Direktur Utama PT Pos Indonesia Gilarsi Wahyu Setijono

Saya Ingin Anak Perusahaan Pos Indonesia Jadi Unicorn dan Go Global

Dirut PT. Pos Indonesia Gilarsi W. Setijono
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Perkembangan era digital dan kemajuan teknologi telekomunikasi menyebabkan aktivitas surat menyurat ditinggalkan. Bisnis pengiriman pos pun menurun drastis. Akibatnya, PT Pos Indonesia sempat merugi hingga Rp606,5 miliar pada 2004-2008. 

Pelanggan Telkomsel Bisa Kirim Barang Hanya dengan Sentuhan Jari

Kemudian, PT Pos mulai berubah setelah adanya liberalisasi bisnis pos melalui UU No. 38 Tahun 2009 tentang Pos. Transformasi bisnis pun dilakukan. Kini, PT Pos tidak hanya melayani jasa pos dan kurir, tetapi juga jasa keuangan dan properti melalui tiga anak usahanya, yaitu PT Pos Logistics Indonesia (Poslog), PT Pos Properti Indonesia, dan PT Bhakti Wasantara Net.  

Meski digempur dengan menjamurnya banyak perusahaan logistik di Indonesia, Pos Indonesia mampu unggul dalam melayani pengiriman ke seluruh Indonesia; dari Sabang sampai Merauke hingga pulau terluar Indonesia, Talaud dan Rote. Di bawah kepemimpinan Direktur Utama PT Pos Indonesia, Gilarsi Wahyu Setijono, perusahaan yang telah berdiri sejak 1746 itu berhasil membukukan pendapatan Rp5,01 triliun pada 2016.  

PosIND Salurkan Bansos Atensi Yapi Secara Door to Door di Banyuwangi

Akan tetapi, Pos Indonesia memiliki beban sebagai pelaksana public service obligation (PSO) yang membuatnya sulit berkembang pesat. Walau begitu, Gilarsi ingin Pos Indonesia go-global dengan dua anak perusahaan menjadi perusahaan unicorn bernilai US$1 miliar.  

Bagaimana Pos Indonesia menghadapi persaingan bisnis kurir? Bagaimana strategi Gilarsi untuk mengembangkan anak perusahaan menjadi unicorn? Berikut petikan wawancara VIVA dengan Gilarsi: 

Jelang Pospay Run 3 November 2024 di Bandung, Hadiah Total 150 Juta & Doorprize Menarik Menanti

Saat ini di era digital orang sudah jarang menggunakan surat menyurat untuk berkomunikasi. Tanggapan Anda?

PT Pos itu kita berbicara tentang DNA. Ada dua DNA. Yang pertama adalah sebagai kurir, dan kedua pos. Kalau berbicara dunia digital, kurir sebenarnya masih dibutuhkan dalam konteks memang bukan lagi surat, karena sekarang orang lebih sering mengirim barang. 

Kalau surat yang berkepentingan itu yang mengirim. Kalau barang, yang menerima yang memiliki kepentingan. Dalam hal teknologi, track and trace menjadi wajib harus hadir dalam kebutuhan digital.  

Pos Indonesia tetap relevan saat ini. Mayoritas barang yang kita beli di e-commerce itu belum bisa di-teleporting digital. Jadi dari sisi konteks kurir, rasanya Pos akan tetap dibutuhkan. Artinya, transformasi pos dari kurir surat ke kurir barang menjadi sesuatu yang alami harus ke sana, tidak ada pilihan lain. 

Kedua adalah dalam konteks distribusi uang melahirkan produk-produk. Di pos itu dulu kita mengenal cek pos, wesel, itu masih sangat membutuhkan transaksi fisik.

Orang juga sudah tak lagi menggunakan wesel untuk mengirim uang. Tanggapan Anda?

Dalam transformasi di jasa layanan keuangan, dulu transfer uang melalui wesel, remittance overseas (transfer uang dari luar negeri) di Pos pun masih relevan. 

Kemudian muncul kebutuhan-kebutuhan baru ketika konteks e-commerce muncul. E-commerce ada tiga pilar, marketplace, kurir, dan payment gateway

Sekarang ada media sosial, orang bisa jualan barang di Instagram, Facebook, dan media sosial lain. Akibatnya, transaksi online tidak wajib melibatkan marketplace. Ketika transaksi penjualan itu menjadi social commerce, maka siapa yang bertanggung jawab pada penyerahan barang dan penyerahan uang? 

