Petikan Merdu Dawai Sasando di Rumah Sederhana Sang Maestro
- VIVA/ Juju Ernawati
VIVA – Rumah dari bambu beratap seng di Jalan Timor Raya Kilometer 22, Oebelo Paluti, Kabupaten Kupang Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tampak biasa dan sederhana. Hanya tulisan Pengrajin Sasando di bagian depan yang membedakan rumah itu dengan lainnya.
Saat VIVA bersama beberapa media datang ke sana atas undangan KFC Indonesia, memasuki rumah, tampak alat musik Sasando dan beberapa Sasando dalam sejumlah ukuran termasuk dalam bentuk replika untuk suvenir atau oleh-oleh.
Tak cuma itu, ada beberapa piala dan piagam penghargaan yang dipajang di ruangan. Sementara di sisi sebelah kanan rumah, ada bengkel pembuatan Sasando dan tenun Rote.
Dan seorang pemuda dengan menggunakan topi unik Ti'l Lingga dari Pulau Rote, mendekati alat musik Sasando berukuran besar di salah satu sudut ruangan. Dia mulai memetik alat musik khas Pulau Rote tersebut untuk menghibur pengunjung yang datang.
Petikan dari lagu-lagu daerah, nasional hingga Asia dan Barat mengalun indah. Beberapa lagu seperti Tanah Airku karangan Ibu Sud; lagu Mandarin berjudul Wo Ai Ni hingga lagu yang dilantunkan Camila Cabello, Havana memanjakan telinga pengunjung.
Tak lama, sang maestro Sasando Jeremias August Pah muncul dalam balutan kemeja putih, selendang dan sarung tenun dengan warna dominan hitam serta topi L'il Lingga. Dia menyanyi lagu khas NTT, Bolelebo dan menari diiringi petikan dawai Sasando nan merdu.
Usianya sudah sepuh, 78 tahun, dan kondisinya belum begitu fit karena baru keluar dari rumah sakit. Kata-kata yang diucapkan dalam bahasa setempat tenggelam dalam alunan musik Sasando.
Jeremias menjelaskan bahwa dengan Sasando, dia dan putra-putranya telah pergi ke sejumlah negara di Asia, Afrika hingga Eropa. Dia mengungkapkan bahwa setiap memainkan Sasando harus menggunakan busana khas, lengkap dengan topi seperti yang saat itu dikenakan.
Ayah 10 anak ini menuturkan, bagian paling atas alat musik Sasando yang dibuatnya memiliki makna. "Ini melambangkan sila Pancasila," katanya.
Sementara pemuda yang tadi memetik Sasando adalah salah satu putra Jeremias. Dia adalah Diknas John A Pah. Namanya diambil dari singkatan Pendidikan Nasional (Diknas) karena lahir tepat pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tanggal 2 Mei, 29 tahun lalu. Sedangkan saudara kembarnya diberi nama Hardiknas.
Dia bercerita bahwa ayahnya sebelum menjadi pemain dan perajin Sasando adalah seorang petani dan perajin daun lontar di Pulau Rote. Salah satu produk yang dibuatnya adalah atap rumah. Namun karena ingin berkembang, dia pindah ke Kupang.
"Akhirnya bapak pindah domisili ke Kupang untuk mengembangkan Sasando sekitar tahun 1977 atau 1978," katanya.
Jeremias pada akhirnya juga membuat alat musik Sasando dengan material daun lontar muda, bambu, kayu jati dan senar kawat tembaga. Dia juga memainkannya hingga ada satu media yang mempublikasikan dan membuatnya dikenal sebagai pengrajin dan pemain Sasando dari Pulau Rote, yang tinggal di Kupang hingga diganjar beberapa penghargaan. Salah satunya diberi gelar Maestro Sasando dari Kementerian Kebudayaan Pariwisata pada tahun 2007 silam.
Jeremias pun melatih buah hatinya untuk main Sasando hibgga membawa dia dan kelima putranya membawa mereka keliling dunia. John sendiri yang sudah belajar Sasando sejak kelas lima Sekolah Dasar sudah tampil di beberapa negara, seperti Swiss, Paris, Jepang, Selandia Baru, Taiwan.
"Ketika bapak menikah, beliau menurunkan secara turun-temurun dan berkelanjutan, sehingga kami putra-putranya (lima orang) bisa main musik Sasando baik lagu tradisional hingga modern," tutur John.
Dan berkat kegigihan seorang Jeremias dalam melestarikan musik Sasando, alat musik itu tak hanya dipasarkan di dalam negeri, tapi juga pasar global seperti Brasil, Australia, Italia, Amerika dan Madagaskar. Harga jualnya mulai dari Rp3,5 juta hingga Rp7 juta.
Sasando yang diproduksinya ada tiga jenis, yakni Sasando pentatonik yang memiliki sembilan senar atau biasa disebut Sasando gong karena mengambil not dari alat musik gong. Kedua, Sasando Biola yang memiliki koor terbatas hanya dua oktaf yang nadanya diseauaikan dengan nada Biola dan Sasando Kromatik yang paling sulit dimainkan karena punya 32 senar hingga terbanyak sampai 48 senar. (ase)