Gempa Lombok dan Status Bencana Nasional

Kerusakan bangunan akibat gempa bumi di Lombok.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Zabur Karuru

VIVA – Lombok belum reda dari gempa. Dua hari lalu, Minggu malam 19 Agustus 2018, Lombok, Nusa Tenggara Barat kembali diguncang gempa, kali ini magnitudo gempanya terbilang besar, 6,9 Skala Richter.

Gempa Magnitudo 5,0 Guncang Buol Sulteng, BMKG Ungkap Penyebabnya

Dampak kerusakan gempa sampai melebar di Sumbawa. Getaran gempa terasa di Bali, Jawa Timur hingga Makassar. 

Gempa akhir pekan lalu itu makin menambah deret gempa besar yang mengguncang Lombok dan sekitarnya sejak Agustus serta akhir bulan lalu. Sebelumnya, Lombok diguncang gempa 6,4 Skala Richter pada 29 Juli 2018 dan gempa 7 Skala Richter pada 5 Agustus 2018. 

Badan Geologi Ungkap Penyebab Gempa Bandung karena Sesar Kertasari

Dari gempa akhir Juli sampai 19 Agustus 2018, korban meninggal hingga Senin siang 20 Agustus 2018 tercatat mencapai 548 orang. Kerusakan parah terjadi di mana-mana, khususnya di Lombok Utara. 

Melihat dampak dan jumlah korban gempa Lombok, seruan dari berbagai kalangan agar pemerintah pusat mengambil alih penanganan bencana gempa Lombok terus dimuncul. Bahkan, daerah sudah mengangkat tangan tak mampu lagi menangani dampak gempa. 

Persib Salurkan Bantuan untuk Korban Gempa Bumi Kabupaten Bandung

Gubernur NTB terpilih, Zulkieflimansyah, melihat dengan kerusakan yang nyaris merata di Lombok Utara dan keterbatasan kemampuan pemerintah daerah, menurutnya, sudah seharusnya gempa Lombok naik status menjadi bencana nasional. Alasannya, dengan naik menjadi bencana nasional, maka penanganan dampak bencana menjadi lebih maksimal dan lebih baik. 

Dorongan agar gempa Lombok menjadi bencana nasional juga agar penanganan dampak bencana dan korban bisa layak punya hunian sebelum memasuki musim hujan 2018.

Namun, dalam rapat terbatas di Kantor Presiden 10 Agustus lalu, pemerintah masih kukuh gempa Lombok bukan bencana nasional. 

Seusai rapat dengan Presiden Jokowi, pada 10 Agustus 2018, Gubernur NTB Tuan Guru Bajang M. Zainul Majdi mengatakan, bencana tetap ditangani oleh daerah, namun seluruh dukungan akan disokong secara maksimal oleh pemerintah pusat.

Suara desakan agar gempa Lombok ditetapkan menjadi bencana nasional belakangan makin terus menguat. Dari Ketua DPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto sampai anggota DPR Hidayat Nur Wahid, pun Wakil Ketua DPR Fadli Zon sudah berhari-hari lalu mendorong agar pemerintah menaikkan status gempa Lombok sebagai bencana nasional.

Menurut Bamsoet, sudah menjadi kewajiban semua pihak untuk dapat membantu pemulihan daerah tersebut pascagempa yang terjadi. Dia meminta pemerintah mengambil sikap dalam penanganan hal ini.

"Saya dukung secara penuh jika pemerintah menetapkan bencana Lombok sebagai bencana nasional," ujar Bamsoet di Gedung DPR, Kamis 16 Agustus 2018. 

Salah satu kabar yang beredar, pemerintah pusat belum menaikkan gempa Lombok sebagai bencana nasional karena menjaga pariwisata di Lombok. 

Sekretaris Kabinet, Pramono Anung menjelaskan, pertimbangan pemerintah tidak menetapkan gempa Lombok sebagai bencana nasional salah satunya yakni kekhawatiran bila ditetapkan sebagai bencana nasional, berdampak negatif bagi sektor pariwisata yang menjadi andalan di NTB.

Jika bencana nasional, maka otomatis seluruh Pulau Lombok akan tertutup dari wisatawan dan pemerintah memandang kerugian yang ditelan Indonesia makin banyak.

Pertimbangan lainnya, jelas Pramono, ketika bencana gempa Lombok menjadi bencana nasional, negara-negara lain bisa memberikan travel warning bagi warganya yang ingin ke Indonesia. Maka, menurutnya, ini bisa merugikan.

"Bukan hanya ke Lombok, tetapi bisa ke Bali. Dampaknya luar biasa, yang biasanya tidak diketahui oleh publik. Maka, penanganannya seperti bencana nasional," jelas Pramono.

Sikap pemerintah yang tak menaikkan status gempa Lombok menjadi bencana nasional dikritik keras oleh Hidayat Nur Wahid. Dia heran, mengapa pemerintah tak tergerak dengan gempa yang terus melanda Lombok. 

Publik masih ribut kenapa gempa Lombok tak ditetapkan sebagai bencana nasional. Bila mengacu pada ketentuan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pada Pasal 7 ayat 2 ada lima kategori indikator penetapan status bencana daerah atau nasional; 

Lima indikator yang dimaksud yaitu jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, serta dampak sosial ekonomi yang muncul. 

Dari lima kategori tersebut, gempa Lombok sudah menelan korban meninggal hingga 548 orang per Senin siang 20 Agustus 2018, kerugian ekonomi menurut hitungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ditaksir hingga Rp7,45 triliun. Belum lagi cakupan kerusakan dan dampaknya memang sudah terasa secara nasional.

Dampak gempa susulan yang mengguncang Lombok.

Salah satu hal lain yang jadi patokan untuk menentukan apakah bencana adalah kategori daerah atau nasional, yakni aparat pemerintah daerah lumpuh total, fungsi pemerintahannya tak berjalan. 

Tapi menariknya, menurut peneliti Charles Darwin University Australia, Jonatan A Lassa dan Mujiburrahman Thontowi dalam tulisannya Mengapa gempa di Lombok tidak ditetapkan menjadi bencana nasional di laman The Conversation, perihal masih berfungsinya pemerintah daerah merupakan syarat yang tidak tertulis dalam Undang Undang Penanganan Bencana. Syarat pemda tak berfungsi, menurut keduanya, juga sebatas wacana anyar di Tanah Air. 

Pakar mitigasi bencana, Puji Pujiono menyoroti soal kurang kuatnya ketentutan dalam Undang Undang Penanganan Bencana. Menurut Puji, ketentuan penetapan status bencana belum diturunkan pada aturan turunan dan kisi-kisi dari indikator tersebut dinilai kurang jelas, sehingga pada titik ini masih kemungkinkan muncul penafsiran ganda atas indikator penetapan bencana.

"Motivasi pemerintah belum menetapkan Lombok sebagai bencana nasional, enggak bisa menebak. Kenapa dia (pemerintah) menetapkan atau tak menetapkan," jelas Puji kepada VIVA.

Soal ukuran status bencana yakni tidak atau berfungsinya pemda, menurut Puji, bakal berpeluang menjadi masalah ke depan. Kalau ukuran ini jadi acuan, maka menurutnya, bisa jadi tak akan pernah ada bencana yang ditetapkan menjadi bencana nasional.

Kecuali gempa Aceh pada 2004, itu hal terkecualikan. Sebab gempa dan tsunami Aceh membuat 60 wilayah pemda tersapu tsunami. Kisi-kisi ukuran tidak berfungsinya pemerintah daerah menurutnya perlu dipertegas dan diperjelas, supaya tak menimbulkan interpretasi lain.

"Kalau pemda enggak kolaps yang dipakai (ukuran), maka tak pernah terpakai (bencana nasional)," tutur Puji.

Sekelas bencana nasional

Mengenai desakan agar Lombok dinaikkan statusnya menjadi bencana nasional, Jokowi mengatakan Instruksi Presiden (Inpres) sudah disiapkan. Pernyataan Jokowi soal Inpres ini muncul sehari setelah setelah gempa 6,9 Skala Richter mengguncang Lombok pada 20 Agustus 2018. 

Namun, mantan gubernur DKI itu tak merinci soal status bencana gempa Lombok. Bagi Jokowi, saat ini yang mendesak bukan penetapan status bencana. Ada hal yang lebih penting dari soal status yakni bagaimana memberikan bantuan dan dukungan pemulihan akibat gempa di sana. 

"Yang paling penting adalah penanganan langsung di lapangan. Pemerintah pusat total memberikan dukungan penuh, bantuan penuh, baik kepada pemprov, pemkab, dan juga tentu saja yang paling penting adalah kepada masyarakat. Intinya ke sana," ujar Jokowi menjelaskan soal Inpres.

Meski tak diangkat menjadi bencana nasional, pemerintah menegaskan penanganan gempa dampak Lombok dilakukan sekelas bencana nasional. 

Pramono menuturkan, meski bukan berstatus bencana nasional, tapi penanganannya secara khusus dan langsung oleh kementerian terkait, dibantu dengan unsur TNI dan Polri. Dia mengungkapkan, Presiden Jokowi sudah menugaskan menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta BNPB dibantu TNI-Polri untuk segera menangani kerusakan yang ada. 

"Itu termasuk membangun sekolah, rumah ibadah, mengganti rumah-rumah terdampak dengan pembagian ringan, sedang, dan berat. Jadi penanganannya sudah seperti bencana nasional," jelas Pramono di Istana Negara, Jakarta, Senin 20 Agustus 2018.

Untuk menyokong penanganan kelas nasional itu, pemerintah mendukungnya dengan anggaran. Pemerintah mengucurkan anggaran berupa dana taktis dari pemerintah pusat, dari BNPB dan Kementerian Keuangan. Pramono memastikan, dana itu cukup untuk penanggulangan gempa di Lombok. 

Dana taktis yang diputuskan untuk bantuan adalah Rp50 juta untuk rumah yang rusak berat. Lalu, Rp25 juta untuk rumah rusak sedang, dan Rp10 juta untuk rusak ringan.

Pramono menjelaskan, keterlibatan pemerintah pusat dalam penanganan dampak gempa Lombok ini dipayungi oleh Instruksi Presiden yang akan keluar dalam hitungan hari. Aturan dari Presiden ini dinilai lebih efektif dibanding payung hukum Peraturan Presiden yang masih memerlukan peraturan turunan, misalnya Peraturan Menteri dan lainnya yang pastinya memakan waktu. 

“Kalau Inpres kan Instruksi Presiden kepada seluruh menteri dan jajaran ke bawah. Itu jauh lebih efektif dan kita punya pengalaman kebetulan pada saat gempa di Pidie, Aceh itu kan penanganannya jauh lebih cepat," jelas Pramono.

Kajian mendalam

Atas kebuntuan soal penetapan status bencana ini, Puji menyarankan pemerintah tidak buta dan tuli. Dia mengatakan, sebaiknya secara transparan entah bersama DPR atau sendirian mengkaji situasi di Lombok saat ini yang telah mengalami bencana tertindih dan bertumpuk. 

Hasil kajian tersebut yang transparan tersebut, kata Puji, bisa dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan apakah Lombok sebagai bencana nasional atau tidak, serta alasannya kenapa ditetapkan sebagai bencana nasional dan mengapa tak ditetapkan sebagai bencana nasional.   

"Perlu juga mendokumentasikan kajian itu. Jadi proses ini dipakai untuk menjadi acuan peristiwa bencana selanjutnya," tuturnya.

Dia menuturkan, kajian yang transparan di Lombok juga bisa menjadi dorongan dan motivasi pemerintah untuk melahirkan aturan pelaksana turunan penanggulangan dan penetapan status bencana. 

"Mudah-mudahan itu cepat dilakukan," ujar Puji. 

Lepas dari ribut dan tarik ulur soal status bencana nasional gempa Lombok, Jonatan A Lassa dan Mujiburrahman Thontowi, menyebut pertanyaan yang perlu diseriusi yakni apakah ada hambatan mobilisasi sumber daya dan aset nasional; selain itu apakah pemda mampu mengoordinasi respons darurat saat ini. 

Menurut keduanya, tantangan yang mengadang bukan cuma soal keuangan dan sumber daya saja. Hal penting lainnya kenyataan hampir semua pemda di Indonesia tak punya agenda membangun rumah lebih tahan gempa dalam satu dekade terakhir ini. Belum lagi soal kemampuan sistem administrasi rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan saat ini, apakah menjamin keamanan di masa depan dari bencana.

Mirip dengan usulan Puji, Jonatan A Lassa dan Mujiburrahman Thontowi menyarankan pemerintah pusat saat ini sebaiknya fokus memantau secara dekat dan mendukung penuh pemda NTB dalam penanganan dampak bencana.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya