1 dari 4 Remaja Pernah Alami Perundungan di Dunia Maya
- Pixabay/DariuszSankowski
VIVA.co.id – Perundungan atau bullying hingga kini masih menjadi masalah yang tak kunjung berakhir khususnya di kalangan remaja. Bahkan di era digital seperti sekarang, kasus perundungan semakin melebar ke media di dunia maya.
Maka, saat ini mulai sering terdengar istilah perundungan cyber di mana kejadian perundungan dilakukan di media sosial. Sayangnya, tidak seperti perundungan tradisional di mana pelaku bisa terlacak dengan jelas, pelaku perundungan dunia maya cenderung sulit terlacak.
Iqbal Mahesa Febriawan, SPsi dari Komunitas Into The Light mengatakan, umumnya perundungan cyber berupa verbal dan visual. Verbal terjadi dalam bentuk komentar jahat atau status berisi kata-kata ejekan. Sedangkan visual, berupa penyebaran foto atau video yang diedit sedemikian rupa hingga mencoreng nama baik korban.
"Cyber bullying tidak satu media saja. Ketika korban lepas dari media sosial, pelaku akan lari ke aplikasi chat. Di game-game online yang memiliki layanan chat juga bisa terjadi," ujar Iqbal kepada VIVA.co.id.
Sayangnya, kasus perundungan cyber masih belum mendapatkan respons yang baik, dari orangtua dan guru, dibandingkan mereka merespons kasus perundungan tradisional. Padahal, kasus perundungan cyber lebih berbahaya karena korban bisa mendapatkan perlakuan menyakitkan ini di manapun dan kapanpun.
"Tidak ada ruang aman bagi korban cyber bullying, karena bisa dilakukan setiap waktu," kata Iqbal.
Menurut berbagai penelitian, prevalensi atau jumlah korban perundungan dunia maya ini mencapai 5,5-7,2 persen. Dan jumlah rata-rata di dunia adalah 24,4 persen. Artinya, seperempat remaja di dunia pernah mengalami perundungan cyber atau 1 dari 4 remaja pernah menjadi korban perundungan.
Sementara itu, data dari UNICEF Indonesia di tahun 2016, sebanyak 41-50 persen remaja Indonesia dalam rentang usia 13-15 tahun pernah mengalami tindakan perundungan cyber.