Hawa Mistis di Tuwit, Bukit Keramat Suku Rajong Manggarai Timur Flores

Tuwit, Bukit Keramat Suku Rajong Manggarai Timur Flores
Sumber :
  • VIVA.co.id/Jo Kenaru

VIVA – Bukit Tuwit konon merupakan kampung asli suku Rajong Elar Selatan. Jarak bukit dengan pemukiman hanya ditempuh dalam 25 menit jalan kaki. Keberadaan Bukit Tuwit membuat kampung Runus, Desa Langgasai, Kecamatan Elar Selatan dihubungkan dengan kisah mistik. 

Letaknya yang jauh di pedalaman bisa menghabiskan waktu 8 jam perjalanan dengan mobil dari Borong Ibu Kota Kabupaten Manggarai Timur Nusa Tenggara Timur (NTT). Saking buruknya jalan ke Elar Selatan membuat jalur transportasi ke sana dicap sebagai jalur neraka.

Mengunjungi lokasi tersebut memang sudah lama direncanakan. Rombongan wartawan dari Borong dan Ruteng Manggarai akhirnya berhasil mengeksplor bukit yang dikenal keramat itu, Minggu,15 Mei 2022. Empat orang wartawan bergerak ke atas bukit sekitar pukul 15.00 WITA.

Dalam catatan kami hanya ada dua segmen trekking yang cukup menguras tenaga, yaitu jalan kecil yang langsung mendaki ketika keluar dari jalan desa yang biasa digunakan warga jika ke kebun. Kemudian jalan setapak itu bersambungan dengan perkebunan kopi lalu jalur mendaki kedua yakni di pekuburan tua setelah melintasi lereng yang cukup rata sepanjang 1 kilometer.

Dalam separuh jalan kami tiba-tiba ditegur oleh seorang petani yang pulang dari kebun melewati arah yang lain. Dia lantas meminta kami untuk tidak mendekat ke Bukit Tuwit. Belum sempat kami menjawab, Tobias cepat-cepat menyapa warga itu dengan Bahasa Rajong yang kurang lebih artinya kami adalah tamu Tobias.

Tobias adalah juru kunci bukit Tuwit yang dimandatkan oleh mendiang ayahnya. Dalam silsilah keluarga Tobias merupakan keturunan ketiga yang diserahi tugas menjaga tempat itu.

Dalam riwayat suku Rajong, Tuwit merupakan kampung pertama di wilayah Elar Selatan. Sebelum pindah lokasi, kampung Tuwit terdiri dari beberapa suku.

Harus permisi

Berbeda dengan mendiang ayahnya, Tobias berani mengubah aturan. Dulunya begini, siapa saja selain keturunan Rajong yang ingin pergi ke atas Bukit Tuwit mesti melaksanakan ritual sembelih ayam jantan merah di dalam rumah adat di Runus tapi ketika Tobias didapuk menjadi juru kunci menggantikan ayahnya yang meninggal dia melonggarkan aturan jika orang dari luar suku Rajong yang ingin melihat bukit hanya perlu melapor ke Tobias dan dia sendiri yang akan menemani.

Meski sedikit melelahkan dan harus mengganggu rutinaitasnya sebagai pedagang yang memiliki kios kecil dan mesin giling kopi, Tobis secara sukarela membawa tamu-tamunya ke atas bukit. Tobias pantang menerima apapun dari orang-orang yang datang. Tobias bukan sekadar penunjuk jalan tapi sekaligus penjaga nyawa orang-orang yang dilayaninya.

Kampung Tuwit menyimpan riwayat yang diwariskan secara turun temurun. Seperti apa rupa kampung kuno yang pernah ada sekitar tahun 1400 masehi itu pun tak ada jejak pun gambarnya. Lokasi tersebut kini tertutup hutan kopi.

Mesbah kuno dan pohon keramat

Sejarah Kampung Tuwit dan persebaran suku Rajong ke berbagai tempat di Elar Selatan sudah menjadi legenda hidup keturunan Rajong.

Lalu kenapa Tuwit begitu terkenal di Elar Selatan?. Deretan pertanyaan yang terus memantik rasa penasaran kemudian terjawab setelah kami benar-benar berhadapan dengan Compang atau batu mesbah yang berada di titik tengahnya bukit Tuwit.

Compang Tuwit inilah yang menjadi ikon supranatural di tempat berhawa sedang tersebut. Batu mesbah ini terbuat dari batu bersusun berbentuk lingkaran. Satu buah batu lempeng bundar berukuran besar bertengger di puncak mesbah sebagai meja untuk bersemedi.

Menurut Tobias, dia rutin menjalankan semedi mingguan setiap malam Selasa dan malam Jumat di atas batu itu. Di batu ini Tobias selalu mendapat tugas dari leluhurnya terutama titah yang berkaitan dengan pertanian.

“Saya tidak takut menceritakan rahasia tempat ini kepada kalian karena saya tahu kalian orang-orang berniat baik. Orang Rajong diajarkan untuk rajin bertani dan orang Rajong harus taat dengan ritual-ritual di kebun,” kata Tobias seraya menceritakan panjang lebar tentang bukit itu.

Pria 44 tahun itu bicaranya tidak lancar dan selalu mengulangi ucapannya. Dia bilang, tidak ada satupun orang yang lolos ke Bukit Tuwit jika datang tanpa permisi. Mereka yang bersikap seenaknya di Bukit Tuwit menurutnya pasti tersesat ke dalam hutan.

“Intinya, ke sini harus saya yang damping. Kalau tidak permisi saya tidak bertanggung jawab. Tanya orang-orang di kampung Runus tentang tempat ini dan kejadian demi kejadian disini,” tuturnya.

Tuwit merupakan tempat yang sangat sakral dengan tiga hal yang menjadi ikon transendentalnya. Di bawah batu mesbah tersimpan berbagai jenis benda pusaka, emas, kitab kuno, pedang, rantai babi, bambu petuk dll.

Tuwit merupakan nama leluhur suku Rajong yang amat sakti. Dikisahkan Tobias, sebelum meninggal Tuwit memerintahkan sukunya untuk meninggalkan kampung dan membangun perkampungan-perkampungan baru di berbagai tempat.

Gunung Lewotobi Erupsi Susulan Lebih Dahsyat, Zona Bahaya Akan Diperluas Jadi 10 Km

“Ceritanya begitu, yang diutus membangun kampung di luar sana masing-masing membawa batu sebagai penanda bahwa mereka adalah keturunan suku Rajong,” kata Tobias mengisahkan.

Di sekitar mesbah terdapat dua pohon yang dikeramatkan yang dilarang keras untuk disentuh yaitu Nao, tanaman berbatang lurus yang biasa ditanam di atas lahan hak milik sebagai pilar pembatas dan satunya lagi yakni rumpun bambu Ndiwal yang diasosiasikan dengan pohon kematian.

Dampak Lontaran Batu Pijar dari Erupsi Gunung Lewotobi Signifikan, Menurut PVMBG

“Jangan menyentuh batu Mesbah tanpa izin dari saya. Dan yang lebih keras lagi jangan menggoyangkan pohon Nao ini karena tiba-tiba Anda diguyur hujan lebat dan mati kemudian jangan mengambil ranting bambu Ndiwal. Risikonya bisa gila lalu jalan ke hutan dan mati tersesat,” sebut Tobias dengan nada cukup serius seraya berkata bukit Tuwit memiliki mata air.

Sebagaimana dikisahkan secara turun temurun bahwa compang atau batu mesbah Tuwit konon dikelilingi kursi berbentuk batu bulat untuk tempat duduk saat ada rapat dari berbagai kedaluan, hamente di wilayah Manggarai Raya pasca terbentuknya Raja Todo Manggarai.

BNPB Klaim Jaringan Listrik di Flores Timur Terdampak Erupsi Lewotobi Sudah Pulih 80 Persen

Selain batu-batu bulat berbentuk meja bundar sebagai tempat duduk dari pemimpin rapat juga terdapat batu yang biasa dipakai untuk meletakkan mesin ketik kuno milik juru tulis adat pada masa itu.

"Jadi zaman dulu, semua dalu di wilayah Manggarai Raya mengadakan pertemuan besar di perbukitan Tuwit dan tempatnya di compang keramat Tuwit. Dalam pertapaan saya disini sering dengar bunyi mesin ketik," sambung Tobias.

Tobias pun menyingkap rahasia lain bukit Tuwit. Orangtuanya mewariskan cerita bahwa di bawah Compang Tuwit, tersimpan kitab kuno berisi nama-nama suku di NTT serta botol kuno.

“Di dalam buku itu, ditulis 4.343 suku di NTT dan Indonesia. Ada pula botol sakral di dalamnya ada jewawut atau benih padi. Jika jewawut dalam botol terlihat penuh artinya hasil padi petani suku Rajong di mana saja berada berlimpah. Botol dan isinya sebagai penanda hasil panen,” katanya.

Penjaga Bukit Tuwit, sebut Tobias haruslah berasal dari Suku Ngujul. Dahulu kala rumah adat pertama di Bukit Tuwit milik suku Ngujul kemudan rumah adat itu dipindahkan ke Kampung Sembong Desa Langgasai yang berada di bawah kaki Bukit Tuwit.

Penulis: Jo Kenaru/ Manggarai Timur-NTT  

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya