Aisah Dahlan Ungkap Fakta, Mengapa Anak Broken Home Suka Terlibat Masalah di Pergaulannya

Ilustrasi bullying.
Sumber :
  • Freepik

JAKARTA  – Perceraian orang tua ternyata bisa berdampak pada masalah kondisi psikologis anak-anak. Tidak sedikit dari anak-anak korban perceraian orangtua mengalami masalah saat berhubungan sosial dengan sekitar mereka. 

Sowan Perdana, Menag Nasaruddin Minta Nasihat dan Restu ke MUI

Atau bahkan mereka yang korban perceraian orangtua yang duduk di bangku sekolah mengalami masalah akademik. Bahkan mereka yang memiliki background keluarga utuh memiliki masa trauma hingga di masa dewasa mereka. Lantas apa yang perlu dilakukan oleh anak broken home tersebut agar di kemudian hari tidak terjadi hal demikian? 

Terkait hal itu, diungkap praktisi neuroparenting bahwa anak yang broken home yang memiliki masalah sosial seperti suka bertengkar dengan teman sebayanya itu lantaran memiliki kemarahan yang dipendam. 

Unggah Foto Bareng Anak, Baim Wong Dituding Pencitraan

"Ada anak broken home, marah secara sosial berantemlah, ada masalah di sekolah, orang tua dipanggil. Itu baru berarti ada kemarahan pada dia, ada istilah luka pengasuhan masa kecil, sebab masalahnya macam-macam," kata dia dikutip dari tayangan YouTube Denny Sumargo. 

Tanpa Ayah Setelah Perceraian: Bagaimana Dampaknya Bagi Anak? Simak Penjelasan Psikolog

Maka dari itu, kata dr. Aisah Dahlan orang tua memiliki peran penting untuk memerhatikan anak-anak mereka. Jangan sampai emosi atau rasa kemarahan pada anak mereka bertumpuk hingga menyebabkan perilaku penyimpangan.

"Kadang-kadang keluarga broken single parent, peran orang tua double, kerja, tidak ada waktu untuk mengamati dan sebagainya itu jadi bertumpuk-tumpuk. Beberapa penyimpangan anak-anak salah satu alasannya adalah karena marah sama orang tua," ujarnya.

Lantas apa yang perlu dilakukan anak broken home untuk membantu dirinya? dr. Aisah menjelaskan anak tersebut harus mencari satu orang yang dianggapnya memiliki otoritas yang bisa diajaknya untuk mengobrol dan membimbingnya.

"Ada anak yang tidak mau ke tenaga ahli, tapi dia punya paman misalnya, bibi atau tante atau ibu temannya itu boleh karena dianggap figur otoritas bisa diajak ngobrol untuk bimbing dia. Dia cari figur otoritas yang anggap aman dan nyaman," kata dia.

Terkait dengan figur otoritas yang tepat tersebut, beberapa yang bisa dilihat saat mereka berbicara satu sama lain. 

"Acuannya pas di ajak ngomong asik aja, gak langsung nasehatin dia. orang curhat gak mau langsung dapat nasehat. jadi orang dengerin otomatis emosi dia naik menjadi emosi positif," ujarnya.

Diungkap dr. Aisah Dahlan, dengan anak tersebut bercerita kepada figur otoritas maka secara perlahan akan membantu proses pemulihan kemarahan yang dirasakan anak broken home tersebut, akibat kondisi dan situasinya. 

"Sebetulnya pemulihan dengan dia cerita, sharing, dia cerita aja," ujar dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya