Mom Shaming Merajalela! Psikolog dan Konselor Parenting di Puskesmas Jadi Solusi?
- Pixabay
JAKARTA – Perilaku mom-shaming menjadi salah satu hal yang membuat para ibu di Indonesia mengalami gangguan mental. Terutama bagi orang-orang yang baru pertama kali memiliki anak dan baru punya satu anak, gaya pengasuhan atau parentingnya bakal menjadi hal yang tak luput dari perhatian orang di sekitarnya terutama keluarga.
Mom-shaming merupakan keadaan yang mengacu pada perilaku mengkritik, menghakimi, atau mempermalukan seorang ibu dalam pengambilan keputusan, kemampuan, dan hal lainnya yang dilakukan dalam mengasuh anak (parenting). Studi terbaru dari Health Collaborative Center (HCC) mengungkap tingginya angka mom shaming di Indonesia, menyoroti perlunya kesadaran dan tindakan untuk mengatasi masalah ini di masyarakat.
"Hasil studi menunjukkan, 7 dari 10 ibu di Indonesia yang diwakili responden penelitian ini pernah mengalami bentuk mom shaming, yang berdampak signifikan terhadap kesehatan mental dan emosional mereka. Karena aktor pelaku mom shaming berdasarkan hasil survei ini, menurut ibu responden, justru diterima dari lingkungan inti mereka, yaitu keluarga, kerabat, dan lingkungan tempat tinggal. Ini tentunya temuan yang perlu dikaji lebih sistematis, karena keluarga harusnya menjadi core support system yang melindungi ibu dari perlakuan mom shaming," kata Peneliti Utama dan Ketua HCC, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, dalam media briefing di Jakarta, Senin 1 Juli 2024.
Mayoritas ibu yang mengalami mom-shaming juga cenderung terpengaruh sehingga secara deskripsi, lebih dari 50 persen terpaksa mengganti pola asuh dan parenting untuk mengikuti kritik dari pelaku mom shaming. Bahkan hanya 23 persen ibu responden yang mengaku berani melawan dan menghindar dari perlakuan mom shaming.
Menurut Ray, kondisi ini disebabkan kurang optimalnya peran support system yaitu keluarga yang harusnya melindungi mereka. Akibatnya selain tidak bisa melawan dan menghindar, malah ibu yang mengalami mom-shaming tersebut takluk dengan kritik tidak membangun ini dan mengorbankan pola asuh atau gaya parenting yang bisa saja sudah baik.
Untuk mengatasi hal ini, Ray merekomendasikan adanya bantuan dari pihak ketiga yang merupakan psikolog atau konselor yang ahli dalam bidangnya. HCC juga mengingatkan pemerintah untuk meningkatkan cakupan tenaga konselor parenting bahkan psikolog di Puskesmas lebih merata. Bila memungkinkan di tingkatkan peran kader posyandu dan Tim Pendamping Keluarga untuk memiliki kompetensi konselor pengasuhan.
"Para ibu harus tahu mana batasannya, boleh mendengar tapi kalau dirasa sudah tidak enak maka pasang batasan dan kembali ke keluarga. Kalau keluarga tidak mendukung, maka harus ke profesional. Sayangnya, tenaga profesional ini aksesnya masih sangat kurang sehingga tidak bisa membantu secara optimal," paparnya.