Banyak Anak Pejabat Terlibat Kasus Kekerasan, Psikolog Ungkap Alasannya
- www.pixabay.com/bykst
AMBON – Aksi penganiayaan yang dilakukan oleh anak pejabat kembali terjadi. Kali ini seorang anak ketua DPRD Kota Ambon diduga melakukan penganiayaan terhadap seorang remaja yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
Korban diketahui sempat dibawa ke rumah sakit namun sayangnya korban dinyatakan meninggal dunia setelah pelaku disebut memukul korban dari bagian kepala. Lantas mengapa semakin banyak usia anak dan remaja yang melakukan kekerasan? Dan mengapa dalam beberapa kasus kekerasan tersebut pelakunya adalah anak dari orangtua yang memiliki jabatan prestise di sebuah institusi negara? Yuk, scroll untuk mengetahui jawabannya.
Terkait hal itu, Psikolog Klinis Meity Arianty angkat bicara. Dijelaskannya bahwa usia remaja memang rentan terhadap perilaku negatif, termasuk kekerasan seperti itu. Masalah hormonal juga memengaruhi cara remaja itu berpikir, karena perkembangan kognitif terkait moral belum sempurna.
Sehingga kata Meity, remaja kurang memikirkan konsekuensi perilaku negatif mereka terutama masalah hukum. Karakter remaja yang belum 'matang', belum dapat mengambil keputusan yang membuat mereka seringkali bimbang atau labil, masih belum mandiri, masih fokus ke dirinya sendiri atau egois.
Sementara itu, terkait dengan kasus yang terjadi di Ambon di mana pelaku kekerasan tersebut sudah berusia 25 tahun, Meity melihat pria tersebut seharusnya tahu konsekuensi dari perilakunya terutama terkait hukum. Namun apa yang dilakukan anak ketua DPRD kota Ambon itu terhadap remaja yang berusia 15 tahun adalah perbuatan yang sadis.
"Dengan perilaku seperti saat ini kira-kira, perbuatan apa lagi yang mampu dilakukan 10 tahun mendatang?" kata dia saat dihubungi VIVA.
Diungkap Meity, pola asuh orangtua kepada anak juga menjadi faktor risiko tertinggi perilaku kekerasan yang dilakukan anak.
"Perilaku yang membahayakan orang lain tidak terlepas dari andil orangtua, tanpa bermaksud menyalahkan orangtua. Sebab, mana ada orangtua yang menginginkan anaknya menjadi penjahat atau menyakiti orang lain. Namun harus diakui bahwa anak tetap masih menjadi tanggung jawab orangtua selama belum menikah," jelas dia.
Orangtua, kata Meity seharusnya menjadi teladan perilaku bagi anak-anaknya dalam menerapkan nilai-nilai kesantunan, moral, keagamaan dan lain-lain. Dalam hubungan antara orangtua dan anak juga harus terjalin komunikasi yang terbuka satu sama lain.
"Sehingga jika anak sanggup melakukan perbuatan sadis seperti itu, bagaimana pengasuhan orangtuanya? Biasanya orangtua seperti itu adalah orangtua yang kurang memberikan tanggung jawab pada anak. Terlalu memanjakan, mengikuti semua keinginan anak, kurang kontrol, orangtua yang kurang memberikan batasan-batasan serta nilai yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan," ujarnya.
Diungkap Meity perilaku sadis yang dilakukan pelaku yang memperlihatkan kesombongan, arogansi dan sadisme salah satunya timbul karena memiliki relasi dengan orang yang mempunyai kekuasaan atau jabatan, seperti orangtua pejabat.
Sifat arogan yang disertai dengan kekuasaan akan berbahaya dan dapat merugikan orang lain apabila tidak dapat mengontrol diri dan emosinya.
"Dengan demikian, mudah untuk melakukan tindakan-tindakan agresif. Anak pejabat yang melakukan tindakan agresif biasanya karena memiliki kontrol diri yang rendah, tidak kompeten dan biasanya justru kurang percaya diri tapi memproyeksikan sebaliknya," ujar dia.
Namun, sifat arogan ini kata Meity dapat dihindari dengan lebih mengendalikan diri dan mengontrol emosi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Penanganan secara medis juga dapat dilakukan apabila merasa dibutuhkan, seperti psikoterapi, konseling, ataupun obat dari dokter.
"Di samping itu, diharapkan kesadaran kepada para orangtua untuk memberikan contoh nilai-nilai kehidupan yang baik, memberikan batasan atau kontrol, tidak terlalu memanjakan dan menjalin komunikasi," kata dia.