Pulau Makasar, Saksi Bisu Kegagalan Sultan Hasanuddin
- VIVA.co.id/Kamarudin Egi
VIVA.co.id – Mendengar kata Makasar, hal pertama kali yang terpintas dalam pikiran kita, adalah kota metropolitan yang menjadi ibu kota di Provinsi Sulawesi Selatan, yakni Kota Makassar.
Tetapi ini bukan Kota Makassar yang sering disebut di Sulawesi Selatan itu. Melainkan Makasar ini adalah, nama untuk sebuah nama pulau kecil yang terletak di Kepulauan Buton, Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pulau yang dinamakan Pulau Makasar ini memang mempunyai cerita keterkaitan dengan Provinsi Sulsel. Masyarakat setempat mempercayai bahwa pulau ini adalah bukti sejarah antara Kerajaan Gowa Sulsel dengan Kerajaan Buton Sultra.
Pulau ini adalah sebuah pulau yang menjadi sejarah kekalahan seorang Raja Gowa, Sultan Hasanuddin, dalam penyerangan Kerajaan Buton di bawah kendali Raja Buton bernama La Awu, alias Sultan Malik Sirullah.
Diplomasi itu, menurut cerita rakyat Buton adalah untuk melakukan penangkapan terhadap Aru Palaka, putra Raja Bone yang menjadi buronan Kerajaan Gowa.
"Dalam proses pemburuan itu, Kerajaan Gowa tidak dipimpin oleh Sultan Hasanuddin melainkan anak buah Sultan Hasanuddin bernama Karaeng Bonto Marannu, Kajau Lalibong, Karaeng Kasala, Daeng Mandangi, dan Daeng Mandongi," kata Ketua Adat Pulau Makasar bernama Armudin.
Dalam sejarahnya, kata Armudin, proses penyerangan tersebut terjadi, karena Sultan Hasanuddin kecewa atas pernyataan Raja Buton bernama Malik Sirullah. Malik mengatakan, kalau orang yang dicari bernama Aru Palaka tidak berada di tanah Buton.
Pernyataan tersebut sampai ke telinga Sultan Hasanuddin dengan mendapatkan informasi dari anggotanya. Aru Palaka yang dicari benar adanya berada di tanah Buton dan sedang melakukan persembunyian dalam goa.
Dari situlah Raja Gowa ke 16 tersebut langsung memerintahkan anggotanya untuk melakukan penyerangan di tanah Buton dan berharap menemukan Aru Palaka.
"Tetapi, dalam proses penyerangan itu mereka (Sultan Hasanuddin) di bawah kendali lima petinggi lainnya kalah dari Kerajaan Buton," ceritanya.
Ketua adat peraih gelar sarjana pendidikan ini menuturkan, proses penyerangan tersebut terjadi pada tahun 1666. Sedikitnya ada puluhan ribu prajurit Sultan Hasanuddin hadir dan melakukan penyerangan. Sayang, ekspektasi tak sesuai realita. Hasanuddin kalah dan tidak menemukan Aru Palaka.
Karena kekalahan tersebut, di Buton pun terjadi penawanan prajurit Gowa. Hingga pada abad ke-17 para tawanan tersebut dibebaskan. Sebagian dari tawanan itu, kata Armudin, pulang ke Sulawesi Selatan dan sebagian pula ada yang memilih tinggal di sebuah pulang yang kini dikenal Pulau Makasar.
Kini, pulau ini dihuni oleh puluhan ribu kepala keluarga. Namun, tidak lagi menjadi suku Makassar sebagaimana leluhurnya dahulu. Suku di pulau ini sudah menjadi Suku Wolio, suku asli masyarakat Buton. Masyarakat setempat, kini sudah hidup modern dengan berbagai latar belakang pekerjaan.
"Ada yang jadi nelayan, bertani, dan bekerja di pemerintahan Kota Baubau," katanya.
Kehidupan pulau ini begitu makmur. Hal ini nampak dari kondisi rumah-rumah warga yang sudah dalam keadaan permanen, atau rumah batu. Ditambah lagi, banyak masyarakat setempat sudah memiliki kendaraan baik roda dua dan roda empat.
Sebelumnya, menuju pulau ini masih menggunakan akses kapal, tetapi sekarang tinggal menunggu 30 menit menunggangi motor, kita sudah bisa sampai di Pulau Makasar. (asp)