Menghirup Wangi Aroma Kopi Mocca Di Dusun Sirap
- Teguh Joko Sutrisno/VIVA (Semarang, Jawa Tengah)
VIVA – Angka menunjukkan pukul 09.00 WIB. Sudah jelang siang sebenarnya. Namun, udara kemarau masih terasa dingin saja di Dusun Sirap.
Di ketinggian 800 meter dari permukaan laut, dusun yang berada di Desa Kelurahan, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah itu, dikelilingi hutan alami lereng Gunung Kelir.
Kabut tipis sesekali masih mengambang di sela-sela pohon. Pemukiman warga pun berada di tepi hamparan kebun kopi yang cukup luas dan rapat.
Bagi warga Dusun Sirap, kopi menjadi gairah baru sejak beberapa tahun ini. Sebelumnya, warga setempat mengandalkan kebun kakao sebagai mata pencaharian selama beberapa puluh tahun.
Namun, semenjak kakao tak lagi komersil, warga pun beralih budidaya dengan menanam kopi jenis robusta. Mereka mencoba memanfaatkan lahan bekas kebun kakao untuk bertanam kopi. Hasilnya tidak mereka duga.
Hasil kopi ternyata punya citarasa yang berbeda. Ada taste mocca atau coklat pada biji kopi Dusun Sirap. Itu karena lahan yang dipakai dulu bekas kebun kakao.
Salah satu petani Dusun Sirap, Ngadiyanto (47) menceritakan, ia dan beberapa rekan kemudian membentuk kelompok tani kopi, yang mana ia ditunjuk sebagai ketuanya. Semenjak itu, budidaya kopi terus berkembang, bahkan Dusun Sirap menjadi Desa Wisata kopi.
"Kopi Gunung Kelir bukanlah sembarangan atau kaleng-kaleng. Tapi ini kopi juara. Pernah meraih penghargaan dalam kompetisi kopi nasional yang diselenggarakan oleh Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, Jawa Timur," kata Ngadiyanto dengan mata berbinar.
Menyusuri Dusun Sirap di bulan Juli hingga September adalah waktu yang tepat. Hampir seluruh pohon kopi sedang berbuah matang berwarna merah tua. Sementara sebagian lainnya ada yang masih menyisakan bunga, sehingga aroma wangi pun semerbak.
"Memang di bulan-bulan Juli Agustus kopi lagi masa puncak panen. Lalu masuk September sebagian masih bisa dipanen. Seluruh batangnya penuh dengan buah kopi merah. Yang begitu itu kualitas premium," lanjut Ngadiyanto sambil membetulkan maskernya.
Selain jalan-jalan di kebun kopi, akan lebih lengkap jika mampir juga ke kampung. Di situ banyak warga yang mengolah biji kopi. Dari menjemur, mengupas, mengeringkan, hingga menyortir biji kopi utuh yang disebut green bean.
Selain menjual biji kopi mentah, warga juga mengolahnya menjadi biji kopi roasting maupun kopi bubuk siap seduh.
"Dulu kita bisanya ya jual buah kopi segar atau biji mentah yang sudah dikupas. Tapi sekarang kan sudah ada bantuan alat pengupas hingga mesin roasting. Sehingga kita bisa olah jadi kopi jadi. Lumayan selisih untungnya dibandingkan kalau jual biji basah," kata salah satu warga yang punya usaha pengolahan kopi di dekat tikungan jalan dusun.
Mau menyeruput langsung di sini? Yap, ada tempatnya. Sebuah kafe joglo di tengah kebun kopi sangat ideal untuk menikmati asli Gunung Kelir. Tak hanya kopi dengan cit arasa moccanya yang khas itu, ada juga kopi arabica hasil panen di area puncak Gunung Kelir. Soal rasa?
"Boleh diadu," kata Ngadiyanto optimis.
Laporan: Teguh Joko Sutrisno/VIVA (Semarang, Jawa Tengah)