Mengenal Budaya 'Kawin Tangkap' di Sumba, Kekerasan Berkedok Budaya
- Istimewa
VIVA Lifestyle – Budaya ‘kawin tangkap’ sudah menjadi tradisi di daerah Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tapi, dalam praktik yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun itu resmi dilarang. Hal ini karena ditandatanganinya kesepakatan dalam menolak praktik ‘kawin tangkap’ untuk meningkatkan perlindungan perempuan dan anak oleh pejabat pemerintah Pulau Sumba.
Kesepakatan ini dibuat usai viral sebuah video pada akhir Juni 2020 lalu. Video itu memperlihatkan seorang perempuan di Sumba dibawa paksa oleh sekelompok pria dalam sebuah praktik yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan ‘kawin tangkap’ atau penculikan untuk perkawinan.
Yuk scroll ke bawah untuk cari tahu infonya!
Menyadur dari BBC, pemerintah lewat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan sangat prihatin. Dia kemudian mendatangi Sumba untuk membahas soal praktik tersebut. Ia menyebutnya sebagai kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan mengatasnamakan budaya.
Sejumlah perempuan mendorong pemerintah untuk menanggapi praktik ‘kawin tangkap’. Alasannya, hal ini dianggap sebagai bentik ketidakadilan yang berlapis untuk perempuan dan menimbulkan stigma bagi korban yang berhasil kabur dari penculikan. Pengamat budaya menyebut sampai kini perdebatan terus berlanjut terkait asal usul budaya tersebut.
Pengakuan Korban
Citra, nama samaran, menceritakan soal budaya ‘kawin tangkap’ yang dialami ketika tinggal di Kabupaten Sumba Tengah tahun 2017 silam. Ia mengaku dirinya ditangkap dan ditahan selama berhari-hari oleh pihak keluarga yang menginginkan menantu. Pada Januari tahun itu, ia bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat setempat.
Ia kemudian diminta untuk ikut rapat oleh pihak yang disebut janggal dari keseharian tugasnya. Meski begitu, ia memenuhi tanggung jawabnya untuk menghadiri pertemuan itu. Setelah satu jam pertemuan itu berjalan, Citra menyebut bahwa mereka meminta untuk pindah lokasi.
Citra mengiyakan dan akan menghidupkan motornya. Sejumlah orang secara tiba-tiba mengangkat dan membawanya ke dalam mobil. Wanita yang ketika itu berusia 28 tahun menjerit dan meronta-ronta mencoba melepaskan diri.
"Sampai di rumah pelaku, sudah banyak orang, sudah pukul gong, pokoknya (menjalankan) ritual yang sering terjadi ketika orang Sumba bawa lari perempuan," ungkap Citra.
Citra menyebut dirinya terus melakukan perlawanan dan berusaha mengelak dari ritual yang dianggap bisa membantu untuk menangkan perempuan yang ditangkap, seperti penyiraman air pada dahi.
"Saya naik ke pintu rumah adat mereka, biasa ada ritual siram air. Kalau istilah orang Sumba, ketika disiram air, kita tidak bisa kembali, tidak bisa turun lagi dari rumah tersebut. Tapi karena saya masih dalam keadaan sadar saat itu, air tidak kena di dahi tapi kena di kepala." tambahnya.
"Terus saya tetap dibawa masuk ke rumah. Di situ saya protes, saya menangis, saya banting diri, kunci (motor) yang saya pegang saya tikam di perut saya sampai memar. Saya hantam kepala saya di tiang-tiang besar rumah, maksudnya supaya mereka kasihan dan mereka tahu saya tidak mau," tuturnya.
Ia menyebut bahwa pihak pelaku mengatakan mereka melaksanakan hal itu karena sayang kepada dirinya. Namun, pernyataan itu dibantah oleh Citra yang menganggap perlakuan itu salah. Segala upaya dan rayuan yang dilakukan untuk mendapat persetujuan Citra dan keluarganya.
"Saya menangis sampai tenggorokan saya kering. Mereka berusaha memberi air. Tapi saya tidak mau. Kalau orang Sumba, karena saya biasa dengar, kalau orang dibawa lari begitu, karena masih banyak yang percaya istilah magic, jadi kalau kita minum air, atau makan nasi, walaupun kita mau nangis setengah mati bilang tidak mau, saat kita kena magic kita bisa bilang iya." tuturnya.