Syarat Cuti Ayah Bisa Diberlakukan di Indonesia
- Pixabay
VIVA – Ide untuk menerapkan kebijakan pemberian cuti ayah di Opal Communication, sebuah perusahaan konsultan komunikasi, sebetulnya telah ada sejak tahun 2016. Namun, kebijakan tersebut baru resmi dijalankan pada awal 2017 lalu. Kokok Herdianto Dirgantoro, CEO Opal Communication mengatakan, ada pertimbangan mendasar terkait tarik ulur penerapan kebijakan tersebut. Kokok menegaskan hal itu bukan soal finansial dan produktivitas kerja.
“Problemnya karena kultur laki-laki kuat sekali, dan itu yang membuat kami maju mundur, gimana kita memastikan karyawan kita benar-benar membantu istrinya, benar menemani istrinya, mengurus anaknya, gimana kalau dia malah moral hazard (menjadi masalah) dikasih cuti malah enggak tahu ke mana, atau mungkin ngerepotin dan minta dilayani istrinya,” ungkap Kokok kepada VIVA.
Bukan tanpa alasan Kokok mencetuskan kebijakan itu. Saat melahirkan, sang istri sempat mengalami baby blues syndrome atau perasaan emosional perempuan usai melahirkan. Beruntung, meski tidak memiliki cuti ayah, perusahaan tempat Kokok dulu pernah bekerja memberikan keleluasaan. Hal ini membuatnya bisa terlibat dalam pengasuhan anak. Baca Juga: Bukan Cuma Laki-laki yang Diungtungkan dengan Cuti Ayah
“Bayangkan kalau perempuan Indonesia baru melahirkan, anaknya baru sekitar dua minggu, suaminya malah nonton bola di mana, dan istrinya recovery sendirian fisik belum sempurna, mentalnya belum sempurna, makanya di titik-titik paling krusial itu suaminya harus ada,” kata Kokok kepada VIVA baru-baru ini.
Setelah melewati sekian kali pembahasan, barulah diputuskan bahwa karyawan laki-laki bisa mendapatkan cuti ayah ketika sang istri melahirkan atau mengadopsi anak, dengan syarat. “Kita (direksi) punya hak untuk datang ke rumahnya kapan pun kita mau, bisa pagi sore, malam enggak mungkin. Dan istrinya boleh hubungi kami, direksi; (istri) pilih satu (orang) untuk kirim pesan rahasia kalau suami tidak kooperatif, dan mungkin tidak segan juga untuk (kita) kasih surat peringatan,” tegas Kokok.
Argumentasi pemimpin perusahaan yang juga ayah berusia 41 tahun ini, juga diperkuat dengan penelitian berjudul ‘What Are Men Doing while Women Perform Extra Unpaid Labor? (Apa yang dikerjakan pria ketika perempuan melakukan kerja tambahan tanpa bayaran) oleh Claire Kamp Dush dari The Ohio State University.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Sex Roles menemukan bahwa tiga bulan setelah kelahiran anak pertama mereka, laki-laki cenderung bersantai pada hari libur, sementara perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak. Sebaliknya, ketika pria merawat anak-anak atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, perempuan juga masih melakukan hal yang sama.
Statistik dalam penelitian itu juga menunjukkan bahwa perempuan hanya menghabiskan waktu 46 sampai 49 menit bersantai pada hari libur, sementara pria menghabiskan waktu luang hingga dua kali lipat, atau sekitar 101 menit.
“Hal ini tentu membuat frustrasi. Tugas rumah tangga, termasuk juga tugas mengurus anak masih belum dibagi rata antara ibu dan ayah. Bahkan pada pasangan responden yang kami harapkan memiliki pandangan yang lebih egaliter perihal bagaimana membagi tugas-tugas sebagai orang tua,” kata Dush.
Sebab itu, Jackie Viemilawati, psikolog klinis dari Yayasan Pulih, mengatakan bahwa pemberian cuti ayah saja tidak cukup. Laki-laki juga mesti memiliki pemahaman yang cukup tentang pembagian peran yang lebih setara antara perempuan dan laki-laki.
Tantangan selanjutnya menurut Jackie, juga mendobrak pemahaman masyarakat yang menganggap bahwa mengurus anak dan rumah tangga adalah tanggung jawab dan kewajiban perempuan.
Senada dengan Jackie, Eko Bambang Subiantoro, pendiri Aliansi Laki-laki Baru, juga mengatakan bahwa selain memiliki kemampuan, laki-laki juga mesti memiliki pandangan dan pemahaman yang lebih peka tentang pembagian peran di rumah tangga yang harus lebih adil.
Eko menjelaskan, laki-laki juga mesti paham, bahwa tanggung jawab mengasuh anak dan mengurus rumah tangga juga merupakan tugas bersama. Juga membuka ruang-ruang diskusi dalam tiap keputusan. Sehingga keputusan-keputusan di rumah tangga dan urusan strategis juga menjadi pertimbangan suami dan istri.
Contohnya, Adientya Nur Prihantara, seorang ayah muda. Meski mengaku dibesarkan di tengah keluarga yang masih menganut pembagian peran laki-laki dan perempuan secara tradisional, Adien tidak merasa sungkan berbagi peran dengan sang istri. Keduanya berbagi tugas untuk mengurus anak dan rumah tangga.
Laki-laki yang bekerja di bagian sumber daya manusia , PT Unilever Indonesia ini merasa beruntung, karena kantor tempat dirinya bekerja memberikan cuti ayah kepada dirinya selama lima hari. Dengan begitu, Adien bisa berbagi peran dalam hal tumbuh kembang sang buah hati.
Sejak awal memutuskan untuk menikah, Adien juga mengungkapkan bahwa dia sudah paham, bahwa tanggung jawab mengurus anak dan rumah tangga bukan hanya tanggung jawab sang istri, melainkan juga tanggung jawabnya sebagai suami.
“Jadi ya benar-benar saya bagi tugas, kaya mandi pagi saya yang mandiin, kaya saya juga diajarin sama orang tua saya, dan mandi sore gantian. Dan misal pagi saya jemur anak saya jadi benar-benar seru sih dalam hari-harinya,” ungkap Adien kepada VIVA.
Hal yang dilakukan oleh Adien tentu tidak datang secara tiba-tiba. Adien sendiri mengaku selalu berkomunikasi dengan sang istri dalam tiap pengambilan keputusan di dalam rumah tangga.
“Iya kesepakatan berdua karena kita engga pengen anak itu dibesarin sama pembantu sih, jadi enggak pengen cuma fokus mencari uang aja dan anak malah dibesarin sama pembantu kan, akhirnya enggak tumbuh dengan sebaik-baiknya, malah kasihan,” ungkap Adien.
Meski Adien dan pasangan memutuskan agar sang istri lebih banyak waktu di rumah lebih dahulu, dia tidak menutup kesempatan jika sang istri ingin kembali melanjutkan kariernya dan mengembangkan diri. Satu yang menjadi catatan baginya ialah menyiapkan langkah jangka panjang, seperti memiliki day care atau penitipan anak yang tepat untuk sang anak kelak.
Sementara itu, Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif dari Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (Perkumpulan Perusahaan untuk Pemberdayaan Wanita di Indonesia) juga melihat memang ada pergeseran nilai dan peran pada laki-laki dan juga ayah masa kini.
“Kita lihat orang lebih muda lebih sharing (berbagi peran) di rumah antara suami istri, tidak mengharuskan istri jadi ibu rumah tangga. Saat ini (keadaan) berubah, banyak yang bilang bahwa ini hanya ada di barat sana, (tapi) di Indonesia juga berubah kok. Tantangannya bagaimana perusahaan mengakomodasi perubahan yang ada untuk bisa menciptakan perempuan yang berkualitas,” kata dia.
Dini sendiri menyarankan, selain cuti ayah dan cuti bagi ibu yang melahirkan, perusahaan-perusahaan saat ini juga harus bisa menciptakan jam kerja yang fleksibel untuk lebih mendukung perempuan terlibat di dunia kerja. Selain itu, Dini juga menyarankan perlu adanya fasilitas day care yang terjangkau baik dari segi harga dan juga jarak. Menurutnya hal ini juga akan membantu mengurangi ketimpangan gender termasuk jauh lebih sedikitnya perempuan di dunia kerja.