Melihat Jejak Gendang Kulit Manusia di Todo Flores
- VIVA.co.id/Jo Mariono
VIVA.co.id – Walau jaraknya hanya 45 kilometer dari Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, namun perjalanan menuju Kampung adat Todo di Kecamatan Satar Mese Utara cukup makan waktu. Ini karena kondisi jalan aspal yang rusak termakan usia.
Setidaknya butuh waktu dua jam perjalanan menggunakan mobil, tapi kalau pakai sepeda motor bisa lebih cepat. Pesona kampung tradisional yang dihuni 1.395 jiwa ini langsung terpancar kala dipandang dari atas jalan raya depan Gereja Katolik Todo.
Rasa penasaran mulai bergolak begitu menatap empat buah rumah kerucut dengan ijuk tua legam berjuntai dari atas ke bawah, serta deret batu bersusun melingkari halaman kampung. Episentrum halaman terdapat gunungan batu mazbah menjorok ke pintu rumah adat.
Batu-batu tua setinggi satu meter itu disusun rapi dari gerbang kampung lalu membagi arah ke kiri dan ke kanan mengikuti bentuk oval halaman yang berada di depan rumah-rumah kerucut, dan disebut Niang Todo. Empat batang meriam kuno sisa perang melawan kolonial juga teronggok di pintu masuk Niang Todo.
Masuk ke kintal Niang Todo, pengunjung tidak sekadar membayar pas masuk. Pengunjung Niang Todo harus menggunakan sarung yang telah disediakan. Kain tenun khas Todo berbentuk kotak-kotak ini dipakai untuk melindungi pengunjung dari gangguan roh halus.
“Agar bapak-bapak tidak kenapa-kenapa selama di sini, ayo silakan pakai,” ujar penjaga situs Niang Todo, Titus Jegadut, seraya mempersilakan para pengunjung masuk ke kintal Niang Todo, Minggu 4 Juni 2017.
Sambil menapaki batu-batu bersusun, penjaga situ menceritakan panjang lebar tentang sejarah Niang Todo. Dijelaskan Titus, kampung adat Todo, konon merupakan pusat kerajaan Manggarai tahun 1111 dengan baginda raja bernama Tamur.
Istana kerajaan ini kemudian dipindahkan ke Ruteng pada tahun 1925. Batu-batu susun di pintu masuk lingkungan Niang Todo masing-masing punya sejarah dan fungsi. Sedikitnya ada lima batu yang memiliki fungsi berbeda.
Pertama, Watu Ngerungek atau batu tempat dibuatkan acara adat saat warga meminta turun hujan pada musim kemarau panjang. Kedua, Watu Jurak atau batu buang sial oleh karena perkawinan sedarah (inces) dan ketiga Watu Oke Ceki tempat dibuatkan ritual bagi seorang perempuan yang melepaskan adat istiadatnya untuk mengikuti tradisi suaminya di kampung Todo. Keempat, Watu Kope Nggor untuk mendeteksi niat dari setiap orang yang datang ke kampung Todo, dan terakhir Watu Lekek, atau batu sesajen tempat darah hewan kurban ditumpahkan.
Rumah kerucut (Niang) di kampung Todo bentuknya sama dengan rumah Niang, yang ada di Wae Rebo atau kampung Ruteng. Bedanya, pintu masuk rumah Niang Todo lebih rendah dengan maksud agar siapa pun yang masuk ke rumah adat ini mesti membungkuk sebagai tanda hormat.
Selain berswafoto dengan latar belakang rumah adat, pengunjung juga bisa mendapatkan berbagai jenis kain tenun khas Todo. Ada sebuah bangunan kecil di depan rumah adat biasa dijadikan tempat untuk menenun berbagai kain tenun seperti Lipa, songket dan selendang syal.
Gendang kulit bidadari
Dituturkan Titus, Niang Todo juga menyimpan gendang dari kulit perempuan cantik. Kisah menarik itu terjadi sekitar tahun 1700. Di sebuah dusun kecil bernama Ndoso hiduplah seorang gadis cantik jelita bernama Nggerang. Dinamakan Nggerang karena kulitnya putih serta berambut pirang. Nggerang dipercaya sebagai hasil dari perkawinan manusia dengan makhluk halus.
Karena kecantikannya yang tiada taranya itu, banyak raja-raja ingin meminangnya namun tak satu pun di antara mereka dapat memikat Nggerang, termasuk raja Bima yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa.
Ancaman demi ancaman diterima Nggerang dan ayahnya Awang. Raja Bima kala itu sangat menginginkan agar Nggerang mati lantaran cinta sang raja ditolak.
Putri cantik Nggerang pada akhirnya meninggal setelah ayahnya Awang mencabut helai rambutnya saat mencari kutu di kepala anak gadisnya itu. Kematian Nggerang lantas sampai ke telinga raja Bima. Raja itu pun mengirim orang menemui Awang, meminta agar kulit punggung Nggerang dibuatkan gendang.
Mengikuti ide raja Bima, Awang juga mengambil kulit perut anaknya untuk dijadikan gendang. Jadi ada dua gendang yang terbuat dari kulit Nggerang yakni gendang yang saat ini berada di Sumbawa dan gendang Loke Nggerang yang disimpan di dalam Niang Todo.
“Diyakini kalau gendang Nggerang yang disimpan di Todo dibunyikan maka getaran mistisnya terasa hingga ke Bima,” kata Titus.
Untuk melihat Loke Nggerang mesti dibuatkan acara adat dengan biaya tidak sedikit. Seremoni adat minimal menggunakan ayam berbulu putih atau merah ditambah kambing. Seremoni adatnya harus dihadiri para tua adat dan warga lain.
Gendang Loke Nggerang berwarna coklat, berdiameter 30 sentimeter. Panjang kayu 30-40 sentimeter. Bentuk lubangnya tidak seperti gendang umumnya, mirip lesung, tak punya lubang di ujung lainnya.
Pengait kulit gendang berasal dari tali hutan. Karena sudah terlalu tua kulit gendang ini mulai sobek di bagian tepi.
Kampung adat Todo kini dijadikan situs pariwisata yang dikelola oleh lembaga adat bersama dinas pariwisata setempat dengan arus kunjungan wisatawan yang terus meningkat tiap tahunnya.
Laporan: Jo Mariono/ Manggarai-NTT