Tantangan Pengembangan Wisata Diving Indonesia
- http://tempatwisata.web.id
VIVA.co.id - Kementerian Pariwisata gencar memperkenalkan sejumlah destinasi diving di Indonesia ke sejumlah negara asing. Berbagai cara dilakukan, salah satunya melalui famtrip, mengajak langsung buyers mengenal spot-spot diving yang tersebar di Indonesia.
Tak cuma menyelam di kawasan wisata bawah laut, mereka juga bisa langsung melakukan negosiasi bisnis dengan operator lokal di lapangan. Buyers yang kebanyakan operator wisata bahari di negaranya itu datang dari Inggris, Singapura, Polandia, Amerika Serikat, dan sejumlah negara lain.
Selama 29 Agustus hingga 2 September 2015, mereka menyebar di Bali-Lombok, Wakatobi, dan Boalemo di Gorontalo. Tiga lokasi ini dipilih dengan pertimbangan Bali dan Lombok merupakan contoh pengembangan wisata bahari yang sudah matang dan cocok sebagai percontohan bagi lokasi wisata diving di Indonesia.
Sedangkan Wakatobi dipilih dengan pertimbangan lokasi ini memiliki kekayaan bawah laut yang sangat beragam, dan Boalemo sebagai pusat pengembangan baru, sehingga cocok untuk pioneering turis dan investor.
Menurut Kepala Sub Bidang Pengenalan Perjalanan Wisata Umum Kementerian Pariwisata, Andriyatna Rubenta Tarigan di sela famtrip, beberapa buyer seperti yang berasal dari Oregon dan Los Angeles, Amerika Serikat, sebetulnya sudah bermain di pasar Indonesia. Namun masih mengkhususkan pada spot diving di kawasan Bunaken, Sulawesi dan Derawan, Kalimantan Timur. Famtrip ini menjadi kesempatan bagi Indonesia mengenalkan destinasi diving lain selain dua wilayah itu.
Meski sangat dikenal di mancanegara, mengenalkan Bali dan Lombok sebagai destinasi diving sangat penting, mengingat Bali lebih dikenal sebagai destinasi leisure. Sementara spot-spot divingnya, seperti Padangbai dan Bias Tugel, belum terinformasi dengan baik.
"Makanya kita langsung memberikan mereka kesempatan melihat langsung ke lapangan. Dengan peserta dari berbagai negara ini, marketnya menjadi lebih luas," kata Ruben.
Famtrip ini merupakan kelanjutan dari pertemuan keempat Coral Triangle on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) pada tanggal 27-28 Agustus 2015 di Nusa Dua, Bali.
Ruben mengatakan, dari perbincangan dengan buyers asing ada beberapa tantangan yang menjadi pekerjaan rumah bersama, tak hanya Kementerian Pariwisata. Tantangan utama yang disampaikan masalah transportasi, yakni koneksitas antara destinasi dengan daerah penghubung. Misalnya, wisatawan yang dari Amerika atau Eropa, umumnya harus transit dulu di Bangkok, Singapura, atau Malaysia.
"Yang jadi PR, bagaimana membuat penerbangan langsung dari negara-negara penghubung atau airport penghubung ke destinasi. Tahun ini justru maskapai asing yang sudah garap lahan ini," ujarnya menambahkan.
Silk Air dari Singapura sudah terbang langsung ke Manado dan Balikpapan. Ia berharap, hal itu berlaku juga secara resiprokal, maskapai penerbangan Indonesia bisa melakukan hal yang sama. Selain jalur penerbangan, juga perlu kreativitas pemerintah daerah setempat untuk mendesain atau membuat atraksi menarik di sepanjang jalur darat yang biasanya memakan waktu berjam-jam.
"Untuk Bali Lombok ini, buyers bisa merasakan, tidak harus lewat transportasi udara. Bisa dengan feri, kapal cepat dari Bali ke Gili Trawangan. Jika ke Bali orang umumnya untuk leisure, ke Gili Trawangan motivasi kunjungan utamanya diving, snorkeling atau mengunjungi pulau-pulau. Sebelumnya market sudah aware, namun tertutup dengan imej Bali sebagai destinasi leisure," kata dia.
Meski antara Bali-Lombok tak membutuhkan transportasi udara, sehingga koneksitas transportasi bisa diatasi, namun untuk wilayah lain dibutuhkan kerja sama dengan Kementerian Perhubungan, Angkasa Pura, dan Pemda terkait. Sebab, ada bandara-bandara tertentu yang belum sesuai untuk penerbangan dengan pesawat jenis tertentu sehingga harus dibenahi. Pemerintah daerah bisa membantu mengalokasikan lahan dan menyiapkan infrastruktur dari bandara ke destinasi.
Dari sisi biaya, Ruben mengatakan, promosi langsung memangkas biaya cukup besar. Tak hanya itu, promosi juga dinilai sangat efektif karena langsung mengenai sasaran, yakni pemain-pemain yang menjual destinasi Indonesia.
"Jadi mereka akan menjadi trigger point untuk menarik wisatawan, khususnya wisatawan diving ke Indonesia dengan pilihan destinasi baru," ujarnya.
Buyers asing ini mengaku terkejut dengan spot-spot bawah air di Padangbai dan Gili Trawangan, karena terumbu karang masih terpelihara dengan baik. Bahkan pada kesempatan diving di Padangbai, mereka bisa melihat hiu sepanjang 1,5 meter.
Spending Turis Besar
Pengenalan destinasi diving secara langsung sangat penting, mengingat wisata ini membutuhkan waktu panjang, sehingga buyers bisa memperkirakan berapa waktu yang dibutuhkan dalam mengemas paket wisata diving ke Indonesia.
Ia mengakui, volume wisata minat khusus, seperti diving memang belum besar. Namun yang harus digarisbawahi, pengeluaran wisatawan untuk aktivitas wisata ini sangat besar.
"Karena untuk satu dua kali diving membutuhkan sekitar US$150. Ini spending yang luar biasa, belum termasuk makan dan akomodasinya," ujar dia.
Selain pasar mancanegara, pemerintah juga membidik pasar ASEAN. Meski secara konten beberapa negara di ASEAN juga memiliki spot-spot bawah laut, namun penggarapan dan potensinya tidak sama.
"Banyak penyelam Singapura, Malaysia dan Filipina yang sudah level medium atau advance mencari destinasi baru yang beda dari negaranya. Ini yang kita bidik."
(mus)