N250 Bangkit Kembali, Bagaimana Peluangnya?

Pesawat N-250.
Sumber :
  • IPTN

VIVAnews - Tanggal 10 Agustus 1995, langit kota Bandung menjadi saksi. Sebuah prototipe pesawat baling-baling buatan anak bangsa diuji coba.
Setelah mengangkasa 55 menit, penerbangan perdana itu dinilai sukses. Mimpi BJ Habibie yang saat itu menjadi Menristek dan kemudian menjadi Wakil Presiden Indonesia itu terwujud sudah.

Berkode N250, pesawat yang diproduksi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia) itu, akhirnya membuktikan keberhasilan hasil karya putra-putri Indonesia. Pesawat ini sempat dibeli sejumlah negara. Tapi sesudah euforia luar biasa itu, N250 itu kemudian senyap karena krisis monoter mengurung ekonomi Indonesia 1997. 

Penjelasan PSM Makassar Soal 12 Pemain di Laga Kontra Barito: Arahan dari Wasit

Kini perbincangan soal pesawat buatan dalam negeri ini kembali menghangat. Adalah Ilham Akbar Habibie, putra sulung BJ Habibie yang mengusulkan agar industri pesawat ini kembali dibuka. Pekan ini kepada VIVAnews.com, Ilham memaparkan sejumlah alasannya. Pasar pesawat baling-baling (propeller) di Asia Tenggara, katanya, sangat besar. "Dan 50 persen pasar pesawat propeller dunia ada di Asia Tenggara, bukan di Eropa ataupun Amerika." katanya.

Dan pesawat buatan Indonesia tahun 1995 itu cukup tangguh dan cocok dengan kawasan Asia Tenggara. Bermesin turboprop 2439 KW Allison AE 2100 C buatan perusahaan Allison, pesawat mampu terbang dengan kecepatan maksimal 610 km/jam dan kecepatan ekonomis 555 km/jam. Ini merupakan kecepatan tertinggi di kelas turboprop 50 penumpang.

Dengan ketinggian operasi 25.000 kaki (7.620 meter) dan daya jelajah 1.480 km, pesawat ini dinilai cocok untuk rute penerbangan pendek di wilayah Indonesia.

Ilham menegaskan bahwa kondisi geografis Asia Tenggara sangat tepat untuk mengembangkan pesawat baling-baling. Di Eropa, pesawat propeller kurang berperan, karena kalah dengan infrastruktur kereta api yang telah bagus. Kondisi serupa di Amerika Serikat, infrastruktur jalan telah memadai, sehingga orang lebih senang bepergian dengan mobil.

Berbeda dengan dua benua itu, Asia Tenggara, khususnya Indonesia, infrastruktur kereta api dan jalan belum tersedia dengan baik. Untuk itu, dibutuhkan pesawat baling-baling yang lebih efisien dibandingkan pesawat jet untuk perjalanan singkat. "Untuk mencapai level infrastruktur memadai seperti di Eropa dan Amerika butuh waktu bertahun-tahun, sehingga pesawat propeller yang akhirnya banyak digunakan di Asia Tenggara," ujar dia.

Selain itu, harga tiket penumpang pesawat baling-baling lebih murah dibanding pesawat jet. "Jika bisa efisiensi waktu dan harganya murah, why not? Itu akan sangat menarik," kata anggota presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu.

Butuh 5 Tahun
Membangkitkan produksi pesawat N250 agar kembali menjadi kebanggaan Indonesia memang tidak mudah. Dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk mewujudkan cita-cita itu. "Setelah diluncurkan pada 1995, saat ini perlu 4-5 tahun lagi untuk merealisasikannya," kata Ilham yang juga menjadi  Chief Executive Officer (CEO) PT Ilthabie Rekatama.

Guna membangkitkan kembali proyek pesawat N250 itu, BJ Habibie melalui Ilham Akbar Habibie mendirikan PT Ragio Aviasi Industri (RAI). Di perusahaan ini, PT Ilthabie Rekatama menguasai 51 persen saham, sedangkan 49 persen sisanya dimiliki PT Eagle Cap, milik Erry Firmansyah, mantan direktur utama PT Bursa Efek Indonesia.

Ilham menjelaskan, selain penyempurnaan pada sistem elektronik dan penambahan kapasitas penumpang, memproduksi pesawat terbang memerlukan pendanaan yang kuat. Untuk tahap awal, RAI akan fokus pada pendanaan internal. "Ke depan, kami akan mencari pendanaan melalui institusi dan terakhir ke publik," ujar dia.

Nantinya, beberapa penyempurnaan desain dan peralatan elektronik akan dibenamkan pada pesawat N250 baru. Ilham mengibaratkan pesawat N250 yang dibangun pada 1995 itu layaknya komputer tua.

Teknologi industri pesawat yang berkembang pesat dalam rentang 1995-2012 membuat teknologi pesawat N250 yang waktu itu tercanggih di era 1990-an terlihat ketinggalan zaman. "Pada 2012, teknologi elektronik memegang peran yang sangat penting. Misalnya di avionik, flight control system, hampir semua bagian pesawat ada unsur elektroniknya," tuturnya.

