Cara Kreatif Supaya Wayang Sasak Enggak Sampai Punah
- VIVA/Isra Berlian
VIVA – Sekelompok anak terlihat begitu mahir menghibur anak-anak Sekolah Dasar Negeri 47 Ampenan Mataram, Nusa Tenggara Barat. Tawa riang anak-anak pecah ketika dua dalang cilik mengoceh memeragakan bagaimana dampak yang ditimbulkan dari membuang sampah sembarangan.
Kepiawaian kedua bocah itu merupakan campur tangan dari Abdul Latief Apriaman. Mantan wartawan televisi ini pada tahun 2015 lalu membangun sekolah pewayangan Desa Sasak.
Didirikannya Sekolah Pedalangan Wayang Sasak lantaran keprihatihan jumlah pewayang di Lombok yang semakin menipis. Di Lombok, kata dia tercatat hanya tersisa 50 pewayang dan hanya setengah dari angka itu saja yang masih aktif.
“Itu semakin susut karena regenerasinya dalang itu biologis. Kalau enggak anaknya, cucunya atau keponakan di situ aja. Kenapa tidak kita buat suatu model terpola ada guru yang mengajarkan dalang kepada siapa saja yang mau menjadi dalang,” kata dia kepada VIVA.co.id saat ditemui dalam kunjungan KFC ke Lombok, Jumat 16 Agustus 2019.
Dijelaskannya wayang sasak sendiri merupakan jenis wayang yang berbeda dengan wayang di Jawa atau di Bali. Perbedaannya itu terletak pada penggunaan alat musiknya.
Alat-alat musik wayang sasak sangat sederhana, bisa dengan mudah dibawa ke mana-mana, sangat berbeda dengan wayang Jawa dan wayang Bali. Alat musik untuk wayang Sasak sendiri hanya menggunakan tujuh buah alat musik diantaranya adalah kenong, kempul, kerencek, dua gong, suling, dan petuk.
Dia melanjutkan, dulu wayang Sasak sering digunakan sebagai media untuk menyebarkan agama Islam. Namun kini, wayang sasak sering digunakan untuk wadah berbagi cerita atau story telling kepada anak-anak lainnya.
"Cara penyampaian dari anak-anak ke anak-anak memang cepat masuknya karena bahasannya ringan terus lucu,” lanjut dia.
Untuk cerita yang sering diangkat pada wayang sasak ini adalah isu yang tengah happening di masyarakat. Salah satunya hari ini adalah mengenai lingkungan hidup, bagaimana sampah bisa merusak alam.
“Kalau sekarang isu modern, seperti kampanye peradilan bersih termasuk sampah, wayang simak baca tutur literasi,” kata dia.
Untuk pewayangan Sasak, Abdul menjelaskan bahwa pihaknya sudah menggunakan sampah botol plastik untuk dijadikan wayang. Hal ini karena selain harga kulit yang cukup mahal, tetapi juga sebagai bentuk kampanye lingkungan.
“Awalnya main kulit tapi kulit mahal Rp500 ribu itu satu lembar, kami enggak sanggup. Cara kedua botol air mineral dipotong laminasi bentuk wayang sasak lama-lama kemudian ada bagian terbuang ketemulah kenapa enggak semuanya digunakan,”’lanjut dia.
Sekolah pewayangan ini dibuka setiap Jumat sore dan Minggu Sore tepatnya di Irigasi kota Mataram. Untuk biaya sekolah wayang ini pun dirinya sama sekali tidak memungut biaya alias gratis kepada murid-muridnya.