Mengapa Masjid Al-Aqsa Penting dalam Konflik Israel-Palestina? Ini Sejarahnya
- MintPress News
Yerusalem – Masjid Al-Aqsa yang terletak di Kota Tua Yerusalem memiliki arti penting dalam konflik Israel-Palestina. Pentingnya hal ini berakar pada dimensi agama dan geopolitik.
Namun apa pentingnya masjid dalam konflik yang sedang berlangsung? Dikutip dari India Today, berikut sejarah masjid yang menjadi titik fokus ketegangan Israel-Palestina.
Di Mana Lokasi Masjid Al-Aqsa?
Masjid Al-Aqsa terletak di jantung Kota Tua Yerusalem di sebuah bukit yang dikenal oleh orang Yahudi sebagai Har ha-Bayit, juga dikenal sebagai Temple Mount dan al-Haram al-Sharif, atau Tempat Suci yang Mulia.
Bagi umat Islam, masjid merupakan tempat tersuci ketiga dalam Islam, setelah Mekkah dan Madinah. Plaza Al-Aqsa adalah rumah bagi dua tempat suci: Kubah Batu dan Masjid Al-Aqsa. Masjid ini dibangun pada abad ke 8 Masehi. Menurut sumber Islam, dari sinilah Nabi Muhammad SAW naik ke surga untuk bermalam.
Seringkali Kubah Batu (tempat suci) dan Al-Aqsa (masjid) disalahartikan sebagai hal yang sama. Meski keduanya terletak di tempat suci yang sama, keduanya merupakan dua bangunan berbeda dengan latar belakang berbeda.
Kompleks Masjid Al-Aqsa menghadap ke Tembok Barat, tempat suci bagi umat Yahudi untuk berdoa. Orang-orang Yahudi menganggap Temple Mount sebagai situs paling suci mereka, percaya bahwa Raja Salomo membangun kuil pertama di sana 3.000 tahun yang lalu. Bangsa Romawi menghancurkan kuil kedua di lokasi tersebut pada tahun 70 M. Situs ini juga dianggap penting oleh umat Kristiani karena kaitannya dengan peristiwa dalam kehidupan Yesus Kristus.
Masjid Al-Aqsa Dalam Konflik
Masjid Al-Aqsa disebut sebagai “situs paling sensitif dalam konflik Israel-Palestina” karena dianggap suci bagi umat Islam dan Yahudi.
Setelah Israel memenangkan perang 6 Hari pada tahun 1967 dan menguasai Yerusalem Timur, tempat tempat ini berada, muncul kekhawatiran terhadap situs ini.
Israel secara resmi menyerahkan kendali atas masjid dan wilayahnya kepada kelompok Islam, namun pasukan Israel masih bisa pergi ke sana, dan mereka juga mengizinkan kelompok agama lain, seperti jamaah Kristen, untuk berkunjung. Bagi banyak orang Israel, tempat ini sangat sakral, karena merupakan situs paling suci dalam Yudaisme.
Pada tahun 1996, ketika sebuah terowongan baru dibuka di dekat kompleks Masjid al-Aqsa, warga Palestina menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap situs suci mereka. Hal ini menyebabkan bentrokan yang mengakibatkan lebih dari 80 kematian hanya dalam tiga hari.
Pada tahun 2000, politisi Israel Ariel Sharon, yang saat itu merupakan pemimpin oposisi, memimpin sekelompok anggota parlemen Israel ke kompleks Temple Mount/al-Haram al-Sharif.
Pada tahun 2005, beberapa pemimpin agama di Israel menganjurkan agar umat Yahudi tidak berjalan di tempat khusus di dalam masjid. Mereka bertujuan untuk tidak memasuki bagian paling suci, yang mereka yakini sebagai tempat tinggal Tuhan di Bumi.
Namun, faksi agama Yahudi lainnya menginginkan lebih banyak hak untuk mengunjungi tempat tersebut, dengan tujuan untuk mengontrolnya. Mereka bercita-cita untuk membangun kembali kuil tua yang pernah berdiri di sana, sehingga memicu banyak kontroversi dan perdebatan.
Pada tahun 2014, ketegangan mencapai titik kritis pada musim gugur setelah penyerangan terhadap Yehuda Glick, seorang rabi sayap kanan. Sebagai tanggapan, para pejabat Israel mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan menutup akses ke Al-Aqsa, sebuah langkah yang tidak pernah terlihat sejak tahun 1967.
Pada bulan Maret dan April tahun yang sama, polisi Israel mengerahkan gas air mata dan granat setrum terhadap warga Palestina di Al-Aqsa, yang mengakibatkan kecaman internasional.
Hal ini memicu protes Palestina, yang dengan cepat berubah menjadi bentrokan kekerasan dan menandai dimulainya pemberontakan Palestina kedua, yang juga dikenal sebagai Intifada al-Aqsa.
Pada tahun 2021, bentrokan di lokasi tersebut berperan memicu perang 10 hari dengan Gaza. Pada minggu pertama bulan April 2023, terjadi penyerangan secara tiba-tiba dan tidak beralasan terhadap warga Palestina yang sedang salat di Masjid Al-Aqsa. Hal ini menimbulkan kemarahan di kalangan umat Islam di wilayah tersebut dan orang-orang dari negara tetangga Arab mengkritik serangan tersebut.
Kemudian pada 17 September 2023, pemukim Israel masuk ke kawasan masjid untuk salat. Pada saat yang sama, aparat keamanan menyerang warga Palestina yang mencoba memasuki masjid melalui salah satu pintu masuk utama bernama Bab as-Silsila.
Kemudian, pada 7 Oktober 2023, militan Hamas melancarkan serangan mendadak berskala besar terhadap Israel, menembakkan rentetan roket dari Jalur Gaza. Para militan meluncurkan sekitar 5.000 roket dari Gaza ke Israel, dan, selain itu, pejuang Hamas dilaporkan telah menangkap beberapa tentara Israel dan warga sipil.
Serangan itu diberi nama Operasi Banjir Al-Aqsa oleh Hamas dan dimaksudkan untuk membalas kesewenang-wenangan Israel di lokasi masjid.
Ketika situasi meningkat, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, membagikan video yang menyatakan, "Kita sedang berperang, dan kita akan menang," dan musuh harus menanggung akibatnya.
Tentara Israel mendeklarasikan 'Operasi Pedang Besi' terhadap militan Hamas dan Angkatan Udara telah melancarkan serangan dengan puluhan jet tempur yang menargetkan kelompok militan Palestina Hamas di Jalur Gaza.
Hingga kini, situasi di Palestina masih memanas. Tentara Israel masih membantai habis-habisan tanpa pandang bulu. Bahkan, ribuan nyawa termasuk anak kecil sudah melayang.