Musala Gang Gandekan, Peninggalan Orang Terkaya di Semarang Tahun 1815

Musala Gang Gandekan, Semarang.
Sumber :
  • VIVA/Teguh Joko Sutrisno.

VIVA Travel – Kota Semarang merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang menjadi pusat penyebaran agama Islam pada beberapa abad lalu. Di Kota ini, ada banyak tempat bersejarah yang menjadi bukti jejak Islam. 

Demo Tolak Survei Masjid di Sambhal India Berujung Bentrok dengan Polisi, 5 Orang Tewas

Tak hanya masjid-masjid besar, ada juga musala atau langgar kecil yang hingga kini masih kokoh berdiri dan masih asli, meski dibangun dan dipakai selama lebih dari 200 tahun. Yuk, scroll untuk menelusuri lebih lanjut

Adalah musala atau langgar di Gang Gandekan. Warga sekarang menamainya Mushola atau Langgar Al Yahya. Zaman itu, masjid kecil atau musala di Jawa memang disebut langgar. Kalau di luar Jawa ada yang menyebutnya surau.

AQUA & DMI Beri Kesempatan Ibadah Umrah bagi 20 Khadimatul Masjid dari 6 Provinsi di Indonesia

Langgar Al Yahya ini berada di Gang Kampung Gandekan, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Semarang Tengah. Posisinya agak "nyelempit" di tengah perkampungan padat. Meski begitu, bangunan langgar ini mudah dikenal karena bentuk dan arsitektur bangunannya sangat khas dan berbeda dengan bangunan rumah di sekitarnya.

Menag Ajak Masyarakat Rayakan Tahun Baru dengan "Dekonsentrasi Jalanan"

Bagian atapnya sangat kental dengan ciri masjid Jawa pada waktu itu yang meniru Masjid Demak, yaitu atap tajuk atau tumpuk tiga dan pada bagian paling atas dipasang mustaka. Kemudian pada tepian genting diberi hiasan lisplang kayu berukir. Seluruhnya masih asli sejak awal berdiri kecuali genteng yang sudah diganti.

Bangunan utama berupa tembok tebal yang dibuat dari batu bata yang direkatkan dengan serbuk tanah liat kering. Lalu ditutup dengan plester pasir dan serbuk batu bata tanpa semen, dan dicat warna putih.

Sedangkan plafon, daun pintu dan jendela serta plafon atau langit-langit terbuat dari kayu jati tua dan tebal yang masih utuh dan kokoh. Semuanya dicat warna hijau, kecuali langit-langit dicatat cokelat muda.

Saat masuk ke langgar pada Ramadhan ini, VIVA bertemu dengan Sugito, pengurus Langgar Al Yahya. Ia menceritakan sejarah langgar ini yang dibangun pada 1815.

"Ini wakaf dari Pak Tasripin," kata Sugito memulai ceritanya.

Tasripin adalah saudagar pribumi yang tercatat sebagai salah satu orang terkaya di Semarang pada masa itu. Ia dikenal sebagai tuan tanah yang memiliki banyak rumah dan toko di Semarang. Ia juga punya usaha di bidang perdagangan kulit, hasil bumi, dan lain-lain. Saat itu, pekerjanya tinggal di sekitar gudang dan pabrik milik Tasripin. Lama-lama menjadi pemukiman padat hingga sekarang.

"Makanya di sini ada Kampung Kulitan yang dulu merupakan pabrik dan gudang kulit milik Pak Tasripin. Waktu itu banyak pekerja yang butuh tempat salat, maka Pak Tasripin membuat langgar yang sekarang namanya musala. Dulu Mushola Al Mutaqien, sekarang diganti Mushola Al Yahya," jelas Sugito.

Saat masuk bagian dalam, VIVA melihat daun pintu berukuran tinggi lebih dari 2 meter, dihiasi ukiran pada bagian ujungnya. Ketuaan kayunya bisa dilihat dari bagian pinggir pintu yang tergerus dan aus berkerut.

Kemudian daun jendela terpasang dobel, pada bagian daun jendela dalam dipasang kaca patri warna-warni. Kaca ini menjadi ciri khas pada bangunan tua yang ada di Semarang.

Pada ruang imam, temboknya dilapis porselen tua. Di depannya ada tangga kayu yang nyaris tegak lurus, terhubung dengan rongga atap. Tangga ini dipakai saat takmir masjid akan memperbaiki pengeras suara maupun perbaikan genteng dan lain-lain.

"Di sini semua mengandalkan amal dari warga maupun yang datang ke musala lewat kotak amal maupun donatur langsung. Tentu beda dengan masjid, ini musala kecil jadi yang kita semampunya merawat langgar bersejarah ini," kata Sugito.

Di bulan Ramadhan, musala digunakan untuk berbagai kegiatan seperti salat Tarawih, tadarusan, berbuka puasa, dan malam takbiran.

Laporan: Teguh Joko Sutrisno.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya