Pemerintah Keluarkan PP Kesehatan Perketat Regulasi Susu Formula, Dilarang Iklan dan Beri Diskon

Meracik susu formula.
Sumber :
  • inmagine.com

Jakarta, VIVA – Pengetatan regulasi terkait susu formula bayi dan produk pengganti air susu ibu (ASI) lainnya telah menuai perdebatan publik. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tepatnya pada Pasal 33.

Aturan Turunan PP Kesehatan Ancam Pekerja Sektor Tembakau, Anggota DPR Soroti Intervensi Asing

Isi aturan Pasal 33 PP Nomor 28 tahun 2024 ini mengindikasikan produsen dan distributor susu formula bayi maupun produk lain pengganti ASI lainnya dilarang melakukan kegiatan yang menghambat pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif.

“Produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian air susu ibu eksklusif,” bunyi ketentuan dalam Pasal 33 tersebut. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.

Soal Larangan Menjual di Medsos, Ini Sikap Pelaku Usaha Rokok Elektrik Tanggapi Rancangan PP Menkes

Ilustrasi susu.

Photo :
  • Freepik

Kegiatan yang dapat menghambat pemberian ASI eksklusif sesuai isi Pasal 33 PP Kesehatan, sebagai berikut seperti dikutip dari situs resmi Kementerian Kesehatan:

Pedangang Pasar hingga Toko Kelontong Tolak PP Kesehatan, Berharap Pemerintahan Prabowo Tinjau Ulang

1. Pemberian contoh produk susu formula bayi dan atau produk pengganti air susu ibu lainnya secara cuma-cuma, penawaran kerja sarna, atau bentuk apapun kepada fasilitas pelayanan kesehatan, upaya kesehatan bersumber daya masyarakat, tenaga medis, tenaga kesehatan, kader Kesehatan, ibu hamil, atau ibu yang baru melahirkan;

2. Penawaran atau penjualan langsung susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya ke rumah;

3. Pemberian potongan harga atau tambahan atau sesuatu dalam bentuk apapun atas pembelian susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya sebagai daya tarik dari penjual;

4. Penggunaan tenaga medis, tenaga kesehatan, kader kesehatan, tokoh masyarakat, dan pemengaruh media sosial untuk memberikan informasi mengenai susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya kepada masyarakat;

5. Pengiklanan susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya dan susu formula lanjutan yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik, media luar ruang, dan media sosial;

6. Promosi secara tidak langsung atau promosi silang produk pangan dengan susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya.

Ilustrasi susu.

Photo :
  • Pixabay/manolofranco

Picu pro dan kontra di masyarakat 

Di satu sisi, peraturan tersebut diharapkan dapat mendukung program ASI eksklusif. Sebab, keberadaaan susu formula selama ini kerap dituding sebagai penyebab gagalnya ASI ekslusif. Namun, di sisi lain, peraturan ini justru memicu kekhawatiran publik, terutama para ibu.

Tidak sedikit dari ibu yang menggunakan susu formula lantaran mengalami masalah produksi ASI merasa berat dengan kenaikan harga susu. Kenaikan harga ini tentu akan berdampak pada biaya pengeluaran rumah tangga. 

Di sosial media, PP No 28 ini juga memicu perdebatan publik. Sebagian besar netizen yang mendukung beralasan bahwa kesulitan dalam meng-ASI-hi dapat diatasi dengan usaha yang dilakukan oleh ibu dan juga konsultasi dengan konsultan laktasi. 

Namun, tidak semua orang sependapat dengan pandangan ini. Beberapa netizen berargumen bahwa tekanan untuk mengutamakan ASI terkadang tidak mempertimbangkan kondisi kesehatan atau situasi personal ibu.

Sebab setiap ibu memiliki kemampuan dan keadaan yang berbeda-beda dalam menyusui.

Ilustrasi susu

Photo :
  • Pixabay/Couleur

Perdebatan ini menunjukkan bahwa kebijakan terkait ASI dan susu formula memang memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kondisi kesehatan ibu dan kebutuhan bayi yang berbeda-beda.

Mengenai susu pertumbuhan untuk anak, Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengakui masih banyak kesalah pemahaman terjadi di masyarakat.

Ia menyebut, konsumsi susu untuk masa pertumbuhan anak perlu di dorong, namun sebelumnya, masyarakat harus paham susu apa yang boleh dan tidak boleh untuk anak. Kental manis misalnya. 

Susu yang seharusnya hanya digunakan sebagai bahan tambahan dalam makanan ini hingga saat ini masih banyak digunakan sebagai minuman susu untuk anak.

Ilustrasi susu/anak.

Photo :
  • Freepik

Penyebabnya adalah kesalahan turun-temurun yang diwariskan dari generasi terdahulu kepada saat ini tanpa adanya koreksi.

“Nenek saya, ibu saya, tetangga saya, tante saya begitu semua. Nah ini yang kemudian jadi rujukan bahwa itu adalah hal yang baik-baik saja,” kata Devie saat dikonfirmasi awak media baru-baru ini.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat adalah melalui edukasi gizi dan mendorong pemberian ASI ekslusif.

Meski demikian, ada ibu-ibu yang karena faktor tertentu tidak dapat memberikan ASI untuk anak, sehingga susu formula yang sesuai dengan usia anak adalah langkah yang dapat ditempuh.

“Kalau memang kondisi fisiknya atau fisiologisnya memang tidak mampu maka baru diperkenankan memberi susu formula,” kata Devie.

Ilustrasi pekerja pabrik rokok.

Dilema Peraturan Kesehatan, Antara Kesehatan Masyarakat dan Nasib Pekerja Tembakau

PP 28/2024 (PP Kesehatan) ancam industri tembakau DIY. Serikat pekerja dan pemerintah khawatirkan dampak luas pada ekonomi daerah.

img_title
VIVA.co.id
8 Oktober 2024