Kasus Parental Abduction, Ibu-ibu Minta Wapres Gibran Turun Tangan
- Viva/Helsa Alvina
Jaakrta, VIVA – Ibu-ibu yang menjadi korban penculikan anak oleh orang tua kandung (parental abduction) melaporkan kasus mereka kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka.
Laporan tersebut disampaikan melalui kanal Lapor Mas Wapres di Istana Wapres, Jalan Merdeka Selatan, Gambir, Jakarta Pusat, pada Selasa, 11 Februari 2025.
Salah satu ibu yang melapor adalah Angelia Susanto. Ia menceritakan pengalamannya yang terjadi sekitar lima tahun lalu, ketika anaknya, Enrico Johannes Susanto Carluen (EJ), diculik oleh mantan suaminya yang merupakan warga negara asing asal Filipina.
Kasus Parental Abduction, Ibu-Ibu Minta Wapres Gibran Turun Tangan
- Viva/Helsa Alvina
Hingga saat ini, Angelia belum mengetahui keberadaan anak dan mantan suaminya. Meski telah berusaha mencari keadilan melalui jalur hukum, upayanya belum membuahkan hasil. Bahkan, ia sempat mengadukan kasus ini langsung kepada Presiden Joko Widodo, namun tetap tidak menemukan titik terang.
“Saya tidak tahu di mana mereka berada. Data di imigrasi pun tidak ada. Saya curiga mantan suami saya membawa kabur anak kami,” ujar Angelia sambil membawa spanduk yang memuat keluhannya.
Angelia berharap agar Wakil Presiden Gibran segera mengambil tindakan serius terhadap masalah penculikan anak oleh orang tua kandung.
"Harapannya, supaya Mas Wapres menganggap serius masalah parental abduction, terutama ibu-ibu yang dipisahkan secara paksa dari anaknya yang masih di bawah umur," ujarnya.
Menurut Angelia, banyak kasus penculikan anak dipicu oleh kekerasan dalam rumah tangga. Meski hak asuh anak telah diputuskan secara hukum, penculikan masih terjadi secara paksa. Angelia juga menambahkan bahwa anak-anak yang masih di bawah umur seharusnya bersama ibunya tanpa adanya pembatasan akses oleh ayah.
“Anak di bawah umur harusnya bersama ibu, jangan dibatasi aksesnya oleh ayah. Tapi yang terjadi adalah ayah setelah perceraian memaksa menculik anak dan menutup akses ibu. Ini merugikan anak dan ibu,” ungkap Angelia.
Selain itu, Angelia menyebutkan bahwa banyak ibu yang menjadi korban penculikan anak enggan berbicara di publik karena takut akan memperburuk keadaan. Mereka khawatir jika bersuara, akses untuk bertemu dengan anak akan semakin terbatas.
"Sebetulnya, banyak ibu-ibu yang takut muncul ke publik karena diancam akan semakin sulit bertemu dengan anaknya. Terutama bagi ibu-ibu yang masih berada di Indonesia, yang meski bisa menghubungi anak melalui video call atau telepon, namun akses tersebut ditutup jika mereka bersuara," kata Angelia.
Melalui laporan ini, mereka berharap pemerintah dapat memberikan perhatian lebih serius terhadap kasus penculikan anak oleh orang tua kandung agar hak anak dan ibu tetap terlindungi.
