksi tandingan organisasi masyarakat Islam yang menggelar zikir dan doa bersama terkait penodaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Beredar sebuah foto jutaan orang tengah berdesak-desakan di bundaran Hotel Indonesia. Disebutkanlah bahwa foto itu adalah aksi Kebhinekaan pada 4 Desember 2016.
Foto itu pun disematkan dalam status twitter milik politikus kondang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Eva Kusuma Sundari. "Jakarta milik bersama, aneka warna, bhineka tunggal ika #jktke2ja," demikian tulis Eva.
Sial tak dapat ditolak. Foto itu pun serentak menuai hujatan. Maklum, faktanya foto itu bukanlah Parade Kebhinekaan pada 4 Desember. Foto itu justru diambil pada tahun 2014 saat kampanye PDIP bersama calon Presiden Joko Widodo.
Meski kemudian Eva buru-buru menghapus cuitannya, namun nahas hoax yang awalnya mungkin menyentuh Eva, terlanjur menyebar ke jejaring sosial. Jadilah foto palsu itu memicu hujatan demi hujatan.
FOTO: Unggahan foto palsu Parade Kebhinekaan, 4 Desember 2016 yang diunggah politikus PDIP Eva K Sundari
Lalu apakah cuma ini contohnya? Tentu tidak. Salah satu stasiun televisi swasta bahkan ikut menuai tuah dari Hoax. Masih dalam kejadian yang sama, beredar di jejaring sosial sebuah potongan gambar tayangan berita yang bertuliskan "Massa Aksi Kita Indonesia Mencapai 100 juta"
Potongan gambar itu menjadi viral di segala jejaring sosial. Dan dalam sekejap, stasiun televisi ini pun diserang karena dianggap menyebarkan berita palsu. Meski kemudian, stasiun televisi ini memberikan klarifikasinya soal itu.
Namun sayang, orang terlanjur percaya bahwa apa yang diberikan pertama kali adalah kebenaran sesungguhnya.
Zamannya Post Truth
Tahun 2016, kamus Oxford, sebuah terbitan dari Oxford University Press, yang memang memfokuskan pada bahasa atau kata modern yang kerap digunakan publik, pun menyebutkan informasi palsu atau hoax memang menjadi hal yang populer di tahun itu.
"Setelah menjalani proses diskusi, debat dan riset. Oxford Dictionaries menetapkan kata terpopuler untuk tahun 2016 adalah post-truth," demikian tulis editor Kamus Oxford yang dikutip VIVA.co.id di en.oxforddictionaries.com.
Post-truth is the Oxford Dictionaries Word of the Year 2016. Find out more: https://t.co/jxETqZMxsu pic.twitter.com/MVMuMyf83K
— Oxford Dictionaries (@OxfordWords) 16 November 2016
Dalam definisinya, post-truth, adalah kondisi di mana fakta tidak berpengaruh lagi dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Ya singkatnya, orang tidak lagi mempercayai fakta, mereka lebih meyakini keyakinan mereka atas suatu informasi.
Dasar Kamus Oxford menetapkan post-truth, cukup beralasan. Dari data yang diolah mereka, memang muncul penggunaan istilah tersebut hingga 2.000 persen dan itu terjadi peningkatannya pada tahun 2016.
Post-truth inilah yang kemudian ditandai dengan merebaknya berita hoax di jejaring sosial. Efeknya, publik pun mempercayai sesuatu yang seolah-olah benar meski itu tidak benar. Zaman post-truth inilah yang kemudian menjadi eranya kebenaran tak lagi dipercaya dan telah membuat perilaku serta keyakinan orang berubah.
FOTO: Frekuensi kata Post Truth yang digunakan publik pada tahun 2016. Catatan Kamus Oxford, kata Post Truth meningkat hingga 2.000 persen pada tahun 2016.
Peneliti media Wisnu Prasetya Utomo, seperti dikutip dalam laman remotivi.or.id, dalam sebuah artikel berjudul 'Ketika Berita Palsu Menjadi Industri' menyebutkan bahwa dampak buruk dari menyebarnya berita palsu atau hoax adalah bisa mempengaruhi orang untuk melakukan tindakan kekerasan.
Wisnu mencontohkan kejadian di Amerika Serikat. Di mana tersebar berita palsu di internet bahwa mantan calon presiden Hillary Clinton melakukan pelecehan seksual kepada anak-anak di sebuah restoran pizza.
Beberapa orang pun percaya. Karena itu mereka nekat membawa senjata ke sebuah restoran pizza dan mengancam para karyawannya. "Dalam konteks di Indonesia, potensi semacam ini bisa terjadi semakin sering. Apalagi jumlah pengakses internet Indonesia sudah mencapai lebih dari 50 persen dari jumlah penduduk," kata Wisnu.
Atas itu, era post-truth yang kini mewabah, memang harus diantisipasi. Fenomena ini sudah menjalar di Indonesia. Beberapa fakta sudah menunjukkan hal itu. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan?
Menolak Hoax
Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut setidaknya ada lebih dari 800 ribu situs di internet yang diindikasikan menyebar berita palsu atau hoax.
