Wisata Religi ke Makam Ulama di Nagari Sumpur Kudus
- VIVA.co.id/Andri Mardiansyah
VIVA – Bicara soal Minangkabau, tak akan pernah lepas dari ajaran agama Islam dan tatanan adat istiadat yang kental. Budaya Minangkabau, yang menjadi budaya penduduk asli Sumatera Barat dan agama Islam, seperti melihat dua sisi mata uang. Baik adat maupun agama sama-sama mengakar kuat di tengah kehidupan masyarakat.
Hal ini juga tercermin dalam tatanan atau ungkapan yang hingga kini masih dipegang erat masyarakat Minangkabau sebagai dasar hubungan antara agama dan adat. Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah yang menjadi pedoman hidup orang Minang. Ungkapan ini berarti adat yang ada di Minang harus berdasarkan syariat yang tercantum dalam Alquran.
Begitu kuatnya akar ajaran agama Islam di Ranah Minang, tentu saja banyak melahirkan para tokoh-tokoh ulama ternama, penyebar ajaran Islam yang pada masa dahulu tanpa mengenal lelah terus berdakwah mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat di penjuru Ranah Minang.
Dari sekian banyak tokoh ulama, penyebar ajaran Islam di Minangkabau, ada dua tokoh yang pada masa dahulu memiliki pengaruh yang sangat kuat. Mereka adalah Syech Ibrahim dan Rajo Ibadat. Mereka berpusat di Jorong Sumpur Kudus, Nagari Sumpur Kudus, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung.
Meski fokus menyebarkan ajaran Islam di wilayah itu, namun keduanya kerap mendatangi sejumlah daerah terdekat. Mereka melakukan hal yang sama, memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kebaikan-kebaikan yang terkandung dalam ajaran agama Islam.
Pada masa dahulu, Sumpur Kudus dikenal sebagai daerah penyebar agama Islam yang pertama di Minangkabau. Kenyataan menunjukkan bahwa di Sumpur Kudus sudah ada perkampungan orang-orang Arab yang dahulu berdagang sambil mengajarkan agama Islam.
Raja Sumpur Kudus tinggal di Kampung Rajo, didampingi oleh staf pribadi raja, terdiri dari Datuk Pahlawan (Pahlawan Rajo), Rajo Malenggang (Manti Rajo), Peto Rajo (Malin Rajo), dan Dubalang Bungkuek (Dubalang Rajo).
Syech Ibrahim atau yang kerap juga dipanggil dengan Syech Berai, merupakan salah satu penyebar agama Islam yang datang dari tanah Jawa. Beliau merupakan salah satu murid dari Sunan Kudus. Di Sumpur Kudus, Syech Ibrahim dikenal sebagai sosok yang pertama kali membawa agama Islam ke Sumpur Kudus.
Bahkan, keberadaan dan peran Syech Ibrahim di dalam wacana sejarah tradisional Minangkabau cukup diakui. Ia kerap bersama-sama dengan Sultan Alif yang bergelar Rajo Ibadat. Hingga kini, Makam Syech Ibrahim yang terletak di sebuah perbukitan yang dihiasi dengan pondasi batu-batu alam mengitari bukit dengan undak berjumlah tiga dan beberapa buah nisan kecil yang terkonsentrasi pada bagian tengah itu masih banyak didatangi para peziarah dari berbagai penjuru daerah. Ada juga yang datang dari luar Sumatera Barat, terutama pada bulan safar.
Kompleks makam Syech Ibrahim itu dilengkapi dengan gapura berbentuk batu monolit berpasangan membujur utara-selatan berjarak sekitar 95 centimeter (cm). Gapura batu berada di sisi timur dengan tinggi 65 cm, yang menunjukkan bahwa pintu masuk makam secara simbolis berada di sebelah timur.
Kedua buah makam di atas merupakan makam Syech Ibrahim beserta istrinya. Makam syech Ibrahim berada di sisi timur, sedangkan makam istrinya berada di samping baratnya. Kedua makam mempunyai nisan dari batu kali tanpa pengerjaan, dengan bentuk lonjong tidak beraturan.
