Cara Berikan Pemahaman Bahaya Skip Challenge pada Remaja

Ilustrasi anak-anak.
Sumber :
  • pixabay/Kadie

VIVA.co.id – Belakangan ini media sosial tengah dihebohkan dengan berbagai video yang menayangkan permainan skip challenge. Sebuah permainan di mana pemainnya ditekan di bagian dada hingga kehabisan napas kemudian jatuh ke lantai dan mengalami kejang lalu pingsan.

Ini tentu sangat mengkhawatirkan karena bila ditiru anak-anak yang tidak memahami tentang dampak buruknya tentu akan mengancam keselamatan mereka.

Menurut psikolog anak Anita Chandra, M.Psi, orangtua harus menjelaskan kepada anak bagaimana efek dari permainan ini. Bahwa ketika kehilangan kesadaran, ada kemungkinan bahaya yang mengancam.

"Bila dijelaskan tentang oksigen ke otak, mungkin akan membingungkan untuk anak. Tapi, kita bisa jelaskan kalau kita tidak sadar, kita bisa jatuh, ada kejadian di luar kontrol kita yang mungkin dapat membahayakan," ujar Anita kepada VIVA.co.id.

Tentunya, penjelasan ini harus disesuaikan dengan tahapan usia anak.

Selain itu, orangtua juga harus bisa melakukan langkah antisipasi agar anak tidak tergiur untuk mencobanya. Terlebih, gadget dan media sosial sudah menjadi hal yang sangat akrab bagi anak-anak.

Seringkali, kejadian ini terjadi di luar rumah atau di lingkungan di luar pengawasan orangtua. Apalagi biasanya anak akan lebih dahulu mengetahui perkembangan permainan di luar dibandingkan orangtua. Karenanya, orangtua harus bisa menjalin komunikasi yang terbuka dengan anak.

"Itulah perlunya keterbukaan komunikasi, ketika kita tahu, kita infromasikan kepada anak. Ajak mereka mengobrol, tanyakan kepada mereka apakah mereka pernah melakukannya dan jelaskan juga risikonya," jelas Anita.

Di samping itu, perlu juga untuk memberikan pengetahuan pada anak apa yang harus dilakukan ketika melihat teman-temannya melakukan hal tersebut. Seperti halnya bullying, anak harus bisa melaporkan kepada guru atau orangtua, kemudian bagaimana menyelamatkan diri jika temannya memaksa melakukan itu.

Dan yang juga tidak boleh terabaikan adalah bagaimana pengawasan sekolah. Karena, umumnya kejadian atau kasus permainan ini terjadi di lingkungan sekolah. Ada baiknya orangtua menjalin komunikasi terhadap pihak sekolah agar sekolah lebih waspada. Terlebih jika memang sekolah atau guru belum mengetahui tentang informasi permainan tersebut.

KPK Ungkap Barang yang Dikembalikan Menag Nasaruddin Umar ke KPK Diduga Gratifikasi

Dapat kurangi intelegensi otak

Sementara itu, menanggapi hal ini dari sisi medis, Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan dr. Eni Gustina, MPH pun merasa heran kenapa masih ada anak-anak yang berinovasi tak biasa yang bisa membahayakan nyawa.

Sambut Hari Armada RI 2024, Lanal Tegal Gandeng Masyarakat Bersih-bersih Laut

"Otak itu dalam waktu delapan detik saja tidak mendapa oksigen dapat terjadi kerusakan. Bisa dibayangkan bila ditekan dadanya, berapa banyak dia tidak mendapat oksigen. Berapa banyak sel otaknya yang mati, berarti intelegensinya akan berkurang, daya pikirnya akan berkurang," kata Eni saat ditemui di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat 10 Maret 2017.

Hal inilah yang menurut Eni masih belum dipahami anak-anak, sehingga perlu adanya edukasi dan sosialisasi. Kementerian Kesehatan sendiri telah memiliki program untuk menanggulangi kejadian seperti ini yakni melalui program pendekatan keluarga.

Bawaslu Telusuri Klaim Temuan Money Politics yang Dibongkar Kubu RK-Suswono

Seperti diketahui, masih banyak orangtua yang ketika anaknya sudah masuk sekolah merasa tanggung jawab diberikan pada sekolah sepenuhnya. Padahal tetap harus ada komunikasi antara orangtua dengan anak maupun sekolah.

"Kita akan meluncurkan gerakan transformasi UKS supaya sekolah bisa mengundang orangtua sehingga ada komunikasi antara guru dan orangtua. Selain edukasi pada anak, orangtua juga harus tahu. Termasuk komunikasi," ujar Eni.

Faby Marcelia

Faby Marcelia: Skip Challenge Enggak Masuk Akal

"Daripada main Skip Challenge, mending suap-suapan cabe."

img_title
VIVA.co.id
13 Maret 2017