Selain pembaharuan pada sistem elektronik pesawat, lanjut Ilham, akan ada perubahan pada desain pesawat. Pesawat N250 yang baru nanti dirancang dapat memuat lebih banyak penumpang sebagai tuntutan perubahan pasar.

Dia menegaskan, dengan memproduksi pesawat N-250 yang merupakan produk Indonesia, diyakini akan memberikan keuntungan bagi maskapai nasional. Bahkan, Ilham meyakini bila pesawat N250 telah diproduksi akan diminati banyak maskapai.

Pesawat propeller N250 cocok dioperasikan di Asia Tenggara, karena kemampuannya yang andal dalam rute jarak pendek. Dibandingkan dengan pesawat jet, pesawat bermesin baling-baling lebih efisien dan hemat.

Bukan Tanpa Pesaing
Upaya membangkitkan kembali produksi pesawat N250 memang bukan tanpa kendala. Persaingan di bisnis pesawat baling-baling itu cukup ketat.

Daftar Produk Boikot di Medsos Belum Tentu Benar! Pakar: Banyak PHK, Jangan Sampai yang Kena Saudara Sendiri

Setelah Fokker-50 tidak lagi diproduksi oleh Fokker Aviation di Belanda yang pailit pada 1996, pesawat sejenis yang siap bersaing di antaranya ATR 72 milik perusahaan pesawat Prancis-Italia ATR, dan Bombardier Dash-8, Kanada.

ATR 72
ATR 72 merupakan pengembangan dari pendahulunya, pesawat ATR 42. ATR 72 memiliki kapasitas lebih besar, yaitu dari 48 penumpang menjadi 78 penumpang. Pengembangan yang dilakukan dengan memperpanjang lambung pesawat, meningkatkan bentang sayap, memperbaharui mesin, serta meningkatkan kapasitas bahan bakar hingga 10 persen.

ATR merupakan perusahaan pesawat patungan (joint venture) antara Aerospatiale (sekarang EADS) dengan Aeritalia (sekarang Alenia Aermacchi, bagian dari Finmeccanica Group). ATR 72 diluncurkan pada 1986 dan melaksanakan penerbangan perdananya pada 27 Oktober 1988.

Pesawat ATR 72 memiliki beberapa varian, antara lain ATR 72-100, ATR 72-200, ATR 72-210, ATR 72-500, ATR 72-600 serta versi kargo dan VIP.

Bombardier Dash-8
Bombardier Q-Series atau Dash-8 merupakan pesawat baling-baling pabrikan De-Havilland, Kanada, yang saat ini telah bergabung dengan Bombardier.

Seri pertama Dash-8, yaitu 100,200 dan 300 diproduksi dari 1984 hingga pertengahan 1990-an. Kelebihan pesawat Dash-8 adalah mampu mendarat di landasan yang belum siap sekalipun dan menjadikan pesawat Dash-8 terkenal menjadi pesawat yang tangguh.

Kelanjutan varian dari Dash-8 adalah Q100/200/300 (Q-Series) yang telah memiliki perbaikan seperti Active Noise and Vibration Suppression (ANVS) yang diklaim senyaman pesawat jet.

Kolaborasi Lintas Sektor Perangi Penipuan Online yang Kian Marak

Kapasitas penumpang pesawat Dash-8 ini bervariasi antara 37-48 penumpang, tergantung varian pesawat. Saat ini, jumlah populasi Dash-8 mencapai 660 pesawat di seluruh dunia.

Namun, Indonesia diyakini mampu memenangi persaingan itu, jika industri strategis di dalam negeri dipacu. Apalagi, saat ini, teknologi pesawat baling-baling berkembang pesat.

"Saya mendukung upaya untuk menghidupkan kembali N250 itu," kata mantan Komisaris Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Said Didu, kepada VIVAnews, Selasa 14 Agustus 2012.
 
Dia menilai, proyek itu layak dikembangkan kembali, karena untuk wilayah seperti Indonesia, pesawat jenis itu sangat dibutuhkan. Untuk itu, pesawat N250 harus dirancang ulang guna disempurnakan dengan teknologi mesin pesawat yang makin maju.

"Tapi ini tidak sulit, tinggal bagaimana mencari sumber pendanaannya," ujarnya.

Said Didu menegaskan, untuk menghidupkan industri strategis di Indonesia, tidak memerlukan pendanaan besar. Cukup dengan suntikan dana Rp3-5 triliun bagi masing-masing perusahaan di industri strategis, kegiatan operasional bisa dijalankan.

"Tinggal bagaimana komitmen pemerintah dan maskapai domestik untuk menyerap hasil produksinya," tuturnya.

Dia meyakini, jika industri strategis di dalam negeri berkembang dan maju, sumber daya manusia andal --yang banyak bekerja di luar negeri--, akan kembali ke Tanah Air. "Bayangkan, dari sekitar 16.000 karyawan IPTN saat itu, kini hanya tersisa 3.000-an," tuturnya.

Ilustrasi imunisasi.

Ini Cara Mengatasi Tantangan Imunisasi di Daerah dengan Akses Terbatas

Imunisasi bukan hanya melindungi individu yang divaksinasi, tetapi juga menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity).

img_title
VIVA.co.id
23 Desember 2024