Pernah Dialami Ria Ricis, Kenapa Korban Mom-Shaming Tidak Berani Melawan?

Ria Ricis
Sumber :
  • IG @riaricis1795

JAKARTA – Istilah mom-shaming beberapa waktu belakangan ini sedang populer hingga familiar di telinga masyarakat Indonesia. Ini merupakan keadaan yang mengacu pada perilaku mengkritik, menghakimi, atau mempermalukan seorang ibu dalam pengambilan keputusan, kemampuan, dan hal lainnya yang dilakukan dalam mengasuh anak (parenting).

Kronologi Suami Aniaya Istri Hamil hingga Tewas di Pulogadung

Contohnya, sebut saja YouTuber Ria Ricis yang kerap dikritik karena pola asuhnya terhadap sang putri, Moana. Di usia yang masih belum genap 2 tahun, Moana sudah pernah diajak melakukan olahraga ekstrem seperti menaiki jetski tanpa pengamanan yang mumpuni. Moana juga sering jatuh saat berjalan, tersandung, hingga tersungkur di rerumputan yang justru dibiarkan saja oleh ibunya karena tahu sang anak merasa baik-baik saja. Alhasil, Ria Ricis dihujat habis-habisan oleh para netizen. Scroll untuk info lengkapnya, yuk!

Berdasarkan hasil penelitian dar Health Collaborative Center yang dilakukan pada 892 responden ibu di seluruh Indonesia, faktanya sebanyak 72 persen atau 7 dari 10 ibu di negara ini pernah mengalami mom-shaming, mulai dari tindakan yang jarang hingga hampir didapatkannya setiap hari.

Suami yang Aniaya Istri hingga Tewas di Jaktim Ternyata Pegawai PT KAI

Ilustrasi ibu dan anak/parenting/anak bermain.

Photo :
  • Freepik/gpointstudio

Sebanyak 60 persen dari jumlah tersebut justru tidak berani melawan mom-shaming yang diterimanya dan secara aktif mengubah gaya parenting mereka sesuai dengan kritikan yang diterima. Faktor utama yang mendasari adalah karena kurangnya dukungan dari orang terdekat. Sebab, pelaku mom-shaming paling utama justru berasal dari keluarga.

Suami yang Aniaya Istri Hamil hingga Tewas di Pulogadung Ditangkap

"Tidak berani melawan karena tidak ada dukungan dari core system, melawan mom-shaming yang dilakukan suami, orangtua, dan keluarga sekitar. Itu berat banget karena itu dampaknya bukan hanya di parenting tetapi di keharmonisan rumah tangga dan keluarga. Itu yang terbesar," ungkap Peneliti Utama dan Ketua HCC, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, dalam media briefing di Jakarta, Senin 1 Juli 2024.

Selain karena harus melawan kritikan dari orang terdekat, para ibu yang mengalami mom-shaming juga kekurangan akses untuk konsultasi dengan para ahli. Keterbatasan tenaga psikolog menjadi salah satu penyebab mengapa ibu-ibu di Indonesia memilih untuk mengikuti aturan di dalam rumahnya yang mengubah gaya parentingnya sendiri.

"Kurangnya akses konselor atau psikolog. Harusnya bantuan pihak ketiga ini dampaknya luar biasa besar tapi aksesnya terbatas sekali. Terutama psikolog dan konselor parenting. Jadi, dua faktor ini yang jadi penentu kenapa ibu-ibu tidak berani melawan dan tidak bisa mencari bantuan," paparnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya