'Naga Terbang' Demi Negeri Naga Merah

Logo Google di Beijing, China.
Sumber :
  • REUTERS/Thomas Peter

VIVA – Pesan sebaris di secarik kertas tertuju ke Google, wait for your back, begitu tertulis. Pesan itu tergurat dari warga China. 

Genjot Efisiensi dan Pertumbuhan Bisnis, Bank Jago Gandeng Google Cloud Manfaatkan AI

Keinginan Google untuk kembali ke China, memang belakangan santer terdengar. Perusahaan raksasa digital itu sudah lama ditendang dari pasar Negeri Tirai Bambu.

Terakhir kali, Google hadir di China pada 2010. Delapan tahun puasa dari pasar yang paling seksi di dunia itu, menunjukkan tanda-tanda bakal berakhir.

Google AI Gemini 2.0 Flash Sudah Tersedia dalam Versi Chatbot

Kabar Google mau kembali ke China sampai ke telinga Senat Amerika Serikat. Wakil rakyat itu langsung menggelar sidang untuk mengonfirmasi hal tersebut.

Senat mencecar Chief Privacy Officer Google, Keith Enright. Apakah benar kabar Google mengembangkan proyek Dragonfly, demi bisa masuk kembali ke Negeri Naga Merah.

Penantang Google Bertambah

Enright menginformasikan, memang perusahaan benar mengembangkan proyek Dragonfly. Tetapi, dia tak tahu detail program itu apakah dijadikan sebagai 'tiket' untuk bisa masuk ke Negeri Tembok Raksasa tersebut.

Petinggi Google itu memang berulang-ulang menegaskan proyek Dragonfly belum akan diluncurkan dalam waktu dekat. Sidang senat menjadi gusar. Senator asal Texas, Ted Cruz sampai memotong penjelasan Enright dan mengatakan, dia tak menanyakan kapan Dragonfly diluncurkan, tapi meminta penjelasan apa maksud program tersebut.

"Saya tidak tahu tentang garis besar ruang lingkup apa dari proyek tersebut," kata Enright, dilansir laman Uber Gizmo, Kamis 27 September 2018.

Dragonfly memang mengemuka belakangan ini, tapi sejatinya program buatan Google ini sudah dibikin pada awal 2017.

Proyek ini merupakan mesin pencarian yang dikhususkan untuk pasar China. Mengingat, negeri ini menerapkan senor super Great Firewall, maka Google menyesuaikan. Mesin pencari ini akan memblokir beberapa website dan kata tertentu, sebagai imbalan mereka bisa masuk lagi ke pasar China

Investigasi laman The Intercept menunjukkan, beberapa kata yang terkait dengan hak asasi manusia, demokrasi, agama, dan protes damai merupakan beberapa yang akan disensor oleh program Dragonfly tersebut. 

Usut punya usut, tulis The Intercept, program Dragonfly sudah didemonstrasikan Google di depan pemerintah China. Google mengembangkan program Dragonfly dengan menggaet perusahaan lokal dalam skema joint venture.

Program ini disebutkan makin berkembang, setelah ada pertemuan tingkat tinggi antara Kepala Eksekutif Google, Sunda Pichai dengan pejabat teras pemerintah China pada Desember lalu. 

Jika sesuai jadwal, versi final program Dragonfly ini diluncurkan pada enam sampai sembilan bulan ke depan. Malahan, pada akhir Juli lalu, karyawan Google yang mengembangkan proyek tersebut membocorkan, mereka diminta memastikan program siap diluncurkan dalam beberapa pekan, tinggal menunggu persetujuan dari pejabat China.

Pengembangan program Dragonfly memang makin menguat, laporan Reuters menunjukkan, pejabat China yang mengklaim mengetahui hal ini mengatakan Google telah menjalin kontak dengan otoritas di Cyberspace Administration of China (CAC), untuk membahas program  pencarian yang dimodifikasi. Rasanya klop dengan Dragonfly. 

Pejabat yang diminta anonim tersebut mengatakan, proyek itu saat ini belum disetujui otoritas China dan mereka 'sangat tak setuju' proyek tersedia pada tahun ini. 

Pasar seksi China, memang menggiurkan bagi Google. Bagaimana tidak, dengan 802 juta pengguna internet dari 1,4 miliar populasi, China sudah menjadi salah satu pasar paling menggiurkan di dunia. Maka tak heran, perusahaan teknologi ingin menggarap pasar ini. 

Bantahan muncul dari China atas teori Google siap-siap masuk kali ke China. Media ‘pelat merah’ China, Securities Times mengutip keterangan dari 'departemen yang terkait' dijelaskan laporan Google akan kembali ke China adalah hoax, tidak benar. 

Sedangkan dari Google, berdalih belum mau terang-terangan dengan misi kembali ke China. Eksekutif Google mengatakan, perusahaan masih menimbang bagaimana menjalankan bisnis di China. Bahka,n Kepala Eksekutif Google, Sundar Pichai mengatakan, rencana masuk kembali ke China dengan mesin pencari masih dalam 'penjajakan' dan masih dalam 'tahap yang sangat awal'.

Tetapi, berita Dragonfly telanjur 'terbang' ke berbagai penjuru dunia, dan sulit membantahnya. 

Bocoran malah muncul dari orang dalam Google alias karyawan yang terlibat dalam program tersebut. Mereka mengatakan proyek mesin pencarian dengan sensor memang benar adanya. 

Logo Google tampak di Zurich, Swiss.

Bukan cuma Dragonfly

Proyek mesin pencarian yang disensor ternyata bukan satu-satunya 'tiket' bagi Google untuk masuk kembali ke China. Laporan South China Morning Post menyebutkan, pada Juli lalu, Google mengenalkan kecerdasan buatan yang mendayai game mini di WeChat. 

WeChat sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan digital warga China. 'WhatsApp China' besutan Tencent Holdings

Pada tahun lalu, perusahaan teknologi asal Silicon Valley ini malah membangun AI China Centre di Beijing dan berinvestasi di beberapa perusahaan China di antaranya situs e-sports Chushou, perusahaan kecerdasan buatan Mobvoi. 

Sementara di bisnis perdagangan daring, Google menyuntik investasi senilai US$550 juta di platform e-commerce JD.com.

Kepala Riset Mesin Persepsi Google, Jay Yagnik malah blak-blakan, solusi kecerdasan buatan Google laku di China. Yagnik mengungkapkan, layanan sofware mesin pembelajaran open source Google, TensorFlow telah dua juta kali diunduh. 

"Kami memiliki komunitas yang sangat terikat di China," jelas Yagnik dalam sebuah konferensi AI di Shanghai. 

Beragam manuver Google bekerja sama dengan perusahaan lokal itu diduga merupakan upaya Google untuk bisa masuk kembali ke pasar China.

Bendera China berkibar di bangunan The Great Hall of the People, China

Preseden buruk

Kabar menguatnya Google tunduk dengan aturan sensor ketat China, mengundang perhatian peneliti teknologi. 

Jika memang benar, Google masuk ke China dengan mesin pencari Dragonfly itu, berarti perusahaan digital raksasa itu kalah total. 

"Google akan menjadi preseden mengerikan dan menyerahkan kemenangan kepada pemerintah China," jelas peneliti China, Patrick Poon dikutip dari The Intercept

Masuknya Google dengan syarat mesin pencarian sensor menurutnya menimbulkan pertanyaan serius perlindungan apa yang diberikan Google kepada privasi pengguna.

"Ini menjadi alarm menyadari misalnya informasi akan disimpan dan secara potensial mudah berbagi dengan otoritas China," tutur pria yang merupakan peneliti Amnesty International, lembaga HAM berbasis di Hong Kong itu. 

Menurut Poon, masuknya Google ke China dengan skema itu akan sepenuhnya membuat privasi dan keselamatan data pengguna dalam risiko. Untuk itu, menurutnya, Google perlu segera menjelaskan apakah layanan mereka akan melibatkan pengaturan semacam itu. 

"Sudah waktunya untuk transparan sepenuhnya ke publik atas proyek ini," jelasnya.      

Kabar kembalinya Google ke China tak membuat keder perusahaan internet lokal. 

Kepala Eksekutif Baidu, Robin Li, mengklaim kembalinya Google ke China, setelah delapan tahun tidak membuat Baidu gentar. Ia mengatakan, justru sebaliknya. "Kami akan mengambil kesempatan untuk memiliki pertarungan sebenarnya. Kami akan menang," jelasnya, dilansir dari ZDNet.

Sejak ditinggal Google, Baidu praktis mendominasi mesin pencarian di China. Li juga menegaskan bahwa mereka telah mengambilalih kepemimpinan selama bertahun-tahun, dan segala sesuatunya telah berbeda di mana saat ini seluruh dunia meniru China.

"Kami telah memiliki lebih dari 70 persen pangsa pasar di China sejak Google hengkang 8 tahun silam," ungkapnya. Tak cuma itu, Baidu berencana memfilter sejumlah konten yang dinilai dapat mengganggu keamanan negara dan menciptakan konflik sosial.

Kaiser Kuo Direktur Komunikasi Internasional Baidu

Internet masuk China, dimulai sejak Januari 1996. Penerapan kebijakan Great Wall ini terkait dengan biaya bandwidth internasional yang harus dibayar mahal jika laju lalu lintas menuju situs web-situs web luar yang dinilai terlampau banyak.

Pada 2010, terdapat sekitar 1,3 juta situs web yang diblokir China, termasuk Google. Dalam dunia komputer, Firewall merupakan sistem yang dirancang untuk memblokir akses bagi aplikasi atau program yang tidak sah. Imbasnya tentu ke perusahaan teknologi asing, tak terkecuali para pemain-pemain besar di dunia internet.

Khusus Google, sebelum hengkang pada 2010 diketahui telah diblokir sejak 2002 silam. Menyusul kemudian Facebook dan Twitter yang diblokir pada 2009. Meski mendapat cibiran dari dunia internasional, namun kebijakan tersebut ternyata memberikan dampak positif bagi dunia teknologi domestik.

Muncul layananan-layanan baru yang tak kalah canggih, tentu buatan orang China. Sebut saja, Baidu sebagai penantang Google, Alibaba, e-commerce penantang Amazon, Weibo penantang Facebook, serta WeChat penantang WhatsApp. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya