Logo BBC

Rabbit Town: Antara Plagiarisme Seni dan Heboh Wisata Selfie

Rabbit Town
Rabbit Town
Sumber :
  • Instagram/@Rabbitown.id

Rabbit Town, destinasi wisata yang baru saja dibuka di Bandung, Jawa Barat, mendadak tersohor dan ramai digunjingkan.

Hanya dua bulan setelah dibuka, tempat itu telah menuai kontroversi lantaran dituding menjiplak ikon instalasi seni kontemporer sebagai "atraksi" mereka, tanpa izin dari seniman aslinya.

Melabeli diri sebagai destinasi "wisata selfie", Rabbit Town menyuguhkan tiruan dari beberapa karya artis internasional.

Sebut saja, imitasi karya perupa Chris Burden berwujud 202 tiang lampu yang ditampilkan Los Angeles County Museum of Art (LACMA) dan diberi nama `Love Light`.

Ada pula tiruan instalasi `Obliteration Room` karya Yayoi Kusama. Di instalasi ini pengunjung didorong untuk secara bertahap mengubah ruang serba putih dengan menempelkan stiker bulat berwarna-warni di seluruh ruang.

Hal yang sama bisa Anda lakukan di versi Rabbit Town menggunakan `Patrico Sticker`.

Rabbit Town juga menampilkan mural bergambar sepasang sayap malaikat, yang nampak seperti karya seniman Colette Miller, yang selalu menggambar "Angel Wings" di setiap muralnya sejak 2012.

Terlebih lagi, jika Anda getol pada es krim dan sudah lama ingin mengunjungi Museum of Ice Cream yang super populer di AS, Rabbit Town memiliki tiruannya.

Sontak saja, sejak berita tentang tuduhan plagiarisme yang dilakukan pengelola Rabbit Town beredar, banyak orang marah. Tidak hanya publik Indonesia saja, media internasional juga menyoroti kontroversi ini.

Foto-foto perbandingan antara karya asli dan versi Rabbit Town banyak beredar di internet, disertai komentar-komentar miring, termasuk di akun Instagram Rabbit Town.

Terkait dugaan plagiat yang ditudingkan, pihak Rabbit Town telah mengeluarkan pernyataan di akun Instagramnya.

"Terima kasih banyak atas semua kritik dan saran yang telah diberikan. Kami akan terus melakukan perbaikan dan pembenahan untuk ke depannya," tulis dalam keterangan foto Instagram.

BBC Indonesia berupaya menghubungi pemilik Rabbit Town, namun tidak mendapat tanggapan.

Lepas dari pernyataan pemilik Rabbit Town, pengguna media sosial telah melabeli atraksi di lokasi wisata itu sebagai plagiarisme terang-terangan dan kurangnya kreativitas dari pihak pengelola.

Hal ini diamini oleh kurator seni rupa Jim Supangkat.

"Saya kira itu agak keterlaluan kalau meniru, dalam artian ide itu bisa muncul begitu banyak, dengan itu untuk kemudian diolah, dan kenapa harus meniru?" ujar Jim Supangkat dalam perbincangannya dengan BBC Indonesia, pekan lalu.

Budaya visual

Lalu, apa itu , atau budaya visual?

Jim menjelaskan sebelum seni kontemporer muncul di medio 1980an, seni rupa dunia dikenal dengan abstrakisme yang memperlihatkan perkembangan yang esoteris yang sulit dimengerti oleh masyarakat kebanyakan.

"Jadi banyak masyarakat yang tidak mengerti."

"Nah itu sebaliknya, memperhatikan masyarakat dan kemudian lebih memperhatikan kebudayaan," imbuhnya.

Lantaran menjadikan masyarakat dan budaya menjadi subjeknya, budaya visual sudah pasti menonjol di seni kontemporer.

"Perkembangan di dunia perikanan, di dunia industri, penyajian di mal-mal, itu menghadirkan banyak sekali objek-objek yang bagus dan itu tentunya mempengaruhi perkembang seni rupa kontemporer," tutur Jim.

Seiring perkembangan zaman, budaya visual saat ini adalah manifestasi kunci dalam kehidupan sehari-hari dari apa yang disebut sosiolog Manual Castells sebagai , cara hidup sosial yang mengambil bentuknya dari jaringan informasi elektronik.

Bukan hanya jaringan itu yang memberi kita akses ke gambar-gambar tersebut berkaitan dengan kehidupan berjejaring, baik online maupun offline dan cara kita memikirkan dan mengalami hubungan tersebut.

Ini yang kemudian menjadi motivasi utama Rabbit Town dalam mempromosikan "atraksi" wisata swafoto.

Bukan untuk membangkitkan kekaguman atas karya seni kontemporer, namun hanya sekedar menawarkan kesempatan berfoto dengan latar belakang wahana seni tiruan —dan mengunggahnya di sosial media.

`Sharing Langu a ge`

Lebih lanjut, Jim menjelaskan sebelum kelahiran seni kontemporer, orisinalitas karya sangat disanjung oleh para seniman.

"Kemudian orang akan marah kalau misalnya ada seniman melakukan plagiat. Sementara di seni rupa kontemporer agak kabur," tutur dia.

Seiring perkembangan zaman, ada kecenderungan di antara seniman kontemporer untuk ` `.

"Di dalam seni rupa kontemporer memang ada kecenderungan apropiasi, mengangkat karya-karya lama, ke karya-karya baru dan diberi intepretasi baru," jelas dia.

Kendati begitu, ia menegaskan walaupun tidak ada batas secar persis, mengangkat karya orang lain ke dalam sebuah karya mestinya memperlihatkan intepretasi baru, atau memperkuat pesan dari karya.

"Kalau menampilkan sesuatu yang menunjukkan perkembangan, mungkin senimannya akan senang, tapi kalau mengambil secara plek, itu ya secara otomatis jelek," ungkap Jim.

"Kalau sampai 100 persen sama itu , pencontekan," tegasnya kemudian.

Kolaborasi antara seniman dengan pihak lain untuk keperluan komersial juga lumrah terjadi. Seperti kolaborasi antara seniman asal Yogyakarta Eko Nugroho dan Louis Vuitton, merek terkenal yang produk-produknya banyak diminati kalangan atas.

Karya Eko Nugroho "Republik Tropis" bersama karya dua seniman lainnya, Eine dari Inggris dan El Seed dari Tunisia diluncurkan sebagai koleksi scarf Louis Vuitton untuk musimi gugur dan dingin 2013.

"Tapi saya kira itu melalui proses bisnis ya, dibayar senimannya. Jadi bukan hanya seni rupa kontemporer yang mengangkat karya-karya di visual culture, produksi di industri juga mengangkat seni rupa kontemporer. Itu menunjukkan kedekatan seni rupa kontemporer dengan kebudayaan masa sekarang," jelas Jim.

Dia kemudian menyoroti plagiarisme terang-terangan dan kurangnya kreativitas dari Rabbit Town.

"Visual culture itu, di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia, banyak sekali ide yang bisa dicari untuk membuat karya-karya seperti itu. Dan kenapa harus meniru? Itu kelihatan sekali."

"Memang secara umum plagiarisme itu kecenderungan yang miskin sekali ya, kalau dari sisi bentuknya sampai meniru."

Niat tak surut

Namun, tudingan plagiarisme ternyata tak menyurutkan niat pengunjung untuk berswafoto dengan latar belakang karya seni internasional di luar negeri.

Salah satu pengunjung, Zaza menyadari meski banyak berita yang mengatakan bahwa Rabbit Town meniru salah satu karya instalasi di Los Angeles, Amerika Serikat, namun menurutnya wahana di Rabbit Town membuatnya tak perlu jauh-jauh ke Amerika untuk berswafoto.

"Menurut aku plagiat karena sama kan. Tapi dari plagiat juga ada sisi positifnya juga karena kita perlu jauh-jauh ke sana, jadi ada di sini di Bandung, jadi enak," ujar Zaza.

Senada dengan Zaza, Nahda, perempuan asal Sukabumi yang kini mengenyam pendidikan di Bandung, menuturkan dirinya pertama kali mengetahui Rabbit Town dari temannya dan kontroversi plagiarismenya di internet.

"Daripada kita jauh-jauh ke luar. Selagi di sini, ya udah di sini aja," ujarnya

"Sebenarnya kalau plagiarsime boleh sih, tapi kan di sini kita buat wisata, sepenuhnya plagiat karena kalau buat wisata itu sendiri untuk kesenangan," ujar Nahda.