Kata Ahli Soal Cuti Melahirkan 40 Hari Para Ayah, Efektif Gak Sih?
- U-Report
VIVA Lifestyle – Rancangan Undang Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) merujuk pada manfaat kesehatan para ibu yang kelak memberi kebaikan pada anak-anaknya, dari sisi fisik dan mental.
Tak heran, peran pendukung dari lingkungan ibu dan anak turut menjadi perhatian, termasuk para ayah yang diwacanakan perpanjangan cuti melahirkan hingga 40 hari. Bagaimana tanggapan ahli? Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
Dalam momentum Hari Ibu 2022 yang mengusung tema Perempuan Terlindungi, Perempuan Berdaya, Peneliti Health Collaborative Center (HCC) dan pengajar Kedokteran Kerja dari FKUI Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi MKK menegaskan, bahwa penelitian yang ada menunjukkan bahwa peran suami sangat mendukung kesuksesan parenting para ibu.
Akan tetapi, hal ini tak termasuk dengan memperpanjang cuti melahirkan 40 hari pada suami. Menurut Ray, jauh lebih penting untuk fokus pada cuti 6 bulan para ibu.
"Jadi, cuti 6 bulan (pada ibu) itu wajib. Cuti 40 hari pada suami itu tidak efektif," ujar Dr Ray yang juga merupakan Chief Editor dari The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine, di Jakarta, Jumat 23 Desember 2022.
Ray mengungkapkan bahwa peran suami begitu penting untuk bergantian mengasuh si kecil, terutama ketika ibu harus fokus memberi ASI. Akan tetapi, bukan berarti memerlukan waktu cuti selama 40 hari yang terbilang tidak efektif.
Pada dasarnya, dukungan suami selalu dibutuhkan setiap saat sehingga peran untuk mengasuh si kecil harus terus dilakukan, tidak hanya dalam rentang cuti melahirkan tersebut.
"Penelitian di Jepang, bahwa cuti suami nggak efektif. Peran suami penting tapi dukungan peran suami akan lebih efektif kalau occasional. Biarkan suami jalankan peran, sebagai kepala keluarga, mencari nafkah," terang Ray.
Ketika sosok ayah mampu menjalankan peran untuk mencari nafkah, maka ketahanan pangan di rumah tangga akan lebih maksimal sehingga kebutuhan para ibu akan lebih baik pula.
Ray menambahkan, sejumlah perusahaan di luar negeri pun hanya memberikan jatah cuti melahirkan pada para ayah tidak mencapai lebih dari 30 hari.
"Ada perusahaan asing yang memberi suami cuti 2 minggu karena ada sharing role dan dukungan saat melahirkan. Tapi tidak perlu 40 hari karena nggak efektif. Penting jaga kestabilan ekonomi. Kalau suami tetap bisa melaksanakan fungsi cari nafkah akan bagus untuk rumah tangga," terangnya.
Kendati begitu, para suami juga tetap diberikan dukungan ilmu parenting yang seharusnya juga menjadi peran dari perusahaan di momen pasca melahirkan tersebut.
Menurut Ray, suami memiliki peran paling besar dibanding anggota keluarga lain sehingga harus memahami peran-perannya dalam mengasuh si kecil dan membantu ibu.
"Di modul konselor laktasi, ada support sistem. Dukungan terbesar itu dari suami, 94 persen. Kedua ibu dari ibunya 80 persen. Di modul konselor, ada support sistem yang beri dukungan edukasi sampai 94 persen terbukti efektif. Artinya, perempuan tidak dapat dukungan suami, 94 persen akan potensi gagal asi eksklusif," tandasnya.
Modul konselor ini, kata Ray, juga menjadi jawaban paling mudah bagi perusahaan yang belum menerapkan cuti melahirkan 6 bulan. Terbukti, berkali-kali lipat lebih efektif memberi ASI ekslusif pada ibu yang diberikan edukasi mengenai ASI dan parenting pascapersalinan.
"Perusahaan yang menerapkan model promosi laktasi, 26 kali lebih efektif tingkatkan keberhasilan ASI ekslusif dan performa kerja. Tapi, cuti 6 bulan melahirkan lebih efektif dan cost lebih rendah. Jika belum bisa menerapkannya, dan masih memberi cuti 3 bulan, artinya harus ada promosi laktasi ini pada para ibu di tempat kerjanya," tandasnya.
Ray menambahkan bahwa RUU KIA seharusnya memang diiringi dengan kajian health-ekonomi atau kesehatan-ekonomi untuk benar-benar memberikan tujuan yang tepat.
Sebab, tak sedikit perusahaan yang justru merasa dirugikan dengan kebijakan ini karena menganggap dapat mengambil banyak pengeluaran tanpa efektivitas kerja yang nyata.
Faktanya, negara-negara lain sudah menganut cuti melahirkan 6 bulan untuk memberi ASI Eksklusif sehingga manfaatnya terasa pada anak serta ibu itu sendiri.
"Ketahanan pangan jauh lebih mapan kalau, salah satunya, persentase (sukses) ASI ekslusif, naik. Karena statis kesehatan kelaurga naik, terutama ibu. ASI ekslusif bukan hanya ke anak tapi juga ke ibu. Fisik lebih bagus dan nggak gampang stres, penyakit tidak menular jangka panjangnya lebih rendah pada ibu dan anak. Potensi memiliki penyakit keganasan lebih rendah," ujarnya
Penelitian Basrowi dkk buruh perempuan hanya 19 persen yang berhasil ASI eksklusif, berpotensi stress post partum yang berlanjut dan adanya gangguan hormonal.
Penelitian Basrowi dkk menunjukkan pekerja perempuan 2 kali lebih besar mengalami gangguan menstruasi karena faktor pekerjaan (occupational hazards) terutama setelah kembali dari cuti melahirkan 3 bulan.
"Keuntungannya Cuti Melahirkan 6 bulan apa saja? Kualitas menstruasi baik, maka kualitas kesehatan lebih baik. Stres postpartum lebih kecil, karena hormon oksitosin dihasilkan dari ASI. Kebugaran ibu yang beri ASI 6 bulan, begitu kerja lagi lebih fit karena ASI ekslusif itu weight management yang bagus," imbuhnya.