Misteri Penemuan Makam Sunan Kuning
- VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id – Raut wajah Sutomo (67) nampak berkerut. Sorot matanya berbinar sambil menerawang jauh bangunan rumah modern dari atas bukit Pekayangan. Dengan suara lirih, bibirnya perlahan memulai cerita ihwal awal mula ditemukannya Makam Sunan Kuning.
Sutomo adalah juru kunci Makam Sunan Kuning atau Soen Ang Ing, ulama penyebar Islam asal Tiongkok di Jalan Sri Kuncoro 1 RT 6 RW 2 Kelurahan Kalibanteng Kulon, Semarang Barat. Ia adalah generasi kelima juru kunci makam yang hanya berjarak 50 meter dari kompleks lokalisasi Argorejo itu.
Menurut Sutomo, sampai saat ini memang belum diketahui pasti tahun berapa makam Sunan Kuning ditemukan. Berdasarkan cerita leluhur Sutomo, makam Sunan Kuning ditemukan oleh seorang sesepuh bernama Mbah Saribin seorang tokoh asal Kudus.
Beliau dikenal sebagai sesepuh terkemuka dan sakti yang punya banyak murid. Tak hanya orang Jawa, murid mbah Saribin bahkan juga dari kalangan Tionghoa.
"Mbah Saribin orang pertama yang menemukan makam, tapi nenek moyang kami tidak ada yang menjelaskan tahun berapa ditemukan," kata Sutomo berbincang dengan VIVA co.id, Kamis, 5 Oktober 2017.
Kisah Mbah Saribin menemukan makam Sunan Kuning di bukit yang dikenal gunung Pekanjangan memang turun temurun diceritakan. Mulai juru kunci Mbah Timan, Mbah Jasman, Sarpani, hingga Sutomo sendiri. Cerita itu bermula dari hilangnya lima ekor kerbau milik Mbah Saribin.
Hilangnya lima hewan peliharaan membuat Mbah Saribin mencari sampai tujuh hari tujuh malam. Seluruh lokasi, baik desa serta hutan belantara disisir, namun hewan milik mbah Saribin tak juga ketemu.
Sebagai guru spiritual sakti dan banyak murid, Mbah Saribin merasa malu dan terpukul jika dirinya tak mampu menemukan kerbau peliharaannya yang hilang. Lalu ia memutuskan nekat menyepi di Gunung Pekayangan yang kala itu dikenal wingit, dan tak pernah sekalipun dijamah manusia.
"Orang kalau masuk gunung Pekayangan jika enggak suci, pulang sakit dan meninggal. Bahkan burung saja bisa jatuh dan mati," ucap Sutomo.
Saat Mbah Saribin bersemedi tepatnya di bawah pohon Kepoh gunung Pekayangan. Di tengah Semedi itu Mbah Saribin merasa didatangi seseorang yang menunggang kuda kencana. Sosok tersebut memberi tahu keberadaan kerbau Mbah Saribin yang hilang. Dan benar, kerbau-kerbau itu sekejap terikat di pohon-pohon kecil di lokasi pertapaannya.
Setelah menemukan kerbau-kerbaunya, Mbah Saribin pulang dengan wajah gembira. Hingga keesokan harinya, ia mengajak keluarga dan murid-muridnya membersihkan Gunung Pekayangan dari semak belukar, dan menyapu daun-daun kering yang berserakan. Lalu ia dan para muridnya menemukan enam punthukan (tumpukan) batu yang menyerupai sebuah nisan.
"Untuk mencari identitas makam Mbah Saribin bersemedi kembali. Sosok penunggang kereta kencana itu datang lagi, dan memperkenalkan diri sebagai Kanjeng Sunan Kuning," kata Sutomo sembari menunjukkan nisan di kompleks makam.
Dari pertemuannya dengan sosok Sunan Kuning itu, Sutomo juga diberitahu lima makam atau petilasan lain di Gunung Pekayangan. Seperti Kanjeng Sunan Kalijaga, Sunan Ambarawa, serta tiga abdi atau patih Mbah Kia Sekabat, Kiai Jimat dan Kiai Majapahit.
"Sejak saat itu banyak orang ngalap berkah (cari berkah) di makam ini. Dulunya ramai sekali," kata dia.
Setelah penemuan makam itu, Mbah Saribin lalu berusaha mencari silsilah tokoh yang dimakamkan di tempat tersebut sebelum akhirnya meyakini bahwa tokoh yang dimakamkan di bukit itu, salah satunya adalah Soen Ang Ing, seorang tokoh penyebar Islam berasal dari tanah Tiongkok.
"Soen Ang Ing asli dari Tiongkok, nama Jawanya Raden Mas Garendi. Bapaknya namanya Eyang Probo Kadilangu Demak," katanya.
Hingga saat ini, makam tersebut tercatat telah dilakukan tiga kali renovasi dan pembangunan. Lokasi makam dibangun pertama kali pada 1937 oleh seorang wanita pengusaha Tiongkok yang tinggal di Klaten, Siek Sing Kang. Pengusaha itu rela membangun makam lantaran mendapat wangsit di komplek makam setelah emas berliannya yang hilang ditemukan.
Lalu makam dibangun kembali pada 1997 dan 1998 oleh warga keturunan Tiongkok, Liem Tjong Tat, seorang warga Wotgandul Barat.
"Karena yang bangun orang Tiongkok semua akhirnya gaya bangunannya perpaduan China-Jawa," ujar Sutomo.
Sepengetahuan Sutomo, tidak ada yang menyebarluaskan makam Sunan Kuning. Tapi banyak peziarah datang dari berbagai daerah mulai Kalimantan, Pasuruan, Jombang, Kediri, Surabaya dan provinsi lain. Makam ini tersohor di kalangan orang pecinta sejarah.
Pengunjung datang dengan berbagai maksud dan tujuan, seperti mencari jodoh, penglaris, kemuliaan hidup, kesembuhan hingga kesaktian. Biasanya makam ini ramai pada bulan Asyura di malam Jumat Kliwon.
Namun sayangnya kebesaran makam tersebut tercemar sejak paruh kedua tahun 1970-an silam, dengan muncul kompleks lokalisasi di Kalibanteng yang hanya berjarak 50 meter dari makam.