Jumlah ini masih terbilang sedikit, sebab tidak mengikutsertakan akun-akun yang bertebaran di media sosial dan menyebarkan hoax. Sejauh ini penanganan terhadap dua komponen itu memang tidak bisa seragam.
Untuk situs bentuknya berupa pemblokiran dan untuk media sosial, masih diupayakan untuk bekerjasama dengan penyedia layanannya. "Kami melihat konten. Siapa pun pemilik yang kontennya bertentangan dengan regulasi, ya selesai," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.
Sejauh ini, setidaknya hingga Desember 2016, untuk situs, Kemenkominfo mengaku sudah memblokir 773.339 konten negatif. Namun demikian, upaya itu bukanlah hal yang mudah. Blokir situs faktanya hanya menghabiskan tenaga. "Capek bos (blokir terus)," kata Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemenkominfo Semuel Abrijani Pangerapan.
FOTO: Menteri Komunikasi dan Informatika bersama Komunitas Masyarakat Antifitnah Indonesia saat deklarasi Gerakan Anti Hoax di Bundaran Hotel Indonesia, Minggu (8/1/2017)
Apalagi jika merujuk ke data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengakses internet Indonesia sudah mencapai 132,7 juta dari total penduduk mencapai 256,2 juta orang. Jumlah itu jauh meningkat drastis dibanding tahun 2014 yang hanya 88,1 juta orang.
Dan kemudian, mayoritas penggunaan internet tercatat 97,4 persen adalah media sosial. Sebanyak 54 persen atau sekira 71,6 juta mengakses melalui facebook, instagram 15 persen atau 19,9 juta, youtube 11 persen atau 14,5 juta, google+ 6 persen atau sekira 7,9 juta, twitter 5,5 persen atau 7,2 juta dan linkedin sebanyak 0,6 persen atau 796 ribu.
FOTO: Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 terhadap perilaku pengguna internet di Indonesia
Sejauh ini, seiring dengan langkah pemerintah dengan telah merencanakan pembentukan badan siber nasional yang akan mengawasi sebaran informasi hoax, dan kemudian penerbitan edaran ujaran kebencian (hatespeech), publik juga mulai bereaksi dengan membentuk kelompok 'penolak hoax'.
Deklarasi itu pun dilakukan serentak di sejumlah wilayah Indonesia pada Minggu, 8 Januari 2016. Salah satu alasan deklarasi ini adalah bahwa informasi palsu atau hoax telah menyebabkan dampak buruk bagi orang Indonesia.
"Banyak informasi hoax yang viral di media sosial, kemudian memicu keributan bahkan merembet menjadi kerusuhan fisik. Hal ini berpotensi mengganggu keamanan nasional," kata Ketua Masyarakat Anti Hoax Septiaji Eko Nugroho.
Menkominfo Rudiantara yang ikut hadir dalam deklarasi itu mengaku seiring dengan deklarasi tersebut, ke depan pihaknya akan memfokuskan penanganan segala hal yang berkaitan dengan hoax, lewat proses edukasi.
Menurut Rudiantara, pendidikan soal media sosial kepada masyarakat penting dilakukan untuk mengurangi maraknya informasi palsu di tingkat masyarakat yang bisa dikonsumsi.
"Kami akan lebih fokus kepada literasinya, bukan di hilir, bukan masalah blokir (situs hoax). Blokir itu (membuat) capek, tapi kita ke hulu. Istilahnya, kalau di hilir, kami menyembuhkan orang sakit. Tapi kalau di hulu, bagaimana kami membuat orang sehat," kata Rudiantara.
Apa pun itu, di balik 'ketakutan hoax', kekhawatiran akan penanganannya juga menjadi pemikiran publik. Sebabnya, langkah penyaringan hoax tersebut, tidak menutup kemungkinan bisa menjadi bumerang bagi publik untuk menyatakan pendapatnya.
"Mengawasi yang hoax tidak apa-apa. Tapi jangan sampai mengekang kebebasan berpendapat yang benar dan bertanggungjawab," sindir Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari.
Maklum, dengan segala macam aturan dan kelembagaannya, pemerintah bukan tidak mungkin dengan mudahnya 'mencokok' siapa pun yang sejatinya hanya ingin mengeluarkan pendapatnya.
Belum lagi dengan anggapan, bahwa ke depan, bukan tidak mungkin justru pemerintah yang menyebarkan hoax. Dasarnya adalah pemerintah memiliki seluruh sumber informasi dan tentu saja bukan tidak mungkin menyulap fakta menjadi kabar hoax untuk publik.
"(akan) Ada distorsi informasi dari pemerintah," kata pengajar filsafat Universitas Indonesia Rocky Gerung.
Hoax terbaik adalah hoax versi penguasa. Peralatan mereka lengkap: statistik, intelijen, editor, panggung, media, ..lu tambah sendiri deh..
— Rocky Gerung (@rockygerung) 2 Januari 2017
Hoax itu bohong yg dibuat masuk akal. Tapi hanya efektif mempengaruhi massa bila anda menguasai media massa. Hanya penguasa yang mampu.
— Rocky Gerung (@rockygerung) 2 Januari 2017