Perkawinan Anak di Indonesia Menurun Tiga Dekade Terakhir
- Pixabay/Servicelinket
VIVA.co.id – Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2016 mencatat angka perkawinan anak di Indonesia telah mengalami penurunan lebih dari dua kali lipat dalam tiga dekade terakhir, tapi masih menjadi salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Rini Handayani, Asisten Deputi Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengatakan, Indonesia menjadi salah satu contoh dari kemajuan global menuju penghapusan praktik perkawinan usia anak dengan penurunan prevalensi lima persen antara Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia yang diterbitkan antara tahun 2007 dan 2012.
Akan tetapi, tren prevalensi perkawinan usia anak di tingkat daerah dan perbandingannya dengan prevalensi nasional, masih sedikit diketahui atau dipublikasikan.
Sekalipun data menunjukkan pengurangan, tidak dipungkiri prevalensi perkawinan usia anak di Indonesia masih tinggi, dengan lebih dari seperenam anak perempuan menikah sebelum mencapai usia dewasa (18 tahun) atau sekitar 340.000 anak perempuan setiap tahunnya.
"Meskipun perkawinan anak perempuan di bawah usia 15 tahun telah menurun, tapi prevalensi anak perempuan usia 16 dan 17 tahun masih mengalami peningkatan terus-menerus," ujar Rini di acara Lokakarya Membangun Mekanisme Pemantauan dan Pelaporan Pelaksaan Konvensi Hak Anak PBB di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa, 7 Februari 2017.
Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak-anak perempuan menurun ketika mereka mencapai usia 16 tahun. Apalagi perkawinan anak di bawah usia 15 tahun banyak yang tersamarkan sebagai perkawinan anak perempuan di atas 16 tahun, atau tidak terdaftar sama sekali.
Sementara itu, Emmy Lucy Smith, Child Protection Specialist Wahana Visi Indonesia, mengatakan pernikahan di usia anak dapat menghadapi akibat buruk terhadap kesehatan. Selain karena melahirkan di usia ini berbahaya, mereka dapat menderita gizi buruk, serta gangguan kesehatan seksual dan reproduksi.
"Pernikahan anak terutama dengan selisih usia yang jauh antara sang anak dengan pasangannya berpotensi memicu kekerasan dalam rumah tangga," ucapnya menegaskan.
Data Badan Pusat Statistik 2016 menunjukkan bahwa anak-anak perempuan yang mengalami pernikahan usia anak mengalami kondisi yang buruk untuk seluruh indikator sosial dan ekonomi, dibandingkan dengan anak perempuan yang menunda usia perkawinan, termasuk tingkat pendidikan yang lebih rendah dan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi.
Dampak buruk ini juga dapat dialami oleh anak-anak mereka dan dapat berlanjut pada generasi yang akan datang.