Wisata Wae Rebo Mati Suri Imbas Pandemi COVID-19

Wae Rebo.
Sumber :
  • VIVA/Jo Kenaru (Manggarai, NTT)

VIVA Wae Rebo begitu terpencil. Kampung tua berusia sekitar 1.090 tahun itu bersembunyi di kaki rimba Poco Roko, hutan lebat di atas wilayah Satar Mese Barat Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sejak meraih penghargaan UNESCO pada tahun 2012, nama Wae Rebo langsung melejit. Seiring waktu, kampung yang merupakan bagian dari Desa Satar Lenda ini perlahan menjadi destinasi favorit yang meramaikan paket wisata Flores Overland.

Melakukan perjalanan ke Wae Rebo memang tidak mudah. Untuk mencapai kampung yang dijuluki Negeri di Atas Awan ini, wisatawan harus trekking selama empat jam dari Wae Lomba, sebuah sumber air gunung yang memisahkan hutan negara dengan perkebunan komunal masyarakat.

Meskipun mendaki menerobos belantara, pengunjung akan dimanjakan oleh merdu suara burung endemik Ngkiong atau Kancilan Flores yang bertengger di pepohonan sedang. Sepanjang perjalanan banyak dijumpai tanaman berbunga indah.

Kampung Wae Rebo tersohor karena keunikannya dan terpisah dari wilayah lain tanah Nuca Lale Manggarai. Rumah-rumah di Wae Rebo berbentuk kerucut, atapnya berjuntai nyaris menyentuh tanah. Atap rumah terbuat dari ijuk pohon tuak.

Uniknya, kayu worok dan bambu pembentuk struktur rumah tak satu pun yang dipaku, melainkan hanya diikat tali rotan. Satu rumah bisa menampung enam sampai delapan keluarga.

Sejak dahulu, rumah niang Wae Rebo berjumlah 7 rumah ditambah dua rumah kerucut berukuran kecil yag dipakai sebagai taman baca dan kantor pelestarian budaya Wa Rebo.

Mati suri

Trekking di Wae Rebo.

Photo :
  • VIVA/Jo Kenaru (Manggarai, NTT)

Sebelum terjadi pandemi COVID-19, kunjungan turis baik domestik maupun mancanegara mengalir ke Wae Rebo. Tapi setelah virus corona menghantam pariwisata global, kunjungan ke Wae Rebo terhenti.

Sekretaris Pelestarian Budaya Wae Rebo (LPBW), Kasius Manje menuturkan, kunjungan turis ke Wae Rebo mulai mengendor sejak Februari 2020.

“Kalau tahun 2019 jumlah kunjungan 1.610 orang, tapi pada tahun 2020 wisatawan mulai sepi. Selanjutnya pariwisata Wae Rebo seperti mati suri. Dalam data kita hanya 200 orang yang datang ke Wae Rebo tahun 2020,” kata Kasius, dihubungi Sabtu 18 September 2021.

Sementara angka kunjungan tahun 2021, sambungnya, belum direkap.

“Baru ada lagi kunjungan sekarang. Untuk tahun 2021 belum direkap. Ya paling kemarin itu ada beberapa saja,” kata Kasius.  

Selama tak ada kunjungan wisatawan, sebagian besar warga Wae Rebo turun gunung menetap sementara di kampung Kombo di Denge. Kombo adalah kampung kedua warga Wae Rebo. Di kampung ini, mereka bekerja di sawah dan serta menyekolahkan anak-anak mereka.

Bus Pariwisata Tak Layak Jalan Ingin ke Puncak Bogor Diputar Balik, Ratusan Wisatawan Diturunkan

“Karena tak ada lagi aktivitas melayani tamu, warga Wae Rebo pada ke Kombo untuk kembali bertani dan mengerjakan sawah. Bagaimana pun bertani adalah kerja pokok orang Wae Rebo,” ungkapnya.

Kembali dibuka

Kebakaran Permukiman Warga, Perjalanan KRL Manggarai-Tanah Abang Terganggu

Wisata Wae Rebo.

Photo :
  • VIVA/Jo Kenaru (Manggarai, NTT)

Kabar menurunnya tren penularan COVID-19 Tanah Air merupakan angin segar buat pariwisata Indonesia, termasuk destinasi Wae Rebo.

Liburan ke Pulau Dewata saat Nataru, Cermati Cuaca Terkini Bali

Hampir setahun lesu, Wae Rebo kembali dibuka secara resmi pada awal September 2021. Perlahan kunjungan pun mulai ada, meski baru wisatawan domestik. Warga Wae Rebo kini bersiap melayani tamu.

“Kita berharap pariwisata mulai bangkit dan kita di Wae Rebo sudah bersiap melayani tamu. Seluruh warga sudah divaksin COVID-19,”tambahnya.

Dijelaskan Kasius Manje, pariwisata adat Wae Rebo diperkuat oleh Lembaga Pelestarian Budaya Wae Rebo (LPBWB). Lembaga pariwisata adat ini kata dia menyiapkan tenaga-tenaga terampil.

Dari total 128 KK di Wae Rebo, terdapat lebih dari 70 orang tergabung dalam LPBWB. Paling banyak terdiri dari ibu-ibu yang bertugas mengurusi konsumsi untuk wisatawan.

“Kita siapkan 50 orang ibu-ibu untuk melayani tamu. sisanya laki-laki yang biasa menyambut tamu dan saya sendiri sebagai salah satu guide lokal yang menjelaskan panjang lebar tentang kampung Wae Rebo kepada tamu,” imbuhnya.

Penambahan fasilitas

Meskipun sudah dipasang internet satelit oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia pada tahun 2018 lalu, LPWB sangat mengharapkan penambahan infrastruktur penunjang kebutuhan pariwisata di Wae Rebo.

“Kami sangat membutuhkan listrik PLN karena selama ini hanya mengandalkan genset. Selain biaya solarnya mahal, penggunaanya juga terbatas. Dipakai hanya malam hari sampai jam 12 malam,” ungkap Kasius.

Meskipun sudah dipasangi V-sat internet, warga Wae Rebo amat menginginkan pemasangan BTS Telkomsel mini di Wae Rebo.

“Kalau bisa Telkomsel juga didirikan di Wae Rebo, jadi intinya kami masyarakat di sini sangat merindukan itu supaya ya kita bisa tahu juga karena basic-nya orang Wae Rebo itu kan pertanian supaya ya tahu juga ada komoditas yang kita tanam itu sekarang di kisaran berapa. Intinya untuk mendapatkan informasi,” tutupnya.

Proyek rabat beton

Kepala Dinas Pariwisata Manggarai, Isfridus Buntanus membenarkan sedang ada pengerjaan rabat beton di jalur trekking menuju Wae Rebo. Proyek rabat beton pengganti jalan tanah itu bersumber dari APBD Provinsi NTT tahun 2021.

“Itu proyeknya Dinas Pariwisata Provinsi NTT saat ini sedang mengerjakan rabat beton sepanjang jalur trekking dari Wae Lomba menuju Wae Rebo kalau tidak salah pagu anggarannya Rp9 miliar,” ujar Kadis Buntanus ketika dihubungi terpisah.

Laporan: VIVA/Jo Kenaru (Manggarai, NTT)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya