Marak Orangtua Lakukan Kekerasan ke Anak, Psikolog Beberkan Penyebabnya

Ilustrasi kekerasan seksual.
Sumber :
  • Pexels

VIVA Parenting – Beberapa waktu belakangan ini publik dikejutkan dengan tindakan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua. Sebut saja kasus kasus kekerasan seksual yang dilakukan ibu berusia 22 tahun berinisial R di Tangerang. 

Momen Unik! Ayah ini Syok Ketika Mobil Koleksi Kesayangannya Dijadikan Mainan oleh Anaknya

Wanita tersebut melakukan pencabulan terhadap anak kandungnya sendiri sambil direkam. Tidak hanya itu, publik juga kembali dibuat terkejut dengan kabar seorang ibu berusia 53 tahun inisial MN di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tega menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri berinisial EJ (29). Scroll untuk info lengkapnya, yuk!

Wanita paruh baya tersebut melakukan aksi nekatnya diduga akibat korban seorang pengangguran dan kerap mencuri uang milik pelaku. Lantas, jika melihat dari sisi psikologis apa yang menyebabkan orangtua tega melakukan hal tersebut kepada anaknya? 

Sumbangsih Finansial dan Program Pro Rakyat Kukuhkan BRI Sebagai BUMN Terbesar

Ilustrasi kekerasan

Photo :
  • pixabay

Psikolog klinis, Meity Arianty mengungkap ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Namun, menurut Meity, dari beberapa penelitian dan kasus yang didapatkan dalam ruang praktiknya, hal tersebut biasanya terjadi karena adanya faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan sosial dan faktor psikologis. 

Bamsoet Dorong Kadin Jadi Kekuatan Ekonomi yang Sejajar dengan Politik, Begini Caranya

“Hasil penelitian menyebutkan mereka yang mengalami stres, depresi, putus asa menghadapi tekanan hidup, membuat seseorang pada akhirnya melakukan tindakan kekerasan baik ke diri sendiri maupun ke orang lain,” kata dia saat dihubungi VIVA, Senin, 3 Juni 2024.

Lebih lanjut diungkap Meity, dari beberapa faktor di atas yang paling sering terjadi adalah akibat faktor ekonomi yang sulit. Diakui atau tidak, faktanya kemiskinan semakin tinggi di masyarakat, sehingga ada orangtua yang tega menjual anaknya atau memaksa anak menjadi pekerja seks komersial (PSK) atau bahkan membunuh anaknya, sebab tidak tega melihat anaknya kelaparan. 

“Jika melihat kasus kekerasan dan pembunuhan semakin meningkat, apakah pemerintah memperhatikan hal tersebut? Rasanya tidak, malah membuat kebijakan yang menyekik rakyat. Sebentar lagi semua akan naik, bukan hanya pajak, tapi BPJS, kemudian kebijakan baru Tapera akan dijalankan lagi. Jadi, bukan hanya orangtua yang tega kepada anaknya, tapi pemerintah juga tega kepada warganya,” jelasnya.

Diungkap Meity, orangtua yang mengalami stres karena ekonomi dan pada akhirnya juga putus asah, tidak pernah berpikir bahwa kekerasan yang mereka lakukan ke anak membawa dampak yang besar bagi perkembangan anak, baik itu psikologis, fisik juga mentalnya. 

“Jika anak dididik dengan kekerasan, maka kemungkinan besar kelak ia akan mendidik anaknya juga dengan kekerasan pula, seperti lingkaran setan,” sambungnya. 

Dampak lainnya dari kekerasan fisik pada anak, kata Meity, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif. Dan setelah menjadi orangtua, ia akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. 

“Orang tua yang agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif,” ungkapnya.

Meity menjelaskan, beberapa penelitian menyebutkan hampir semua jenis gangguan mental yang terjadi pada anak ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima oleh manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama, akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan kematian. 

“Di samping itu anak yang sering dimarahi oleh orangtuanya, dan adanya tindakan penyiksaan, akan mengalami gangguan makan seperti bulimia nervosa, penyimpangan pola makan, anorexia, ada yang kecanduan alkohol dan obat-obatan, self harm dan memiliki dorongan yang lebih besar untuk bunuh diri,” jelasnya.

Meity pun mengingatkan, jika pemerintah tidak melihat masalah yang terjadi di masyarakat ini secara serius maka cepat atau lambat, pemerintah juga yang akan merasakan akibatnya.

“Jika pemerintah masih punya hati, pemerintah harusnya melihat bahwa masyarakat kita sudah darurat mengenai kesehatan mental,” pungkas sang psikolog.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya