85 Persen Ibu Pilih Beri Susu Formula Ketimbang ASI, Ahli Ungkap Dampaknya

Meracik susu formula.
Sumber :
  • inmagine.com

JAKARTA – Sebuah survei yang dilakukan terhadap 1.301 respon di Jabodetabek oleh Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) ditemukan bahwa 39 persen ibu gagal dalam memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif untuk anak.

Mengupas Kisah Vega Karina, Dari Media, Akademik, hingga Momfluencer

Sementara 27 persen ASI eksklusif terhenti sejak bayi berusia 1 bulan dan 44 persen terhenti di usia 5 bulan. Sisanya sebanyak 28,5 persen ASI eksklusif terhenti pada rentang usia 2 hingga 4 bulan. Scroll untuk info lengkapnya, yuk!

Dari penelitian itu juga diketahui 85,7 persen ibu yang terkendala ASI memberikan susu formula untuk bayi mereka. Padahal, pemberian susu formula sendiri bisa diberikan kepada bayi ketika adanya indikasi medis pada ibu. 

Hampir Satu Tahun Ditinggal Dante, Tamara Tyasmara Belajar Ikhlas

Ilustrasi menyusui.

Photo :
  • Pixabay/Ben_Kerckx

“Pemberian susu formula ketika ada indikasi medis sakit kronis, atau misalnya kecelakaan, ibunya terpisah jauh karena hal tertentu, HIV/AIDS,” kata Guru besar Ilmu Gizi Universtas Muhammadiyah Jakarta, Prof. Dr. Tria Astika Endah Permatasari saat ditemui dalam acara press conference Hasil Survey Pemberian ASI Kendala dan Fakta Pemenuhan ASI Eksklusfi di Jakarta Pusat, Selasa 19 Maret 2024.

Mendikdasmen Abdul Mu'ti Luncurkan Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat

Di sisi lain, pemberian susu formula yang memang bukan karena adanya indikasi medis sendiri, ternyata bisa memberikan dampak obesitas pada anak di kemudian hari. 

“ASI sendiri tidak bisa dikomparasi dengan yang lainnya, tidak ada jenis susu apapun yang dapat menggantikan ASI meski (susu formula) itu diformulasi ASI. Seperti kolostrum yang tidak terkandung di dalam susu formula,” kata dia.

Tria menjelaskan kandungan kolostrum dalam ASI yang tidak dapat ditemukan di semua jenis susu formula ini memiliki banyak manfaat bagi anak. Salah satunya adalah untuk meningkatkan daya tahan tubuh bayi, hingga membantu dalam perkembangan otak bayi.

“Di susu formula tidak ditemukan itu dan itu tidak bisa digantikan dengan kolostrum sapi kan beda. Selain itu, ASI juga sesuai dengan kebutuhan bayi, di dalam susu formula ketika konsumen tidak tau bahwa ada spesifikasi susu khusus untuk bayi sakit dan sebagainya, bisa jadi mengeneralisir kandungannya,” jelasnya.

“Di situ memang kandungannya tinggi, tapi bisa jadi tidak sesuai dengan kebutuhan bayi. Sehingga bayi dipaksa untuk memetabolisme lebih banyak dari yang dibutuhkan,” sambungnya.

Tak hanya itu saja, dari survei di atas yang juga menjadi sorotan adalah sebanyak 7 persen ibu yang ASI eksklusifnya terhenti, memberikan kental manis sebagai pengganti. Padahal pemberian kental manis untuk anak di bawah satu tahun bisa berdampak pada penyakit degeneratif di kemudian hari.

“Kental manis itu tinggi gula, kalau anak kena gula itu akan membuat mereka sulit untuk makan. Dikhawatirkan jika diberikan sebanyak 3 kali dalam sehari itu jangka panjangnya penyakit degeneratif di depan mata, risiko diabetes pada anak yang sifatnya bukan karena keturunan. Risiko tinggi karena sugary food atau sugary drink akan berdampak pada pertumbuhan mereka juga,” sambungnya.

Di sisi lain, sebanyak 4,4 persen ibu memilih memberikan susu UHT sebagai pengganti ASI pada anak di bawah usia 1 tahun. Padahal kata spesialis anak, dr Agnes Tri Harjaingrum Sp. A, susu UHT juga terdapat penambahan gula hingga pewarna yang sangat tidak direkomendasikan untuk bayi 0-6 bulan. 

“Gizi yang terkandung dalam UHT sangat tidak sesuai. Dalam UHT juga ada penambahan rasa dan gula, dan ini sangat tidak direkomendasikan untuk bayi 0-6 bulan, di mana organ pencernaan masih tumbuh dan berkembang. Sementara untuk susu murni, ada risiko tercemar bakteri atau tidak higienis,” ungkapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya