Perkawinan Dini Risiko Munculkan KDRT
- Pixabay
VIVA – Perkawinan anak masih menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi di Indonesia. Angkanya pun masih terbilang tinggi, di mana Sulawesi Barat menempati urutan paling atas dalam perkawinan anak.
Perkawinan anak masih dianggap sebagai pemecahan masalah, padahal sebenarnya perkawinan anak bisa memunculkan masalah baru. Menurut Deputi Menteri Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Lenny Rosalin, banyak faktor yang menjadi penyebab tingginya perkawinan anak, di antaranya adalah kemiskinan dan budaya.
"Di beberapa daerah pemahaman orangtua akan masalah ini masih kurang. Banyak orangtua yang mengawinkan anaknya menganggap masalah selesai," ujarnya saat di temui di kawasan Menteng, Jakarta.
Sebaliknya, masalah baru justru muncul dari perkawinan anak. Menikah di usia muda 14 atau 15 tahun, kemudian mereka akan memiliki anak di usia dini. Anak yang dilahirkan dari anak-anak ini berisiko lahir disabilitas.
"Anak ini akan memunculkan isu keributan dalam rumah tangga dan akhirnya memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)," lanjutnya.
Anak yang dilahirkan dari anak-anak juga berisiko lahir dengan berat badan rendah, stunting, sehingga ini juga bisa memunculkan isu KDRT kemudian berakhir dengan perceraian. Anak-anak ini kemudian akan menjadi janda di usia anak.
Karenanya, KPPPA terus mengupayakan agar ada kesepakatan dalam usia minimal anak khususnya anak perempuan dalam menikah. Meski dalam UU No 1 Tahun 1974 mengatakan usia minimal perkawinan adalah 21, tapi menurut Lenny sebaiknya di atas usia 21 tahun.