Ahmadiyah, Idul Adha, dan Konstitusi
- VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
VIVAnews - Puluhan anggota Front Pembela Islam (FPI) menyerbu dan merusak Masjid An-Nasir milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Gang Sapari Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, Bandung, Kamis tengah malam, 25 Oktober 2012. Penyerangan ini tepat saat jamaah sedang melaksanakan takbir Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1433 Hijriyah.
Informasi yang dihimpun VIVAnews menyebutkan, penyerangan bermula saat puluhan anggota FPI itu melakukan razia minuman keras dan hiburan malam di wilayah itu. Namun, saat melewati Masjid An-Nasir, sekitar pukul 23.00 WIB, mereka melihat warga Ahmadiyah tengah bertakbir.
FPI meminta warga Ahmadiyah menghentikan ibadah mereka. Permintaan itu ditolak. Cek-cok pun terjadi. Anggota FPI bersikukuh meminta jamaah mematuhi peraturan Gubernur Jabar yang melarang berbagai bentuk aktivitas Ahmadiyah.
Keputusan gubernur yang dimaksud adalah Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat, yang .
Karena tak ada yang mau mengalah, mereka mendatangi Mapolsek Astana Anyar yang letaknya hanya 300 meter dari masjid. Namun, pertemuan berakhir buntu.
Mendengar itu, anggota FPI yang masih berada di sekitar masjid melempari kaca dan merusak pagar masjid. Pengrusakan ini terjadi sekitar pukul 01.00, Jumat dini hari.
Wakil Kepala Polres Kota Besar Bandung AKBP Dadang Hartanto membantah bila kepolisian kebobolan. Menurut dia, Polisi sudah memantau razia yang dilakukan FPI sebab sebelumnya mereka telah meminta izin kepolisian. "Ada 20 anggota kami yang mengamankan," katanya di Bandung, Jumat.
"Saat itu kami sedang melakukan negosiasi antara kedua belah pihak di Polsek Astana Anyar, namun ada yang spontan melakukan perusakan masjid."
Wali Laskar FPI Bandung Raya, Muhammad Asep Abdulrahman atau sering disebut Utep, mengaku mereka tak sengaja menyerang masjid Ahmadiyah itu. Ketika itu, FPI bermaksud hanya merazia tempat hiburan malam yang tetap buka saat umat Islam merayakan Idul Adha.
"Kebetulan pulang lewat dekat masjid, dan kami melihat ada kegiatan serta simbol-simbol Ahmadiyah di dalamnya," katanya di Bandung.
Dilarang salat Id
Ahmadiyah yang diwakili Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, menyayangkan tindakan pihak kepolisian yang dinilai tidak melindungi warganya. Jemaah Ahmadiyah mengaku dipaksa polisi dari Polsek Astana Anyar dan Polrestabes Bandung membuat pernyataan tidak akan melaksanakan salat Idul Adha dan pemotongan hewan kurban pada Jumat 26 Oktober. Alasannya, demi keamanan.
"Sangat jelas ini tindakan pelanggaran," kata Kabid Internal LBH Bandung, Unung Nuralamsyah, Jumat.
Menurut Unung, tindakan polisi itu melanggar konstitusi. Diamanatkan UUD 1945, negara seharusnya menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan setiap warga negaranya, tanpa terkecuali. Negara, yang seharusnya menjadi benteng pertama yang menjamin keamanan, justru malah ikut serta mengintervensi dan melakukan tindakan intoleransi.
Namun, , Komisaris Besar Martinus Sitompul. Dia mengatakan kepolisian tidak pernah melarang jamaah Ahmadiyah melaksanakan salat Idul Adha. "Tidak mungkin kami melarang orang lain beribadah. Itu gila namanya," kata Martinus kepada VIVAnews, Sabtu.
Perlu tegas
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Ma'ruf Amin mengaku khawatir bila penyerangan ini tak cepat ditanggulangi. Menurut dia, penyerangan ini bisa menjalar ke kota besar lainnya.
Ma'ruf menegaskan penyerangan oleh FPI itu tidak bisa dibenarkan. "Eksekusi tidak boleh dilakukan oleh umat, masyarakat minta saja pada pemerintah," kata Ma'ruf di Jakarta, Sabtu.
Agar tak terjadi lagi tindakan anarkis serupa, Ma'ruf meminta kepada pemerintah untuk bergerak cepat mengatasi permasalah tersebut. "Aparat hukum harus sigap, harus berani melakukan tindakan. Kalau pidana, aparat harus berani, jangan pandang bulu," katanya.
Ia pun meminta kepada umat Islam untuk menahan diri dan tidak mudah terpancing emosi. "Ini terjadi karena emosi yang tidak terkendali, diprovokas. Ini yang harus dihindari," ujarnya.
Mengapa selalu Ahmadiyah
Penyerangan terhadap Ahmadiyah bukan terjadi di Bandung saja. Jauh sebelum itu di daerah-daerah lain kerap terjadi pengusiran. Di Lombok, misalnya, pada tahun 2004 para pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Lingsar, Kabupaten Lombok Barat itu harus mengungsi dari tanahnya sendiri. Jumlahnya tak sedikit, mencapai 36 kepala keluarga dan 138 jiwa. Bertahun-tahun mereka harus tinggal di Wisma Transito.
Tak hanya di Lombok, jamaah Ahmadiyah juga ditolak di Sulawesi Selatan. Sekretariat mereka di Jalan Anuang, Kecamatan Mamajang, Makassar, didatangi seratusan anggota FPI Sulawesi Selatan, pada 28 dan 29 Januari 2011. Akibatnya, puluhan anggota Ahmadiyah terpaksa diungsikan ke kantor Polrestabes Makassar.
Di barat Nusantara, nasib Ahmadiyah lebih buruk. Misalkan, ada masjid Ahmadiyah yang dibakar di Ciampea, Bogor. Lalu ada teror pembakaran panti asuhan di Tasikmalaya, bentrokan di Kuningan, hingga penyerbuan masjid di Jakarta. Puncak tragedi berdarah terjadi pada Ahad, 6 Februari 2011. Tiga orang tewas dalam penyerbuan rumah mubalig Ahmadiyah, Suparman, di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.
Setara Institute mencatat, pada kurun 2008-2010, ada 276 kali aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah. Terbanyak pada 2008, 193 kasus, atau 73 persen dari total kekerasan atas kaum minoritas di tahun itu. Pada 2009 dan 2010, Ahmadiyah diganyang masing-masing sebanyak 33 dan 50 kali.
Lalu apa sebenarnya yang menjadi masalah dengan Ahmadiyah?
FPI selalu menggembar-gemborkan bahwa Ahmadiyah telah melenceng dari Islam. Selain itu, keberadaannya sudah melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008. Surat itu memerintahkan penganut Ahmadiyah menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan Islam.
Tapi, keputusan itu memancing tafsir yang lentur. FPI, misalnya, memandang semua kegiatan Ahmadiyah tergolong dakwah. “Harusnya mereka berhenti. Jika tidak, mereka telah menyebarkan ajaran kafir,” teriak Habib Reza, suatu saat di tengah massa FPI Sulawesi Selatan.
Adalah perbedaan tafsir mengenai nabi terakhir yang jadi awal petaka ini. Ahmadiyah menafsirkan, setelah Nabi Muhammad wafat akan muncul pembaru. Dialah Mirza Ghulam Ahmad, nabi yang tak membawa syariat baru.
Ketua MUI Bidang Kerukunan Antar Umat Beragama Slamet Effendi Yusuf mengatakan penafsiran Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi tak bisa diterima sebagian besar umat Islam. "Hampir semua menganggap Ahmadiyah sesat," kata dia kepada VIVAnews.
Tapi, tudingan itu ditolak Ahmadiyah. Ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia Yogyakarta, Ahmad Saifudin Muttaqi, mengatakan mereka tak pernah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. "Syahadat kami tetap,” ujarnya sembari menirukan syahadat di rukun Islam.
Adapun soal kitab Tazkirah, kata Saifudin, bukanlah kitab suci. Kitab itu hanya semacam kumpulan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad. Pegangan dan pedoman hidup Ahmadiyah tetaplah Alquran.
Soal kontroversi Ahmadiyah ini, cendekiawan muslim dan mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Azyumardi Azra menekankan pentingnya ulama dan tokoh masyarakat mendidik masyarakat. Azyumardi meminta masyarakat tak alergi atas keberadaan Ahmadiyah. "Jangan cepat marah. Perkuat saja keimanan kita sendiri," ujar Azyumardi kepada VIVAnews. "Kementerian Agama perlu memberikan pendidikan yang lebih intensif kepada umat Islam supaya keimanannya tidak goyah."
Dia juga menyarankan pemerintah memperkuat toleransi kerukunan umat beragama.
Profesor Azyumardi sendiri percaya Ahmadiyah tak merusak agama Islam. Keberadaan Ahmadiyah tak bakal mengurangi keimanan seseorang. "Keimanan saya tetap saja meskipun ada orang-orang Ahmadiyah," katanya. (kd)