Nah, ini dibutuhkan sebuah perusahaan yang memiliki pelayanan terintegrasi untuk bawa barang dan bawa uang. Nah, kami membawa barang dan membawa uang. Kebutuhan seller dan buyer itu bisa terfasilitasi dengan baik.   

Contoh lain peer to peer lending, itu Pos tidak diizinkan untuk melakukan pembiayaan peminjaman. Kita diizinkan untuk menerima dan menyimpankan uang masyarakat, tapi kita tidak mendapatkan izin untuk melakukan itu. 

Tetapi, kalau kita berkolaborasi dengan start-up peer to peer lending di Indonesia, ketika peer to peer lending ini dilakukan virtual to virtual, digital to digital mereka tetap membutuhkan physical presence, yaitu ketika mereka membayarnya atau mengirimnya secara uang tunai maka kehadiran Pos sangat relevan. 

Dalam protokol uang, orang masih butuh uang tunai, ATM bisa mewakili tapi tidak ada di semua tempat. Pos memiliki physical presence ada di seluruh Indonesia untuk mengambil atau menerima bayaran uang tunai, maka Pos masih dibutuhkan. 

Dirut PT. Pos Indonesia Gilarsi W. Setijono

Saat ini perusahaan jasa logistik juga sudah menjamur. Bagaimana PT Pos Indonesia bertahan dalam persaingan ini?

Persaingannya luar biasa. Salah satu yang menjadi keunggulan Pos yaitu ketersebaran dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai Pulau Rote, kami ada. Kami hadir. Keberadaan Pos tidak dibagi dari kepadatan ekonomi tetapi geographical presence jadi batas negara ada di mana kami harus hadir sampai batas negara itu. Jadi kami hadir dan tersebar di seluruh Indonesia.  

Zaman dulu orang mengirim surat harus datang kantor pos atau memasukkannya ke dalam kotak pos. Sementara konteks yang baru tidak begitu. Sekarang, kalau Anda (perusahaan logistik) tidak mau jemput (barang), ada orang lain yang mau jemput loh. 

Secara physical presence di Jakarta loket kantor pos banyak sekali mewakili kepadatan penduduk, tapi tidak perlu harus tersebar. Jakarta dengan penduduk 9 juta harusnya Pos memiliki ketersediaan seperti convenience store, di semua kampung harusnya ada. Ini yang kita garap untuk coba memberdayakan masyarakat untuk bisa menjadi agen-agen pos. Itulah bisnis modelnya untuk meningkatkan kehadiran layanan postal sampai ke level-level kampung seperti convenience store, nyaman bagi masyarakat. 

Saat ini kita ada kurang lebih dari 5.000 agen di seluruh Indonesia. Tapi memang belum sepenuhnya mengikuti kaidah baru yang ingin kita terapkan, tapi nantinya kehadiran Pos transformasinya akan disesuaikan dengan kepadatan e-commerce. 

Bagaimana PT Pos Indonesia membangkitkan citra Pos di masyarakat?

Kami punya target 2019 ini, seluruh kiriman di Pulau Jawa harus bisa terlayani maksimal 72 jam. Beberapa tes yang kita lakukan misalnya pengiriman paket dari Jawa Timur ke Jawa Barat bisa sampai 24 jam. Jadi kita memperbaiki pola operasi kita, termasuk etika kerja. 

Ini membaik, tapi memang belum konsisten di beberapa daerah. Ini sedang kita perbaiki, dari waktu ke waktu akan semakin membaik. Kadang ada yang tercecer sehingga target waktu tempuh tidak tercapai. Saya tidak memungkiri problem itu masih ada tapi sudah jauh lebih sedikit. Termasuk masalah kehilangan sudah jauh lebih sedikit.

Problem lainnya, kami juga melakukan kiriman-kiriman PSO (public service obligation) yang tarifnya ditentukan pemerintah, bertarif murah karena diwajibkan pemerintah. Hal ini dimanfaatkan perusahaan kurir lain untuk mengirim barang dengan tarif murah. Kami tidak bisa menolak karena publik yang mengirimkan. Ini dilema. 

Terus terang untuk kiriman bertarif murah, buat Pos itu rugi, karena biaya operasional lebih mahal dari tarif yang ditetapkan. Ini tentu saja menjadi tidak adil. Padahal tarif itu ditetapkan untuk masyarakat yang tidak bisa menjangkau tarif komersil. 

Jadi kami mendiskusikan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika bagaimana agar tidak ada harga khusus, karena sudah sangat sedikit masyarakat yang membutuhkan tarif spesial itu. Ini sedang mendiskusikan dengan Keminfo agar tarif ini tidak bisa disalahgunakan perusahaan kurir lain atau untuk tujuan-tujuan komersil lain. Karena ini menjadi kompetisinya tidak adil. 

Tapi, makin ke sini kita makin beres. Pos berubah, tetapi memang kecepatan perubahan diakui tidak secepat dengan perusahaan start-up. Posisi kita di marketplace tadinya paling bawah, sekarang posisi kita sudah membaik, di beberapa marketplace sudah di nomor dua dan tiga. 

Karena pos ini basisnya trust (kepercayaan), untuk mengembalikannya butuh kerja sama dari para mitra bisnis kita. Kita juga memanfaatkan sinergi BUMN untuk memperbaiki diri jadi lebih baik. 

Apa yang dilakukan PT Pos menangkap peluang booming era digital dan mempersiapkan diri memasuki revolusi industri keempat?

Itu emas, sesuatu yang harus dilakukan kalau kita tidak mengikuti itu, kita akan dianggap tidak relevan, dianggap zaman batu. Kalau sekarang penerima atau buyer harus tahu barang sudah sampai mana secara real time. Nah, kalau kita sudah masuk ke level demand seperti ini, apalagi kelas premium, sangat mutlak dibutuhkan IOT 4.0, internet of think dan internet of people. Internet of think itu yang membuat semua informasi mengenai track and trace bisa terlihat real time.  

Di setiap barang yang dikirim sudah ada QR code atau Id, jadi di setiap stasiun sekarang dilakukan scanning dengan manual. Nah, ke depan yang sedang kita incar individual parcel itu bisa melaporkan dirinya sendiri. Kendaraannya ada GPS tracker-nya, jadi semua bisa terjadi real time, termasuk di gudangnya posisinya di mana. 

Itu yang sedang kita uji coba. Bahwa butuh investasi, iya, ini akan kita coba April tahun depan. Paling tidak tujuh wilayah besar di Jawa seperti Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan Malang. Kita harap semua pelacakannya bisa real time, tidak dilakukan scanning secara manual. 

PT Pos meluncurkan berbagai fitur pelayananan, seperti Contact Center Oranger, Magenpos, Agenpos B2B Kurir, Agenpos B2B Jaskug, dan Layanan Kargo Ritel Udara di agen pos. Apa yang melatarbelakangi berbagai produk layanan tersebut?

Itu untuk memberikan user experience (pengalaman pengguna) yang lebih baik. Jadi seperti, kalau kita mau komplain masa harus menelepon atau datang ke kantor pos, itu akan menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan. Kita akan mengubah infrastukturnya, apakah dengan menggunakan live chat, atau live person

Prinsipnya adalah mempermudah pengguna pada saat mereka memiliki pernyataan atau komplain bisa terfasilitasi dengan baik dan cepat. Juga soal revolusi industri 4.0 kita sedang melakukan uji coba dengan robot untuk chatting, tapi belum memiliki suara. Kita sebentar lagi bereksperimen berbasis suara sampai kepada orang. Tapi memang kita butuh kecepatan untuk merealisasikan ini, hanya saja kecepatan kita bisa mengeksekusi sangat lambat.

Karena masalah dana? 

Antara lain. Bukan hanya jumlah rupiahnya, tapi kita punya protokol-protokol yang tidak semudah start-up. Ini yang menjadi kendala, karena masih membutuhkan kajian dan ini semua butuh waktu untuk sampai bisa dieksekusi. 

Dirut PT. Pos Indonesia Gilarsi W. Setijono

Apa yang membuat PT Pos tertarik membuat layanan Kargo Pos di tengah menjamurnya perusahaan logistik?

