Mengenal Tradisi Keboan Aliyan di Banyuwangi
- timesindonesia
Tradisi keboan merupakan tradisi agraris leluhur masyarakat Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi. Dari zaman dulu hingga zaman sekarang, tradisi Keboan Aliyan ini rutin dilaksanakan sebagai ucap syukur terhadap hasil panen yang melimpah dan sebagai penolak bala dari marabahaya.
Keboan Aliyan sendiri dilaksanakan setiap bulan Suro dalam penanggalan Jawa. Berawal dari masyarakat asli Desa Aliyan yang sebelum pelaksanaan tradisi terjadi kerasukan roh gaib atau danyang, dengan bertingkah layaknya kebo (kerbau). Mereka lalu berkeliling ke empat penjuru desa (tempat sakral) seperti makam leluhur Mbah Buyut Wongso Kenongo dan sesekali belasan keboan itu nyemplung (masuk) di kubangan layaknya kerbau.
Menurut budayawan Banyuwangi Aekanu Haryono, dalam prosesi keboan Aliyan, biasanya danyang lebih cepat merasuk ke orang yang trans dengan tempo dan melodi yang cepat. Sesuai teori Jacob Sumardjo dalam buku Estetika Paradox, jika gerakan menurun dari sakral ke profan yang diartikan berkah Tuhan dapat diturunkan untuk manusia.
"Itu temponya cepat dan melodinya tetap, jadi tidak melankolis. Gerak mereka berlawanan dengan arah jarum jam termasuk Ider Buminya ini, kalau di Hindu istilahnya disebut Prasawiyah artinya mudah-mudahan berkah tuhan diturunkan untuk manusia," ungkap Aekanu, Minggu (8/9/2019).
Tak memandang usia, tua muda pun tumplek jadi satu, dalam rangka memeriahkan tradisi desa yang digelar setiap tahun. Selain simbol Kebo, terdapat simbol Dewi Sri, yang dipercaya sebagai dewi padi, si pemberi kesejahteraan bagi para petani.