Tapak Tilas Vihara Tertua di Aceh
- VIVA/Dani Randi
VIVA – Kehidupan masyarakat Tionghoa di Banda Aceh, Aceh, diketahui sudah ada sejak masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Menurut sejarah, hubungan antara Aceh dan China terjalin sejak abad ke-17 Masehi.
Saat itu, para pedagang dari China silih berganti datang ke Aceh. Ada yang pedagang musiman, ada juga yang permanen. Mereka tinggal di perkampungan China di ujung kota dekat pelabuhan.
Rumah mereka berdekatan satu sama lainnya. Lokasi yang dulu digunakan etnis Tionghoa sebagai tempat menurunkan barang sebelum didistribusikan kini dikenal dengan nama Peunayong.
Peunayong disebut juga sebagai China Town-nya Aceh. Di lokasi ini berdiri empat vihara, yaitu Vihara Dharma Bhakti, Maitri, Dwi Samudera, dan Vihara Sakyamuni. Di antara itu, Vihara Dharma Bhakti merupakan yang tertua.
Vihara Dharma Bhakti yang bercat putih ini masih berdiri kokoh di antara pertokoan di Jalan T Panglima Polem, Banda Aceh. Dua patung naga ditaruh di atas atap depan. Di belakang bangunan ini terdapat pusat studi bagi mereka yang beretnis Tionghoa.
Ketua Vihara Dharma Bhakti Yuswar menyebutkan, vihara ini sudah ada sejak 1878. Dulu letaknya bukan di Peunayong, melainkan di pesisir Pantai Cermin, Ulee Lheue Banda Aceh.
“Vihara sudah ada di Pantai Cermin di Ulee Lheue, jadi itu dari tahun 1878 sudah ada vihara itu, baru dipindah ke Peunayong,” kata Yuswar saat ditemui VIVA di Vihara Dharma Bhakti, Selasa, 5 Februari 2019.
Namun, karena alasan keamanan, Vihara Dharma Bhakti ini dipindah ke Peunayong, karena lokasi pertamanya dibangun tidak aman karena perang dunia sedang berkecamuk. Vihara ini sempat hancur terkena bom kala itu, sehingga dipindahkan ke Peunayong pada 1936.
“Pada tahun 1936 dipindah ke Peunayong agar lebih aman, karena waktu itu perang dunia kedua sedang berlangsung,” tuturnya.
Bangunannya kini merupakan bangunan baru yang didirikan di atas lahan bangunan lama yang telah runtuh. Keberadaannya yang bersamaan dengan tumbuhnya ruko di Peunayong, merupakan bukti dari gambaran aktivitas yang lain dari masyarakat etnis Tionghoa di Peunayong selain berdagang.
Yuswar menceritakan, Vihara Dharma Bhakti yang ada di Pantai Cermin, Ulee Lheue dulunya itu tak terlepas dari aktivitas etnis Tionghoa yang melakukan perdagangan hingga ke Aceh. Kemudian beranak pinak dengan orang pribumi, lalu menetap di Aceh.
Dari catatan sejarah yang dimiliki Yuswar, kini jejak bangunan vihara di Pantai Cermin sudah tidak terlihat lagi. Sebagai bukti, kata dia, di Pantai Cermin, Ulee Lheue itu banyak terdapat kuburan China. Tapi, hanya tinggal beberapa kuburan lagi, karena juga turut hilang disapu tsunami 2004.
“Etnis Tionghoa banyak yang tinggal di Pantai Cermin dulunya. Di sana ada kuburan etnis Tionghoa, tapi habis karena disapu tsunami,” kata dia.
Kini, Vihara Dharma Bakti di Peunayoung itu dijadikan sebagai tempat sembahyang bagi sekitar 4.000 etnis Tionghoa yang ada di Kota Banda Aceh maupun yang datang dari luar Aceh. Meski Aceh berstatus daerah Syariat Islam, kenyamanan beribadah masyarakat non-muslim tetap terjamin.
Vihara ini cukup mudah ditemui, letaknya tepat di pinggir jalan. Lokasinya juga sangat dekat dengan Masjid Raya Baiturrahman, hanya berjarak sekitar 300 meter. (art)