Perempuan, Kunci Kesehatan Jiwa Keluarga
- Pixabay/ myphotojourneys
JAKARTA – Keterikatan rasa antaranggota keluarga perlu ditingkatkan untuk menjaga kesehatan mental. Selain itu pola asuh atau parenting juga harus dikembangkan terus-menerus. Tidak ada pola asuh standar atau baku, satu pola asuh untuk semua keluarga.
Diungkap Prof. Tjhin Wiguna, tidak ada jalan lain untuk menjaga kesehatan jiwa, selain secara terus-menerus melakukan edukasi. Memelihara kesehatan mental tidak sama dengan menangani orang sakit fisik yang bisa dibawa ke rumah sakit, diobati, kemudian sembuh. Komunikasi digital bisa tetap menjaga keterhubungan tetapi komunikasi di era digital meninggalkan emosi atau perasaan.
“Kita harus memperbanyak pertemuan tatap muka. Lewat zoom bisa tetap bertemu tetapi tidak ada emosional,” ujarnya.
Dalam hal pola asuh atau parenting, Tjhin mengungkapkan, tidak ada rumus atau pedoman khusus untuk parenting karena sangat dipengaruhi kultur, kepribadian, latar belakang pendidikan, dan nilai yang dianut.
“Edukasi dan psikoedukasi pada masyarakat harus dilakukan secara luas dan menyeluruh,” ujar Tjhin Wiguna.
Sementara itu, Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Moeloek, yang juga mantan menteri kesehatan tahun 2014-2019 ini mengatakan perlunya mengedukasi orang tua terkait parenting atau pola asuh. Revolusi teknologi komunikasi membuat perbedaan pola asuh dalam mendidik anak-anak.
“Kadang-kadang kita harus mengalah supaya dapat mendekati anak-anak, supaya tetap bisa berkomunikasi,” ujarnya.
Ia menambahkan, teknologi informasi bisa dimanfaatkan, begitu juga saat-saat santai bersama dengan keluarga bisa dimanfaatkan untuk bicara dari hati ke hati. Media sosial tetap harus dimanfaatkan tetapi terukur.
Nila Moeloek dalam diskusi Perempuan dan Kesehatan Jiwa yang diselenggarakan Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa itu juga mengungkapkan tugas perempuan sangat berat. Oleh karena itu perempuan sudah seharusnya berpengetahuan, paling tidak harus memiliki logika untuk menghadapi berbagai persoalan.
Ia menyayangkan masih banyak kaum perempuan yang lebih memilih bekerja mencari uang dan meninggalkan bangku pendidikan. Nila Moeloek berharap kalau pun meninggalkan sekolah, kaum perempuan harus tetap meningkatkan pengetahuan dengan cara mengikuti pendidikan vokasi atau dengan cara lain seperti membaca buku.
“Perempuan harus memiliki pengetahuan dan bisa mengembangkan logika berpikir,” ujar Nila Moeloek.
Nila Moeloek mengingatkan, pendidikan pada anak dimulai sejak masa kehamilan, juga saat memberikan air susu ibu. Saat menyusui, seorang ibu harus mengelus kepala anaknya, memberikan kasih sayangnya, jangan sampai anak mengalami kekerasan baik pada masa 1000 hari pertama kehidupan (HPK) hingga menginjak remaja. Masa itu sangat penting bagi anak-anak.
“Pendidikan yang disertai dengan kekerasan akan membekas pada diri anak-anak yang akan mempengaruhi kesehatan mentalnya di kemudian hari,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu Nila Moeloek juga mengingatkan syair lagu kebangsaan Indonesia yang menyebut “Bangunlah jiwanya, bangunlah badanya…” Syair itu bisa diartikan sebagai ajakan agar jiwa dan raga bangun dan bangkit untuk Indonesia Raya tetapi juga berarti pembangunan sumber daya manusia bukan hanya badan secara fisik tetapi juga jiwa.
Berkenaan dengan peran perempuan dalam memelihara kesehaan jiwa, Tjhin Wiguna mengatakan, tanpa perempuan, tanpa seorang ibu tidak akan ada orang-orang hebat. Ia menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh. Karir yang ia tempuh tidak akan berhasil bila tidak ada ibu yang melahirkan, merawat, dan mendidik dirinya