Itu ada di anak perusahaan Poslog, kebutuhan kargo itu menjadi kebutuhan semuanya, seperti pengiriman kargo dari luar negeri. Misalnya, kalau mereka yang pergi umroh dan haji ingin membawa barangnya ke Indonesia, bisa menitipkan barangnya melalui Poslog, dan mereka bisa mendapatkan barang langsung di depan rumahnya.

Apa target dari PT Pos melakukan pengembangan dengan membentuk anak perusahaan? 

Dengan layanan PSO digabungkan dengan layanan komersial selalu ada konflik. Jadi kita sedang upaya dengan transformasi itu, nanti semua hal-hal yang komersil akan diturunkan ke anak perusahaan. Jadi misalnya kurir kan ada dua yaitu yang berbasis layanan publik tetap di induk, dan yang layanan komersial diturunkan ke anak perusahaan. Jadi anaknya dibesarkan tapi induknya diperkecil, enggak apa-apa. 

Demikian juga dengan layanan jasa finansial. Hal-hal mengenai giro pos, mengoperasional hal-hal protokol tetap di induk. Kalau yang sifatnya komersial, seperti money transfer dan lain-lain di anak perusahaan. Kenapa di anak? Karena kita membutuhkan dana segar, sedangkan induk memiliki dana dari pemerintah terbatas untuk layanan publik. Upaya kita mendapatkan modal baru dengan kemitraan dengan anak perusahaan agar semakin kompetitif. 

Bagaimana dengan PT Pos Properti Indonesia?

Kalau perumahan saya tertarik tapi konteksnya adalah teknologi industri, seperti 3D printing house seperti di China. Kalau di Indonesia kan belum ada, saya ingin Pos Properti masuk ke situ, kita butuh lahan baru di situ. 

Bayangkan, kita bisa membangun rumah 3D printing dalam waktu 24 jam, ukuran rumahnya kira-kira 60 meterlah. Biayanya berapa? Di Austin, Texas (Amerika Serikat) itu dicoba biayanya US$4.000 sudah jadi rumah.

Wow, Rp60 juta dengan rumah 60 meter, tinggal tanahnya saja yang dihitung berapa, itu kan memudahkan kita membangun rumah, dan masyarakat kita masih membutuhkan. Di China ada rumah 3D printing sampai 5 lantai. Itu bukan sains fiction, itu sudah terjadi.

Sekarang kan di Indonesia belum ada. Kalau di Indonesia ada seperti itu saya ingin Pos Properti masuk ke situ, saya akan sangat support sekali. Kalau itu terjadi, banyak sekali nelayan, orang-orang kecil sangat terbantu sekali. Tapak tanahnya sudah ada, tinggal dibantu bangun rumah. 

Apa target Anda selama memimpin PT Pos?

Saya ingin sekali salah satu anak perusahaan segera tambah besar dan memiliki nilai yang sudah di atas US$1 miliar. Nah sekarang Poslog sedang kita kembangkan untuk memiliki bisnis trading logistic dan kurir. Kita tahu di revolusi industri 4.0 aset itu ada di data. Kalau mau melihat data di start-up, value mereka dari real data itu.

Jadi saya berharap Poslog bisa masuk ke kurir, logistik untuk bisa membantu pembangunan ekonomi untuk bisa membantu UMKM. Yang di layanan keuangan juga kalau bisa membantu memberi solusi. Di Indonesia belum ada satu pun perusahaan yang secara robust melayani COD. Padahal masyarakat sangat menginginkan COD. Nah, ini bisa dimanfaatkan perusahaan jasa finansial yang di bawah PT Pos, sehingga COD bisa dilayani dengan baik. 

Saya ingin dua perusahaan ini bisa bertransformasi, yang bisa mengikuti jejak seperti Tokopedia dan perusahaan unicorn-unicorn yang lain dengan nilai US$1 miliar. Target ini sangat menantang, tapi saya percaya itu bisa tercapai. 

Dirut PT. Pos Indonesia Gilarsi W. Setijono

Sejauh ini apa kendala yang dihadapi selama memimpin PT Pos?

Transformasi itu melibatkan semua aspek salah satunya adalah budaya. Isu yang fundamental sekarang adalah skill set yang lama, yang dibutuhkan skill set yang baru, ketika zaman ini berubah skill set ini juga akan berubah. 

Perusahaan start-up tidak memiliki beban masa lalu. Pos punya beban masa lalu, bagaimana kami bisa mengubah budaya dan kebiasaan, cara berpikir dan perjanjian masa lalu yang mengikat bisnis model di masa lalu.

Kedua adalah bisnis model. Saya bisa membuat bisnis model yang baru yang mungkin lebih memberikan user experience yang lebih baik, dibarengi dengan skill set dan protokol budaya dan nilai yang baru. Perubahan di sini mutlak penting, karena kebutuhan publik sudah sangat berubah sekarang. Dulu tidak ada pak pos keluar kantor, sekarang pak pos harus keluar kantor untuk menerima barang.

Kendala ketiga adalah infrastruktur, teknologi, proses bisnis. Tiga hal ini semua menantang. Aspirasi saya untuk Pos menjadi perusahaan yang sangat lincah dalam mengakomodasi kebutuhan publik yang baru. 

Bagaimana dukungan pemerintah terhadap PT Pos?

Tidak adil kalau kita membebani pemerintah lagi, ya saya akan mencoba untuk jalan sendiri. Jadi kita akan mencoba pemegang saham dan pengambil keputusan, yang sifatnya teknis, lebih sedikit mendukung dengan tantangan yang sedang kita hadapi. 

PSO akan menjadi beban untuk Pos Indonesia, itu sedang kami bicarakan dengan Kominfo agar bisa segera diselesaikan. Kita kan punya kantor 4.500 saja, 2.400-nya kantor PSO yang secara komersial tidak menguntungkan, karena beban operasional lebih besar daripada pendapatan. Kalau itu kita disconnect (putus), kita untung dan sehat, tapi karena beban PSO kami berat juga. 

Jadi di dalam hal ini di level pemerintah bisalah memberikan support kepada Pos Indonesia untuk tarif PSO, yang ditentukan pemerintah ini dirasionalkan, tidak usah ada lagilah. Kita pakai yang secara komersial saja, biar hukum pasar saja yang berlaku, nah itu akan membuat kita lebih ringan. 

Yang kedua itu kita harus menjaga yang 3 T itu; terluar, terdepan, dan tertinggal. Itu harus didukung oleh pendanaan yang benar dan hitungan yang transparan agar lebih adil jangan sampai kita yang subsidi, seharusnya pemerintah yang mensubsidi. 

Kami ingin dibuat regulasi agar bisa diperlakukan secara fair dan sehingga bisa menjadi market oriented, itu yang mungkin penting untuk didengarkan oleh pemerintah.

Apakah PT Pos Indonesia memiliki target untuk go internasional?

Kalau untuk anak perusahaan, iya. Model DHL dan Deutsch Post itu adalah model yang ideal. Deutsch Post membeli perusahaan logistik DHL yang kemudian dibesarkan dan go-global. Bayangan saya juga sama, yang go-global bukan Pos Indonesia, tapi Poslog-nya, Pos Fin-nya bisa go-global. Lalu apakah kita menyiapkan diri? Iya, all out kami menyiapkan diri, tapi dengan semua keterbatasan.

Apa harapan Anda dengan PT Pos ini?
  
Menjadi perusahaan yang relevan dengan mengikuti perkembangan dinamika lifestyle yang tentunya sudah berbasis pada teknologi. Sekarang teknologi baru berpikir di ICT (teknologi informasi dan komunikasi) sampai economic life, makanya kita ngomong 4.0. Tapi sebentar lagi teknologi akan masuk ke bio enginering, human race bisa menjadi manusia super dengan memasukkan cip dan DNA modification dengan model apa pun. Bahkan teorinya, anak kita bisa dilahirkan dengan IQ 300 dengan DNA modification

Bagaimana kita tetap relevan dengan semua kebutuhan. Sekarang orang masih menggunakan kertas, sehingga orang akan tahu ini dokumen asli, terutama pada konteks legal. Pos harus hadir mengubah paper based menjadi digital paper. Kita harus memiliki teknologi yang memverifikasi keaslian stampel pos, itu bisa dilegalisir dengan digital. 

Certificate of authentication (sertifikat keaslian) sangat dibutuhkan untuk menunjukkan dokumen asli. Kita ingin Pos tetap relevan di dalam semua perubahan zaman dan dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya