Bunda, Ini 4 Pola Asuh Anak yang Bisa Didiskusikan dengan Ayah
- U-Report
VIVA Lifestyle – Setiap orang tua ingin sang buah hati menjalani tumbuh kembang yang baik. Oleh sebab itu, pasangan suami-istri tak jarang mendiskusikan mengenai pola asuh yang tepat untuk anak-anaknya sejak usia sedini mungkin.
Apalagi kebutuhan dasar anak meliputi asih, asah dan asuh. Asuh meliputi pangan, nutrisi, pemenuhan kesehatan dasar, kebersihan, dan sanitasi, sifatnya pemenuhan kebutuhan fisik.
Asih merupakan kebutuhan kasih sayang yang lengkap dan erat dari ayah dan ibu baik secara fisik dan psikis, namanya basic trust. Komunikasi ayah dan ibu sangat penting untuk menjamin anak merasa dicintai merasa diterima dan aman bersama orang tuanya.
Lalu, ada asah yaitu stimulasi mental untuk menunjang perkembangannya. Anak perlu diajari berbicara, merangkai kata dan stimulasi spiritual seperti berdoa, beribadah, ke masjid, ke gereja, dan lingkungannya. Ini sangat menunjang kecerdasan dan keterampilannya, kreatifitasnya.
Bagaimana pola asuh yang tepat? Pola asuh adalah cara orang tua memperlakukan, berkomunikasi dan mengekspresikan emosi pada anak.
"Ada empat macam pola asuh yang harus diselaraskan antara ayah dan ibu agar tidak ada miss communication," kata dr. Prima Evita Juwitasari. SpA, selaku dokter spesialis anak saat talkshow bertema Dual Parenting Untuk Pengasuhan Pada Anak yang digelar oleh Rumah Sakit Brawijaya Tangerang belum lama ini.
Berikut penjelasannya mengenai empat macam pola asuh yang dapat didiskusikan orang tua untuk sang buah hati:
1. Pola asuh otoriter.
Orang tua sangat memegang kendali dalam pengasuhan anak, cenderung keras, tegas, memiliki banyak aturan, memiliki standar yang tinggi kepada anak. Pola asuh ini mengharapkan anak sangat patuh kepada orang tua. Orang tua menuntut prestasi akademik yang tinggi kepada anak.
"Efeknya anak kurang percaya, sisi keberhargaan diri agak yang rendah, cenderung tidak berani menyampaikan pendapat," ungkap dr. Prima menjelaskan.
2. Pola asuh permisif.
Anak sangat diberikan kebebasan, orang tua memberikan semua keinginan anak. Anak jarang dihukum, tidak pernah diberikan perintah. Anak selalu dipuji dan memberikan apa yang anak minta.
"Anak jadi tidak disiplin dan anak cenderung manja, egois dan tidak peduli orang tua," ujar dr. Prima Evita lagi.
3. Pola asuh mengabaikan.
Orang tua fokus kepada diri sendiri dengan kegiatannya atau stres dan depresi. Pola asuh diserahkan ke orang lain atau pengasuh, orang tua jadi tidak mengerti dengan anak dan kurang komunikasi. Pola asuh seperti ini menyebabkan anak punya sosialisasi yang rendah.
4. Pola asuh otoritatif.
Otoritatif ini orang tua hangat tapi tegas, ada aturan tapi juga ada pujian. Kalau anak berprestasi dan berperilaku baik ada hadiah dari orang tua. Jika anak melakukan kesalahan ada sanksi sesuai usia anak. Orang tua dan anak punya komunikasi dan kompromi, jika ada aturan ditanyakan lagi kepada anak.
"Ada sisi diskusi dan kompromi antara orang tua dan anak dalam pola asuh seperti ini. Harga diri anak akan dianggap, lebih percaya dan bersosialisasi dengan baik," tutur dr. Prima.
Kemudian, masing-masing anak punya tugas dan perkembangan sendiri-sendiri, sesuai dengan tahapan usianya. Sebagai orang tua punya tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri atas peran itu.
"Jadi dari segi psikologis, pengasuhan bersama itu kita juga melihat diri kita, kita bisa memberikan apa dan tugas perkembangan apa, nanti kita terapkan kepada anak-anak kita seperti apa. Karena ini bersama, maka bapak dan ibu duduk bareng untuk menentukan tujuan pengasuhannya seperti apa dan sepakatnya seperti apa," ujar Tanti Diniyanti selaku psikolog dari Rumah Sakit Brawijaya Tangerang.
Fatherhood adalah adanya peran ayah atau kontribusi ayah dalam tumbuh kembang anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kalau ayah dengan anak laki-laki, anak melihat sosok yang tegas, yang memberikan batasan dan aturan.
Ayah kepada anak perempuannya punya pendekatan yang berbeda, anak perempuan akan melihat inilah sosok laki-laki yang bisa saya kagumi dan jadi role modelnya. Ketika anak umur 3-6 tahun kebutuhannya adalah bermain.
"Komunikasi tidak hanya sekedar ngomong, tapi juga ada ide, pikiran, dan ada perasaan yang kemudian dilatih, tidak berbatas anak sudah besar. Komunikasi jadi landasan penting, misalnya ketika bayi menangis itu salah satu bentuk komunikasi, anak merengek itu cara komunikasinya dia tapi belum paham bagaimana kekayaan kata-katanya dia," ungkap Tanti Diniyanti saat menyampaikan talkshow sekaligus peluncuran Kartu Komunitas Rumah Sakit Brawijaya Tangerang tersebut.
Saat menentukan pendidikan kepada anak perlu melihat profil anak dan melihat kondisi anak, serta juga melihat sekolahnya. Kalau orang tua merasa tujuan pendidikannya bisa difasilitasi oleh sekolah jenjang TK A atau TK B, kemudian kurikulumnya sudah merupakan tujuan yang ingin dicapai terhadap anaknya.
"Apakah perlu TK A dan TK B atau salah satu saja? Dilihat kembali, karena fasilitas yang memberikan penuh itu kan sebenarnya di rumah, bagaimana tumbuh kembangnya terpenuhi, kemudian dilengkapi di sekolah," ujar Tanti lagi.
Untuk yang masuk Sekolah Dasar (SD), ada namanya proses pengukuran yang disesuaikan dengan anak, yaitu kematangan sekolah. Kematangan sekolah bagaimana anak bisa berkomunikasi dengan aktifitas di luar.
"Misalnya di TK semuanya bermain, lalu ke SD yang pastinya akan ada aturan tambahan, bagaimana anak ini mampu dan terampil ke arah itu sudah ada atau belum. Jadi bukan kronologis usia, misalnya umur 6 udah pasti kelas 1 SD, atau umur 7 udah pasti kelas 1 SD, tidak seperti itu. Jadi dilihat dari kematangan setiap anak dan tentunya setiap sekolah punya aturan untuk melakukan penerimaan, apakah bisa masuk kelas 1 atau belum," jelas Tanti.