Keseluruhan nisan itu mempunyai bentuk meruncing pada sisi atasnya, yang sepintas mirip dengan bentuk-bentuk menhir. Pada kompleks makam, juga banyak ditemukan batu-batu kali yang berserakan di sekeliling makam. Selain itu, pada lokasi makam ini, juga terdapat sebuah bangunan kayu atau cungkup kecil yang berada di sisi selatan makam. Cungkup tersebut merupakan bangunan baru yang dibuat oleh pihak Tim Ahli Istana untuk melindungi batu prasasti.
Batu prasasti berbentuk agak bulat dengan permukaan yang relatif datar. Tinggi batu yang berupa batu kali tanpa pengerjaan itu sekitar 60 cm dengan diameter sekitar 1,5 meter. Saat ini, batu prasasti itu telah diberi semen di dasarnya untuk menguatkan posisi berdiri batu tersebut.
Batu kali yang diduga sebagai prasasti dengan huruf pallawa berjumlah lima baris itu, ternyata sewaktu dilihat tidak menunjukkan adanya tulisan atau goresan-goresan yang mengindikasi adanya tulisan. Sepintas lalu saja, orang yakin bahwa batu tersebut bukan prasasti, apalagi didukung dengan bentuk batu alamiah, lazimnya batu kali biasa.
Bergeser tak jauh dari lokasi Makam Syech Ibrahim, sekitar 15 menit perjalanan menggunakan kendaraan bermotor, juga dapat menjumpai makam Raja Ibadat yang merupakan salah satu dari Rajo Tiga Selo. Institusinya bernama Rajo Dua Selo. Raja Ibadat di masa dahulu berperan untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut dengan persoalan keagamaan. Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus.
Makam Raja Ibadat berada di tengah pemukiman penduduk, tepatnya di depan halaman Madrasyah Aliyah Negeri, SD Negeri Sumpur Kudus. Makam tersebut memiliki ukuran panjang antar nisan sekitar 2 meter. Makam Raja Ibadat hanya terdiri dari nisan dengan jirat baru dari tegel warna biru muda.
Nisan makam tersebut terbuat dari batu kali dengan bagian kepala sisi utara berupa batu alam tanpa pengerjaan. Sedangkan nisan sisi selatan berbentuk undak pada sisi atasnya dengan hiasan berupa stiliran sulur dan garis vertikal.
Semasa hidup, Raja Adat bertugas memegang adat dan limbago atau lembaga. Keturunan Raja Adat masih disebut sebagai Urang Istano, yang merupakan keturunan raja-raja di Pagaruyung. Raja Ibadat bertugas memegang hukum titah Allah dan mengerjakan sunah Rasul.
Dalam pemerintahan Yamtuan Barandangan Daulat Yang Dipertuan Tuanku Sari Sultan Ahmadsyah, Minangkabau didatangi oleh Kompeni Belanda pada tahun 1663. Kompeni tahu bahwa barang komoditi yang yang menjadi permata dagang di pantai barat bukan berasal dari pesisir, tetapi dari daerah pedalaman.
Oleh sebab itu kompeni berusaha mendekati Raja Pagaruyung tersebut. Belanda mengakui bahwa Sultan Ahmad Syah adalah Maharaja yang wilayah kekuasaannya meliputi Barus, Muko-muko, Batangkampar, dan Batanghari. Sebagai imbalannya, Belanda mendapat hak monopoli dagang dan mendirikan loji atau benteng di pantai barat Sumatera.
Meski jarak tempuh dari Kota Padang cukup jauh, sekitar lima jam perjalanan, namun tak rugi jika Anda sesekali berkunjung ke Nagari Sumpur Kudus ini. Itu karena memiliki keindahan alam panorama, dan sejarah penyebaran agama Islam, dan akan membawa Anda mengenang masa silam. Banyak warga yang bisa menjelaskan tentang sejarah, baik tentang Nagari Sumpur Kudus maupun tentang perkembangan Islam di daerah ini.