Tugu Renville, Saksi Batas Wilayah Indonesia dengan Belanda
- VIVA.co.id/Andri Mardiansyah
VIVA.co.id – Sumatera Barat, merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki potensi dan kekayaan alam yang cukup banyak. Berkat itulah, Belanda pada masa penjajahan dulu sekitar abad ke-17, datang dan berlabuh di pelabuhan Tiku, Agam, Sumatera Barat, menggunakan kapal-kapal milik mereka.
Bahkan, menurut catatan sejarah yang ada, pada 1905, seluruh kawasan Ranah Minang berhasil dikuasai oleh Belanda, dan berakhir pada penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, pada 27 Desember 1949 silam.
Sisa-sisa peninggalan sejarah penjajahan Belanda hingga saat ini masih terjaga, satu di antaranya adalah Tugu Renville. Tugu ini berada 32 kilometer dari Kota Padang, atau tepatnya di lima kilometer dari puncak batas Nagari Siguntua, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupatan Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Selain menjadi saksi bisu masa pemerintahan Hindia Belanda, saksi dari kisah perjuangan dan perjanjian-perjanjian yang pernah dibuat oleh para pejuang bangsa kita dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada masa itu, Tugu Renville dikawasan itu, saat ini juga menjadi rest area, dan tanda batas Kota Padang dengan Kota Painan.
Untuk menjaga kelestariannya, Tugu Renville, yang memiliki ukuran sekitar 6 x 6 meter tersebut, dipagari beton dan besi. Adanya tugu Renville, tak lepas dari adanya perjanjian Renville.
Perjanjian Renville merupakan perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan tersebut dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini juga berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang mana kemudian disebut dengan Garis Van Mook.
Van Mook sendiri diambil dari nama Hubertus Van Mook yang diketahui merupakan sosok orang yang dikenal dalam sejarah Indonesia. Dia melahirkan garis pemisah wilayah antara Belanda dan Republik Indonesia di tanah Indonesia sendiri.
Van Mook dilahirkan di Semarang pada tanggal 30 mei 1894. Dia juga kemudian menjadi tokoh antagonis dalam sejarah perang kemerdekaan Indonesia.
Peperangan besar
Dikatakan Mestika Zed, seorang ahli sejarah Indonesia dan dosen sejarah Universitas Andalas, Tugu Renville merupakan salah satu saksi kekalahan pasukan Indonesia dalam menghadapi Belanda pada masa itu.
Pada masa dulu, kata Mestika, ada dua perjanjian besar dan peperangan besar yang terjadi. Dua perjanjian besar itu adalah perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville.
Tetapi, kedua perjanjian tersebut berakhir dengan peperangan besar. Nah, khusus untuk Renvill di kawasan ini, menggambarkan tentang kekalahan pasukan kita.
Pasukan kita kala itu dipukul mundur, dan tidak boleh lagi memasuki kota Padang, karena pada saat itu sudah dikuasai oleh Belanda.
"Tugu Renville di Siguntua itu, merupakan batas kota untuk konteks Kota Padang. Itu cerminan kita mundur dari pusat kekuasaan yang dulu di kota padang, karena pada saat itu ada dua pemerintahan, yakni Belanda dan Indonesia. Setiap perang, kita kalah dan dipukul mundur dan terusir dari Kota Padang," kata Mestika.
Mestika menuturkan, pemerintah harus lebih gencar lagi mengangkat sejarah yang ada. Dan, tidak hanya sekadar bicara soal tugu dan monumen, atau benda peninggalan sejarah lainnya. Namun, lebih kepada cerita sejarah itu sendiri.
Benda-benda peninggalan sejarah harus dilestarikan sebagai benda cagar budaya, berikut dengan penjelasan lengkap tentang itu. Karena, sejarah merupakan instrumen dari Identitas Indonesia. (asp)