Misteri Gempa Menjalar Nusantara
- Magma Indonesia
VIVA – Bumi Nusantara bergetar, gempa silih berganti mengguncang dari darat dan lautan. Terjadi tanpa kenal waktu, siang, pagi maupun malam hari.
Hampir seluruh gugusan pulau di belahan Indonesia terguncang gempa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Papua, Sumatera, Bali, Maluku, Sulawesi, dan juga Jawa.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat, sejak dua bulan terakhir, periode Juli hingga Agustus 2018, sudah lebih dari seribu kali gempa mengguncang Indonesia, dengan lokasi terbanyak berada di sekitar wilayah pulau Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Di kedua pulau ini, telah terjadi gempa-gempa dengan kekuatan yang cukup besar. Di NTB ada dua gempa besar terjadi secara bergantian hanya dengan durasi satu pekan. Dan keduanya merupakan gempa perusak atau gempa yang berpusat di daratan.
Gempa besar pertama terjadi di Lombok Timur pada Minggu, 29 Juli 2018, berskala 6,4, gempa terjadi saat Matahari akan terbit, pukul 05:47:39 WIB.
Lalu, dilanjutkan dengan gempa 7 Skala Richter yang berpusat di Lombok Utara pada Minggu, 5 Agustus 2018, usai Matahari tenggelam, pukul 18:46:35 WIB.
Ratusan ribu bangunan rumah hancur, lebih dari 500 jiwa meninggal dunia. Dua gempa ini menyebabkan NTB benar-benar lumpuh.
Gempa tak hanya terjadi di daratan Lombok Timur dan Lombok Utara, gempa juga terjadi di daratan dan lautan wilayah Mataram, Sumbawa, Lombok Tengah. Dan yang terbaru pada 29 Agustus 2018, mengguncang Bima, dengan kekuatan 5 SR, serta pada 31 Agustus 2018 berkekuatan 5,1 SR di wilayah Mataram.
Tak berbeda jauh dengan apa yang terjadi di NTB, tercatat serangkaian gempa juga mengguncang sejumlah wilayah di NTT, seperti gempa 5,2 SR di Ngada, gempa 5,6 SR di Sumba Barat, gempa 6,7 dan 6,8 SR Manggarai yang terjadi tepat di Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2018.
Dilanjutkan dengan tiga gempa beruntun dalam sehari, pada 28 Agustus 2018, yakni 6,2 SR; 5,8 SR; dan 5,1 SR di Kupang.
Di saat mata masyarakat Indonesia tertuju ke bencana gempa NTB dan NTT, tanpa disadari gempa bumi juga mengguncang wilayah lainnya.
Berdasarkan data BMKG, gempa juga terjadi di lautan Pulau Sumatera, tercatat gempa mengguncang Nias, Sumatera Utara. Pada 30 Juli 2018, gempa 5,3 SR terjadi di Nias Selatan, dan 31 Juli 2018, giliran Nias Barat diguncang gempa berkekuatan 5,0 SR.
Dan terjadi lagi pada 16 Agustus 2018 di Nias Selatan, dengan Skala rRchter 5,5. Serta di Nias Barat dengan kekuatan 5,1 SR pada 20 Agustus 2018.
Yang terbaru, gempa malah terjadi dengan pusat berada di daratan, yakni gempa 31 Agustus 2018 di Padang Lawas dengan kekuatan 4,7 Skala Richter.
Gempa juga mengguncang wilayah Sumatera Barat, pada Sabtu, 21 Juli 2018. Terjadi dengan kekuatan 5,5 SR, gempa terjadi di daratan Kota Padang.
Bahkan, pada 5 Agustus 2018, dua gempa sekaligus terjadi di Kepulauan Mentawai. Kedua gempa terjadi hanya dalam tenggat waktu kurang dari satu jam, masing-masing berkekuatan 5,1 SR dan 5,6 SR.
Tak hanya Sumut dan Sumbar, gempa juga terjadi di Bengkulu, pada 10 Agustus 2018, dengan kekuatan 5,1 SR; dan pesisir barat Lampung pada 23 Agustus 2018, dengan magnitude 5,5 SR.
Sementara itu, di Pulau Jawa, tercatat ada dua wilayah yang telah diguncang gempa, yakni Kabupaten Malang dengan kekuatan 5,2 SR pada 8 Agustus 2018 dan Gunungkidul, Yogyakarta, pada 29 Agustus 2018, berkekuatan 5,8 SR.
Pada 23 Agustus 2018, secara mengejutkan gempa berkekuatan 5,1 SR mengguncang Pulau Dewata, Bali. Gempa berlokasi di lautan sekitar 103 kilometer barat daya Kota Denpasar.
Gempa juga mengguncang Papua, tercatat terjadi dua kali gempa dengan Skala Richter di atas lima. Yaitu gempa 5 SR Yahukimo, pada 12 Agustus 2018; dan gempa 5,2 SR di Waropen, pada 26 Agustus 2018.
Hingga saat ini, cuma Pulau Kalimantan yang belum tersentuh guncangan gempa, di Maluku, BMKG mencatat terjadi empat gempa, yakni di gempa 5,3 SR Maluku Tenggara, 29 Juli 2018; gempa 5 SR Tual, 3 Agustus 2018; gempa 5,4 SR Pulau Morotai, 13 Agustus 2018; dan gempa 5 SR Seram Bagian Barat, 19 Agustus 2018.
Sementara itu, di Pulau Sulawesi, gempa terjadi di barat laut Kepulauan Talaud, Sulut, dengan kekuatan 5 SR pada 8 Agustus 2018.
Gempa Menjalar?
Dengan kejadian gempa yang terjadi silih berganti di hampir seluruh wilayah Indonesia selama dua bulan terakhir ini, banyak bermunculan spekulasi bahwa seluruh kejadian gempa itu, merupakan satu rangkaian atau saling berkaitan dan bersifat menjalar.
Spekulasi semakin menguat ketika juga terjadi gempa besar di beberapa negara dunia, seperti gempa 8,2 Fiji; gempa darat 7,1 di Peru; dan gempa 7,1 di lautan pasifik Kaledonia. Lalu benarkah spekulasi ini?
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono dalam analisis tertulisnya menyebutkan, gejala menjalarnya atau migrasi gempa dari benua satu ke benua lain, sulit diterangkan.
Tetapi, terkonsentrasinya aktivitas gempa pada kawasan dan kurun waktu tertentu, memang memerlukan penelitian lebih lanjut secara statistik yang kini menjadi lebih mudah dikerjakan.
"Hingga saat ini kita lebih mudah mengkaji aktivitas gempa dalam aspek spasial dan temporal daripada mengkaji perubahan dan perpindahan stress (tegangan) di kulit Bumi. Ini dikarenakan sangat sulit menerangkan secara empirik apa yang diduga sebagian orang bahwa gempa dapat menjalar ke sana, ke mari," tulisnya seperti dikutip VIVA, Sabtu, 1 September 2018, melalui akun media sosialnya.
Ada sebagian pakar berpendapat, perubahan pola tegangan global (global stress pattern) mungkin dapat menerangkan gejala ini. Tapi nyatanya, hingga saat ini bagaimana memodelkan hal itu masih sangat sulit dilakukan.
Memang setidaknya ada dua konsep/teori pemicuan antargempa yaitu pemicuan yang bersifat statis (permanen) dan pemicuan yang bersifat dinamik (transien/yang berpindah).
Pemicuan bersifat statis dapat terjadi pada gempa gempa yang sangat berdekatan lokasinya. Sebagai contoh adalah munculnya aktivitas gempa baru di ujung timur Pulau Lombok M=6,9 yang diduga akibat pemicuan gempa yang bersifat statis (static stress transfer) dari rangkaian gempa-gempa kuat di Lombok sebelumnya.
Transfer tegangan statis ini berkurang secara cepat terhadap jarak dan disebabkan oleh perpindahan patahan yang permanen.
Sementara itu, untuk pemicuan dinamik, bisa berkaitan dengan gempa-gempa dekat dan gempa-gempa jauh (keduanya).
Konsep pemicuan dinamik ini sangat rumit dan banyak syarat yang harus terpenuhi, sehingga bagi mereka yang paham, tidak mudah mengatakan sebuah gempa dapat dipicu secara dinamik.
Transfer tegangan dinamis ini nilainya lebih kecil, berkurang dengan lambat terhadap jarak dan merupakan tegangan yang dibawa oleh gelombang seismik melalui batuan. Konsep pemicuan dinamik ini yang lebih sering dikaitkan dengan potensi adanya gempa yang dipicu jarak jauh.
Karena nilai transfer tegangannya kecil, maka syarat utama yang paling dibutuhkan adalah patahan yang terpicu harus benar-benar berada di titik paling kritisnya, sehingga sedikit saja "dicolek" oleh perubahan tegangan (yang kecil), patahan langsung menghasilkan gempa.
Karena masih sangat sulit dalam menjelaskan secara fisis-empirik kaitan antarkejadian gempa yang terjadi berjauhan, maka peristiwa rentetan beberapa kejadian gempa yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai belahan bumi dan wilayah Indonesia memang terjadi di zona rawan gempa. Ini hal biasa dan wajar.
"Jika kejadiannya hampir bersamaan tampaknya mungkin hanya faktor kebetulan saja. Karena masing-masing kawasan sumber gempa memiliki medan tegangan sendiri-sendiri yang terbangun dan mencapai tingkat akumulasi maksimumnya (matang) yang hampir bersamaan, sehingga mengalami pelepasan energi sendiri-sendiri yang dimanifestasikan dalam kejadian gempa bumi yang terjadinya hampir berbarengan," tulisnya.
Namun demikian, yang sangat penting ialah bagaimana cara membedakan berbagai ragam bencana gempa. Hal ini perlu agar dapat memperkecil dampak kerusakan fisik pada bangunan dan infrastruktur serta menghindari jatuhnya korban manusia yang tak perlu terjadi.
Sesar-sesar Pembangkit Gempa
Dalam peristiwa bencana gempa darat yang memunculkan kerusakan di Lombok, NTB, BMKG dalam analisisnya menyatakan, terjadi akibat aktivitas dua sesar yang terdapat di wilayah itu.
Dari selatan terdapat zona subduksi lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Pulau Lombok, sedangkan dari utara terdapat struktur geologi Sesar Naik Flores (Flores Back Arc Thrusting).
"Sesar naik ini jalurnya memanjang dari Laut Bali ke timur hingga Laut Flores. Sehingga tidak heran jika Lombok memang rawan gempa karena jalur sesar naik Flores ini sangat dekat dengan Pulau Lombok," kata Daryono dalam siaran pers, Senin, 30 Juli 2018.
Daryono melanjutkan, jika masyarakat memperhatikan peta aktivitas kegempaan atau seismisitas Pulau Lombok, tampak seluruh Pulau Lombok banyak sebaran titik episenter yang artinya memang banyak aktivitas gempa di wilayah ini.
Meskipun kedalaman hiposenternya dan magnitudonya bervariasi, tampak jelas wilayah Lombok memang aktif gempa yang bersumber dari subduksi lempeng, Sesar Naik Flores serta sesar lokal di Pulau Lombok dan sekitarnya.
"Dari sebaran seismitas ini pun cukup menjadi dasar untuk mengatakan bahwa Lombok memang rawan gempa," ujarnya.
Sementara itu, gempa yang mengguncang Kabupaten Malang, merupakan gempa subduksi yang tidak ada kaitannya dengan gempa Lombok. Sebab, gempa Lombok dipicu aktivitas sesar dan jaraknya cukup jauh dari zona subduksi selatan Malang.
Sesar yang memicu gempa Lombok dan Malang, juga berbeda dengan sesar yang memicu terjadinya gempa 5,8 SR di Gunungkidul, Yogyakarta.
Menurut Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, berdasarkan data yang ada, gempa Yogyakarta terjadi akibat subduksi Lempeng Indo-Australia yang menyusup ke bawah Lempang Eurasia. Gempa bumi ini tergolong gempa berkedalaman dangkal.
Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi ini dibangkitkan oleh deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan naik (Thrust Fault).
Untuk gempa 5,5 SR yang terjadi di Kota Padang, diakibatkan adanya aktivitas Zona Sesar Sumatera di Segmen Sumani.
Jika memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempa ini merupakan jenis gempa bumi tektonik kerak dangkal (shallow crustal earthquake) yang terjadi akibat aktivitas Zona Sesar Sumatera (Sumatera Fault Zone) pada Segmen Sumani.
Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi ini dibangkitkan oleh deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan jenis sesar geser mendatar (Strike Slip).
Gempa Misteri Alam
Meski terus terjadi tanpa mengenal tempat dan waktu, gempa masih sebuah misteri alam yang hingga saat ini tak bisa diketahui kapan dan di mana terjadinya.
Tak ada seorang pun manusia di Bumi yang bisa mengetahui atau memprediksi terjadinya gempa. Meski sudah banyak teknologi canggih yang digunakan.
Menurut Daryono, dalam tulisannya, China pernah bisa memprediksi gempa yang mengguncang Kota Haicheng. Karena itulah, China bisa mengevakuasi penduduk di kota itu beberapa jam sebelum gempa terjadi.
Gempa itu menyebabkan 90 persen bangunan hancur. Tapi, hampir 90 ribu penduduk selamat. China mulai melakukan kegiatan prediksi sejak Desember 1974, sedangkan gempa itu baru terjadi pada 4 Februari 1975.
Tapi itu ternyata hanya menjadi kenangan indah, karena meski dilakukan dengan metode yang sama dan didukung dengan teknologi yang lebih canggih, sederet gempa besar merusak dan mematikan masih mendera China dan korban tewas terus berjatuhan hingga sekarang.
Jepang juga menjadi negara yang paling getol dalam kajian prediksi gempa, tetapi ternyata gempa-gempa besar terus berdatangan tanpa mau memberi tahu tanpa permisi.
Bahkan gempa dahsyat yang memicu tsunami Tohuku 2011 yang menelan korban puluhan ribu orang, menjadi catatan penting bahwa prediksi yang mereka lakukan ternyata meleset.
Amerika serikat tidak kalah hebat dalam riset prediksi gempa. Megaproyek prediksi di sesar besar San Andras untuk menjawab kapan "the big one" datang ternyata juga tak memberi hasil.
Jalur sesar San Andreas ini terus dimonitor dinamikanya dengan GPS. Alat pengukur regangan strainmeter, tiltmeter dikerahkan dan dipasang di beberapa lokasi jalur sesar, monitoring gas radon dan lain-lain semua diterapkan. Tetap tak ada hasil juga. Banyak ahli gempa yang "lempar handuk" dengan riset prediksinya.
Tiga negara itu jawara riset prediksi gempa dengan menggunakan pengukuran yang paling akurat, precursor gempa dan tingkah laku binatang.
Konon hanya China yang masih bersemangat meneruskan riset prediksi gempa. Jepang dan AS kini lebih tertarik mengalokasikan anggaran dana untuk mitigasi gempa, penguatan struktur dan masyarakat di kawasan berisiko.
Meski kajian prediksi tetap dilakukan, tapi bukan lagi menjadi prioritas mereka. Kini di dunia, hingga saat ini, tidak ada satu pun lembaga resmi dan pakar yang kredibel serta diakui mampu memprediksi gempa.
Pakar gempa sedunia kini pun sepakat bahwa gempa memang belum dapat diprediksi dengan akurat kapan di mana dan berapa magnitudonya.
Untuk itu, dalam hal informasi gempa, pastikan diperoleh dari sumber-sumber yang kredibel, formal, dan resmi. Ada alamat kantornya, ada telepon yang dapat dihubungi dan ada nama-nama petugas serta ahli yang jelas posisinya, sehingga dapat dihubungi untuk dimintai keterangan dan diskusi.
Saat ini banyak lembaga resmi pemberi info gempa seperti BMKG, USGS Amerika Serikat, JMA Jepang, GFZ Jerman, EMSC Mediterania, Geoscope, CEA China, dan lainnya.