Tempat Buang Tinja Ini Bakal Disulap Jadi Lokasi Wisata
- VIVA/Dani Randi
VIVA – Lokasi tempat pembuangan tinja di Gampong (desa) Jawa dan Gampong Pande, Kota Banda Aceh, Aceh, yang biasanya digunakan untuk lokasi pembuangan limbah manusia, dalam waktu dekat akan disulap jadi kawasan wisata sejarah.
Bahkan, keseriusan Pemerintah Aceh untuk membongkar proyek instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan tempat pembuangan akhir (TPA) di lokasi tersebut akan segara dipindahkan dan diubah menjadi kawasan yang mempunyai nilai histori.
Sebab, kawasan itu begitu banyak ditemukan nisan serta makam para ulama dan raja dari kerajaan Aceh. Apalagi di kawasan itu disebut-sebut sebagai awal mula masuknya Islam pertama ke Nusantara.
Menurut catatan Arkeolog Aceh, Husaini Ibrahim dalam buku berjudul Awal Masuknya Islam ke Aceh, hal itu mengacu pada usia dan bentuk batu nisan yang ditemukan di Gampong Pande bahwa usia nisan tersebut lebih tua dari nisan yang ditemukan dari Perlak dan Samudera Pasai. Ketiga lokasi tersebut masih dalam wilayah Aceh.
Pegiat Sejarah dan Kebudayaan Aceh, Tarmizi A Hamid, menjelaskan bahwa wilayah Gampong Pande tidak layak untuk dijadikan tempat pembangunan proyek Ipal. Menurutnya, Gampong Pande adalah kawasan peninggalan sejarah Aceh, dan merupakan areal inti dari berbagai peristiwa sejarah karena berada di tepi laut dan di bagian muara atau hilir Sungai (Krueng) Aceh.
Aliran sungai di bagian muaranya adalah jalur vital menuju ke Kuta Sultan dengan melewati Gampong Jawa. Di Gampong Jawa sendiri terdapat makam Kepala Pelabuhan atau Syahbandar Aceh zaman dahulu, dari abad ke-12 Hijriah, yang bernama Syahbandar Mu'tabar Khan.
“Krueng Aceh sendiri mulai hulu sampai hilirnya merupakan nadi kebudayaan dan peradaban orang Aceh. Dari kawasan di dua tepi Krueng Aceh, orang Aceh telah menyebar ke berbagai tempat di Asia Tenggara,” kata Tarmizi kepada VIVA, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, penempatan lokasi buang sampah dan lain-lain di pinggir Krueng Aceh di bekas kawasan paling penting dalam sejarah Aceh adalah sesuatu yang tidak dapat diterima baik dari segi adat dan kearifan orang Aceh, atau dari segi cita rasa keindahan.
Tarmizi menyarankan agar wilayah Gampong Pande dan sekitarnya digunakan untuk kawasan peninggalan sejarah yang didukung dengan berbagai sarana edukasi masyarakat dan generasi muda, seperti museum kemaritiman, perpustakaan bahkan pengajian-pengajian keagamaan, terutama sebagai pusat kajian sejarah Aceh.
“Kawasan ini bisa menjadi kawasan tujuan wisata yang mengesankan, dan tidak menjadi kawasan wisata tutup mulut dan hidung karena bau busuk sampah. Perlu diingat sekali lagi, ini adalah kawasan utama dari kota Islam, Bandar Aceh Darussalam,” tutur Tarmizi.
Senada dengan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf , ia mengatakan proyek Ipal itu sebagai kecelakaan sejarah. Kata dia, hal itu sangat tidak etis jika makam para leluhur (endatu) ditimpali oleh tinja.
“Ini kita hentikan (Proyek Ipal) dan kita pindahkan ke lokasi lain. Nanti kita akan bangun lokasi wisata sejarah di sini,” katanya kepada wartawan saat meninjau lokasi Ipal dan TPA di Gampong Pande beberpa waktu lalu.
Untuk itu, ia telah menginstruksikan Dinas Pariwisata dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh untuk melakukan riset di lokasi tersebut. Sebab, diduga masih ada makam lainnya yang masih tertimbun di lingkungan proyek Ipal itu.
Saat VIVA mengunjungi kawasan makam Gampong Pande, puluhan batu nisan kuno berderet di makam Gampong Pande, seperti makam ulama Syeikh Jamaluddin As Samarqandi dari Samarkand Asia Tengah. Kemudian nisan yang diyakini sudah ada sejak zaman Kerajaan Aceh.